Muslim dan rakyat Indonesia adalah dua entitas yang
mestinya berbeda. Namun, disini dan saat ini, kita mendapatkan keduanya dalam
satu karakter. Kita bisa menerangkannya dalam satu helaan nafas saja. Entah ini
datang karena nilai-nilai Islamnya, atau karena kondisi geografis, sosiologis dan
kultural keindonesiaan kita. Disini dan saat ini, kita sama-sama merasa ada
yang perih: kenapa kita begini? Atau, kenapa kita hanya begini?
Dalam buku ini saya bertolak dari kita, yang muslim dan
juga yang Indonesia. Kemunduran dan
keterpurukan muslim sudah jamak kita dengar. Baiklah dikutip inferensi Hussain
Hali, penyair muslim keturunan India (1837-1914). Peradaban Islam yang pernah
jaya pada abad ke-8 itu akhirnya ”tak
memperoleh penghormatan dalam ilmu, tak menonjol dalam kriya dan industri”.
Akhirnya, Islam hanya bisa memungut, cuma
meminjam, dan tak bisa lagi memperbaharui [i]. Terutama di dunia Arab, yang pada satu sisi bangga
telah jadi sumber dari sebuah agama yang menakjubkan, tapi di sisi lain
terus-menerus menemukan kekalahan. ”... Tiap
benda yang kini hampir mutlak dipakai di kehidupan sehari-hari … mewakili
sebuah penghinaan yang tak diucapkan—tiap kulkas, tiap pesawat telepon, tiap
colokan listrik, tiap obeng, apalagi produk teknologi tinggi” [ii].
Kita jadi begini, karena mungkin ada yang salah dengan
pemahaman kita[iii]. Abul A’la Maududi menuliskan ini dengan keras: ”....kita adalah orang Islam namun berada
dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan. Kita adalah muslim namun menjadi
budak. ... Tidaklah mungkin bagi seseorang yang mengakui firman Tuhan namun
menderita dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan, hidup di bawah
penjajahan, terikat dan tebelenggu. ....Jika kita meyakini bahwa Tuhan itu adil
dan kepatuhan kepadanya tidak menyebabkan kita berada dalam keadaan yang
memalukan, maka ada sesuatu yang salah dalam pengakuan kita sebagai muslim”.
Kondisi muslim saat ini diakui pula oleh kalangan ilmuwan
muslim sendiri. Menurut Harun Nasution [iv],
ada tiga periode historik umat Islam. Pertama,
periode klasik (650-1250 M) yang ditandai dengan kreativitas dan etos kerja
tinggi, Islam unggul secara politik dan ekonomi, perdagangan yang maju dengan
Barat dan China, dan kalangan sahabat adalah sosok yang positif terhadap dunia.
Teologi yang berkembang di era klasik ini adalah teologi sunnatullah atau teologi yang berdasarkan pada hukum alam (natural law). Kedua, periode tengah (1250-1800 M) yang dicirikan oleh etos kerja
menurun, pesimis dan negatif terhadap dunia, serta berkembangnya sufistik
Jabariyah, dan teologi determinis-fatalistik. Terakhir, periode modern (mulai 1800 M – sampai sekarang) barulah
timbul kesadaran tentang lemahnya Islam, namun belum pernah lagi mencapai
kegemilangan seperti periode klasik.
Lebih jauh, jika kita browsing
di internet, bertaburan berita negatif tentang masyarakat muslim. Dari satu website [v]
sebagai contoh, terbaca misalnya disebut Islam menjadi residu peradaban, lekat
dengan kemiskinan dan keterbelakangan,
miskin karena kesalahan sendiri, bank Dunia dan IMF prihatin kemiskinan
muslim, rendahnya HDI muslim, dunia
Islam korup, dan murtad demi setengah
karung gandum.
Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad
Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa umat Islam perlu menyadari bahwa klaim besar
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ’alamin
masih jauh dalam kenyataan [vi]. Seterusnya
disampaikan bahwa perintah dalam Surat Al Anbiya ayat 107 belum dilaksanakan. Ummat
Islam mestinya “cepat siuman” karena tantangan masih sangat besar untuk
mewujudkan perintah ini. Semestinya ummat Islam bisa mendominasi peradaban
dunia, dan lebih jauh bisa menjadi payung bagi semua kalangan dan agama. Ia lah
pemimpin, ia payung, ia lah rahmat.
Negara-negara berpopulasi Muslim dominan yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dengan 57 anggota memiliki potensi
sedemikian besar, karena menguasai 70 persen
sumber energi dunia dan 40 persen bahan ekspor. Namun, sebagian besar merupakan negara berkembang
bahkan diantaranya termasuk dalam golongan negara miskin. Hanya sembilan negara muslim di dunia
termasuk dalam kelompok maju. Sementara, 40 persen populasi muslim dunia masih
buta huruf dan hidup di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan kurang dari
satu dolar AS per hari.
Kemiskinan, kesenjangan ekonomi, serta konflik dan
tindakan kekerasan akrab di wilayah muslim [vii].
Kondisi ini diperburuk dengan sikap negara-negara Islam yang cenderung
berjarak, egois, mementingkan diri sendiri [viii]. Ini menjadikan
negara muslim rapuh menghadapi globalisasi dan hanya menjadi kelompok pinggiran
dan rapuh [ix].
Sikap yang jauh dari gaya manajemen profesional bahkan
ditemui dalam diri organisasi Islam terbesar. Pada sebuah buku[x], pada foto di halaman 191, terlihat Presiden SBY duduk
sendiri didampingi Menlu Hassan Wirajuda di ruang sidang OKI (Organisasi
Konferensi Islam) di Senegal, Afrika. Kursi lain di ruang tersebut kosong melompong. SBY datang paling awal
sebelum pemimpin negara lain datang. Ini rupanya salah satu kebiasaan dalam
rapat-rapat mereka. Jika benar bahwa kebiasaan tidak tepat waktu terjadi untuk
pertemuan berskala internasional seperti ini, tentu ini sangat menyedihkan.
Sosiolog Max Weber yang sangat terkenal dengan
bukunya The Protestant Ethic and The
Spirit of Capitalism, menilai bahwa Islam tidak menghasilkan kapitalisme.
Tidak ada asketis dalam Islam, dan kapitalisme telah digugurkan dari kandungan
Islam [xi]. Cerita miring tentang muslim juga kita dengar
misalnya dari BB Harring, James L Peacock, Rosemary Firth dan Clive Kessler [xii]. Harring
bahkan menyebut Islam sebagai pengganggu kultural (cultural intruder).
Namun
pendapat Weber dinilai tidak ilmiah. Kritik ini tidak hanya datang dari
kalangan Muslim, bahkan dari kalangan sosiolog sendiri. Paparan Weber mengenai etika Islam tidaklah benar dan analisanya dangkal.
Salah satu sosiolog yang mengkritik Weber adalah Bryan S. Turner. Weber dinilai
memperlakukan dan menafsirkan Islam secara faktual sangat lemah tidak seperti
ia menganalisa calvinisme pada etika
Protestan. Kritik lain datang dari Huff dan Schluchter yang menilai pencarian
Weber tentang Islam belumlah tuntas [xiii].
Nurcholis Masjid pun sejalan dengan kritik ini [xiv]. Kelemahan Weber
adalah karena ia mengumpulkan bahan-bahannya itu hanya dari disiplin sosiologi
Prancis, padahal pada orang-orang Prancis itu sosiologi Islam belum terwujud,
karena hanya hasil karya pribadi-pribadi para pejabat kolonial untuk urusan
pribumi, peneliti sosial amatir, dan kaum Orientalis; bukan dari kalangan
sosiologi. Itupun terbatas kepada kawasan Afrika Utara saja. Hal ini pun
didukung Marshall G.S. Hodgson, seorang ahli sejarah dunia dan peradaban Islam
dalam bukunya “The Venture of Islam” [xv].
Jauh setelah karya Weber tersebut, muncul beberapa
tulisan yang menyebut adanya “etika Protestan” di kalangan Muslim. Misalnya dari
pengamatan di kalangan Muslim Turki [xvi]. Mereka menemukan sekelompok pengusaha sukses Muslim di
satu kawasan. Tulisan ini menyebutnya dengan kebangkitan karena adanya "Calvinist
Islam."
Indonesia? Baik kita
lihat satu hal: korupsi. Dalam satu buku tertulis “… di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa
negara Amerika Latin dan Afrika. Korupsi paling rendah di Eropa bagian Utara
dan persemakmuran Inggris yang Protestan, sementara negara-negara penganut
Konghucu di tengah-tengah [xvii]. Disini penulisnya mencoba mengkaitkan korupsi dengan
agama yang dianut masyarakatnya.
Satu indikator yang sering diacu untuk masalah korupsi
adalah IPK (Indeks Persepsi Korupsi). Skala peringkat IPK mulai dari 1 sampai
10. Semakin besar skor IPK suatu negara, semakin bersih negara tersebut dari
tindak pidana korupsi. Lembaga Transparency
International mengumumkan bahwa IPK
Indonesia untuk tahun 2005 adalah 2,2 dan menempati urutan 133 dari 146 negara.
Tahun berikutnya (2006) menjadi 2,4 dan
menempati urutan 130 dari 163 negara. Berikutnya lagi, IPK Indonesia
naik dari 2,3 di tahun 2007 (urutan 143 dari 180 negara) menjadi 2,6 di tahun
2008 (peringkat 126 dari 180 negara). Tampak bahwa meski kondisinya membaik
tapi masih layak disebut sebagai “negara terkorup di dunia [xviii] .
Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004 [xix], nilai NHDR
Indonesia berada pada peringkat 111 dari 175 negara. Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Index = HDI) [xx] meningkat dari 64,3 persen tahun 1999, menjadi 66,0
persen taun 2002. Berdasarkan Human
Development Report dari UNDP, HDI Indonesia tahun 2007/2008
menempati peringkat 107, dua peringkat di bawah Vietnam. Secara lebih detail,
untuk nilai HDI Indonesia di posisi 107, untuk harapan hidup nomor 100,
untuk melek huruf lebih bagus yaitu nomor 56, dan pendapatan perkapita nomor
113.
Dari sisi yang lain,
menurut David McCelland, agar satu bangsa makmur perlu setidaknya 2 persen
warganya yang jadi wirausaha. Indonesia tahun 2007 misalnya hanya memiliki 0,18
persen warganya yang memiliki kemampuan dan berkesempatan sebagai wirausaha.
Artinya, jumlah ini tidak sampai sepersepuluh dari yang semestinya. Bandingkan
dengan AS yang memiliki 11,5 persen dan Singapura 7,2 persen.
Untuk gambaran orang Indonesia, bisa kita lihat pendapat
Muchtar Lubis. Dari pidato kebudayaan pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki Jakarta yang lalu dibukukan dalam “Manusia Indonesia”, ia
menyebutkan bahwa beberapa ciri-ciri orang Indonesia yaitu munafik, tidak
bertanggung jawab, feodal, percaya pada takhyul, dan lemah wataknya [xxi]. Dalam hal kerja, disebutkan bahwa manusia Indonesia
tidak hemat atau boros, kurang suka bekerja keras kecuali terpaksa, dan
cenderung bermalas-malas akibat alam kita yang murah hati. Sisi positifnya
adalah suka saling tolong, berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, dapat
tertawa dalam penderitaan, senang dalam ikatan kekeluargaan serta penyabar,
cepat belajar, punya otak encer, serta mudah dilatih keterampilan.
Antropolog Koentjaraningrat menyebut orang Indonesia
memiliki mental suka menerabas.
Budayawan lain menyatakan hal-hal serupa yang menyebut bahwa bangsa
Indonesia memiliki budaya loyo, budaya instan, dan banyak lagi. Sukarno pun
pernah mengingatkan ini dengan istilah yang lain, yaitu “jangan menjadi bangsa
tempe”. Terakhir, ditambahkan Aa Gym
yang mengatakan bangsa kita senang melihat orang susah dan susah melihat orang
senang. Dalam buku "Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi Kultur"
oleh Drs. P. Hariyono, dalam hal
hakekat karya dan etos kerja, orang Jawa hampir tidak ada
motivasi kuat untuk bekerja, mereka bekerja hanya untuk menyambung hidup dan
lebih senang mengosongkan hidup untuk dunia akherat kelak. Generalisasi dari seluruh pernyataan ini tentu sangat debatable.
Etos kerja manusia Indonesia modern memang perlu
”dicurigai”. Seorang menteri yang membawahi bidang sumber daya manusia pernah
menyatakan bahwa masih ada pemimpin dan aparatur
negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja; sehingga lemah
dalam disiplin, etos kerja dan
produktivitas kerja rendah [xxii]. Salah satu suku yang dipandang memiliki etos kerja tinggi
adalah etnis Bali. Orang Bali sangat meyakini pemahaman bahwa perbuatan dan
kerja itu adalah karma. Mereka tidak mengutamakan hasil, karena kerja yang baik
adalah karma yang baik. Secara normatif, orang Bali itu tak ada yang pemalas [xxiii]. Ini semua pendapat para
ahli, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, dan inipun masih terus
diperdebatkan.
Saya belum menemukan satu karya yang baik dan ilmiah
tentang bagaimana sesungguhnya manusia Indonesia memandang kerja. Beberapa buku
banyak yang hanya melihat keburukan-keburukan belaka.
Apakah benar demikian? Di sisi sebaliknya, sejarah
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam
perjalanannya. Candi Borobudur pastilah
terbangun karena adanya etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal,
terampil, rasional, dan kerja keras. Demikian pula dengan berkembang luasnya
pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram,
Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologi maupun sosial
dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja
tertentu yang patut dihargai.
Bagaimana sesungguhnya etos kerja muslim dan orang
Indonesia? Bahwa kita memang agak rendah etos kerjanya diakui oleh banyak
kalangan, secara terang-terangan atau tidak. Sebagian menjadikan fakta ini
sebagai cambuk, namun sebagian berkelit dengan menunjuk alasan lain di luarnya.
Kalangan Barat telah lama beranggapan bahwa kita bangsa Timur pemalas. Namun
hal ini ditentang oleh Alatas[xxiv]. Menurutnya, tidak benar kita pemalas.
Penduduk primbumi sengaja tampak malas, karena kondisi yang tidak
menguntungkan. Ini hanya mitos yang sengaja diciptakan dan disebarkan penjajah
di seluruh wilayah Eropa. Sayangnya, citra negatif ini termakan pula oleh elit
lokal. Namun, sampai sekarang mitos ini tampaknya masih hidup pula di kalangan
kita sendiri [xxv]. Kesadaran yang sudah membatu ini telah dibongkar tokoh
postkolonialis Edward Said dengan teori orientalismenya.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
pokok saya adalah agar kerja dan bekerja tidak lagi dipandang sekedarnya. Kerja
keras adalah inti ajaran dan perdaban muslim. Jangan malas bekerja keras karena
takut kaya, karena begitu banyak yang bisa dilakukan jika Anda kaya. Buku ini
bukan bagaimana menjadi pekerja keras, tapi mengapa perlu kerja keras dan
bagaimana membangkitkan kultur kerja keras.
Untuk
menuju menjadi rahmatan lil ’alamin,
bagaimana mungkin tercapai jika mengurus diri sendiri saja susah. Sampai saat
ini kita selalu menjadi bangsa pengutang dan penerima bantuan. Semestinya kita
tidak hanya sekedar terlepas dari cap miskin, tapi harus memberi dan membagi
kekayaannya kepada orang lain. Kita tidak semestinya dikuasi, tapi harus
memimpin dan menjadi obor. Kita mestinya bukan lagi bangsa yang dijajah, tapi
harus menjadi pencerah peradaban. Dan seterusnya.
Sebuah
hadits mengisahkan bahwa nanti di hari kiamat, darah syuhada dan tinta ulama
(orang-orang berilmu) akan ditimbang. Saat momen itu tiba, akan ada episode
yang mencengangkan, yaitu tinta ulama lebih “berat” (lebih mulia) daripada
darah syuhada [xxvi]. Alquran
banyak memuliakan kalangan ulama dibandingkan mereka yang berpredikat mukmin
sekalipun. Penulisan buku ini juga dilandasi oleh spririt ini.
Pendekatan
Penulisan
Penulis
sangat tahu diri sebagai orang yang sangat awam di bidang agama, bukan ustadz,
da’i ataupun pengkhotbah, bahkan belum pernah nyantri. Karena itu, saya tidak banyak
menganalisa, mensintesa, apalagi menemukan makna baru dan menyimpulkan. Semata-mata
saya hanya mengumpulkan, menuliskan ulang, dan lalu menata sesuai
topik-topiknya.
Saya tidak
banyak memberi penilaian, pendapat dan semacamnya. Saya lebih banyak memaparkan
saja. Memaparkan fakta-fakta dan pendapat-pendapat orang lain. Pembaca akan
menyimpulkan sendiri, dapat menganalisisnya sendiri, menilainya sendiri. Bahkan
jika diragukan, silahkan menelusuri sendiri kebenarannya, ga usah tanya saya. Sebagian besar bahan saya ambil dari ratusan
blog di internet, namun sebagian saya telusuri dari sumber aslinya, terutama
untuk kutipan ayat suci dan hadits. Mohon dicatat, belum semua hadits disini
bisa saya telusuri. Saya sadar betul, yang baik dan benar selalu datangnya dari
Allah; sementara yang salah, keliru dan buruk pastilah dari saya sendiri.
Agar
memudahkan pemahaman, materi ini saya kemas dalam 101 point. Tipe penulisan
seperti ini selain lebih mudah menuliskannya, juga diharapkan memudahkan dibaca
dan tidak membosankan. Narasi dikemas secara ringkas
dan padat, dan mudah-mudahan tidak kelihatan sok tahu dan sok menggurui. Angka
”101” dipilih untuk memberi kesan bahwa sesungguhnya alasan-alasan untuk bekerja
keras tidak terbatas. Bukankah ada ungkapan ”seribu satu alasan” untuk maksud
mencari-cari alasan.
Sistematika Penulisan
Buku ini ditulis dalam bentuk bagian-bagian yang terdiri
atas 101 point, yang masing-masing memuat mengapa bekerja keras penting.
Alasan-alasan tersebut sebagian menunjuk secara langsung, dan sebagian
tidak. Penulisan dalam bentuk point agar
memudahkan pembaca dalam memahami. Selain itu, mengingat tidak banyak orang
yang senang membaca buku dari halaman ke halaman, maka penulisan dalam point
memudahkan untuk membaca dari mana pun.
Setelah bab pendahuluan, dilanjutkan dengan bab II berisi
apa sebenarnya makna kerja keras. Meskipun terlihat agak ”memaksa”, bagian ini
pun ditulis dalam bentuk point-point alasan. Bagian berikutnya merupakan bab
yang penting dimana penulis ingin menyampaikan betapa bekerja adalah ibadah
yang sangat utama. Selama ini tampaknya bekerja riel di dunia ini sering
dinilai rendah dibandingkan ibdah-ibadah yang lain, bahkan sebagian ada yang
cenderung menghindari.
Untuk menghindari keraguan, dalam bab IV saya paparkan
bagaimana nabi, keluarga nabi, bahkan wali, penyebar agama yang masuk ke
Indonesia, serta para pengkhotbah; semua bekerja. Mereka tidak menabukan kerja.
Dan mereka juga mengajarkan berbagai keahlian dan keterampilan berekonomi
kepada ummat selain ilmu agama.
Pada bab V disampaikan bahwa jika kita jujur, kerja
keraslah yang telah menggerakkan dunia ini. Warga dunia memperoleh berbagai
kemudahan karena peran mereka yang bekerja keras. Bab ini dilanjutkan dengan
fakta bahwa sesungguhnya ”kerja” adalah sesuatu yang fitrah untuk semua makhluk
di dalam dunia ini, bahkan untuk benda-benda yang kita sebut sebagai benda mati
sekalipun.
Pada dua bab terakhir, bab VII dan VIII, disampaikan
bahwa bekerja lebih bernilai dari sekedar harta, dan bekerja keras merupakan sesuatu
yang yang indah, membahagiakan, dan menyenangkan. Dengan bekerja kita berharta,
dan dari harta kita bisa berbuat kebajikan yang sangat banyak. Agama tidak
melarang kita kaya, asalkan sumber dan penggunaannya sesuai tuntunan.
Di akhir buku ini, saya ingin pembaca dapat pesan betapa
bahwa muslim haruslah menguasai dunia. Islam dan muslim mestilah menjadi
pemimpin dalam segala maknanya. Langkah awal untuk itu, muslim tidaklah takut
atau setengah hati menjalankan dunia ini. Dunia yang sangat pendek ini,
dibandingkan akhirat, menjadi sangat berarti. Waktu kita di dunia ini begitu
terbatas, tapi ia menjadi penentu bagaimana nasib kita di akhirat yang waktunya
tak berujung.
******
[i] “Si Buntung”. Catatan Pinggir Gunawan Muhammad. Majalah Tempo
edisi 3 Agustus 2009.
[ii]
Ungkapan Enzensberger dalam “Si Buntung”.
Catatan Pinggir Gunawan Muhammad. Majalah Tempo edisi 3 Agustus 2009
[iii] Maududi, Abul A’la. 1985. Menjadi Muslim Sejati. Mitra Pustaka. Bagian Pengantar
oleh Khurram Murad. Hal 29-30.
[iv] Prof. Dr. Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam.
Jakarta, 1990.
[vi] Arif Nur Kholis. 17 Juli 2007. Buya Syafii: Umat Islam Belum
Rahmatan Lil Alamin. http://www.muhammadiyah.or.id/......
[vii]
Rangkuman diskusi panel sejumlah ulama dan pemikir Islam dari Somalia,
Filipina, Indonesia, Suriah, dan Iran pada International Conference of Islamic
Scholars (ICIS) Ke-3, pada bulan Juli 2008 di Jakarta.
[viii] Dr Ali Mahmud Hassan, ulama Somalia, Ulama terkemuka
Iran, Ayatollah Ali Taskhiri pada acara International Conference of Islamic
Scholars (ICIS) Ke-3, Kamis (31/7) di Jakarta.
[ix] Presiden Yudhoyono pada Seminar Internasional Ketiga
Cendekiawan Muslim (ICIS) di Hotel Borobudur, Jakarta, Juli 2008. http://www.antara.co.id/.......
[xi] Max Weber vs Islam.
21
January 200. http://forum.upi.edu/..... dan http://mahardhikazifana.com/...
[xii]
Ahmad As Shouwy dkk (13 penulis). 1997. Mukjizat A-Quran dan As-Sunnah tentang
Iptek. Gema Insani Press, Jakarta. Cet. 3. 304 hal. Penelitian tentang perilaku
dan sikap agama dari masyarakat yang diteliti, tapi tidak memperhatikan ajaran
agama dari masyarakat tersebut. Tentang kondisi dan pengaruh atau akibat dari
tipe perilaku sosial. Kesimpulannya: Islam menerima semangat hedonistik, yaitu
terhadap perempuan, milik, kemewahan, dan kekuasaan.
[xiii] T.E. Huff dan W. Schluchter. 1999. Weber and Islam. New Brunswick ,
NJ : Transaction
Publisher. http://irmawan.multiply.com/...
[xiv]
Nurcholis Madjid. Dendam Lelaki Tanpa Seks. Resensi terhadap buku “Sosiologi
Islam” karya Bryan S. Turner. Penerbit: CV Rajawali, Jakarta . 1984http://majalah.tempointeraktif.com/…
[xv]
Nurcholis Madjid. Dendam Lelaki Tanpa Seks. Resensi terhadap buku “Sosiologi
Islam” karya Bryan S. Turner. Penerbit: CV Rajawali, Jakarta . 1984. http://majalah.tempointeraktif.com/.....
Juga dapat dilihat pada Ephraim Fischoff (review). Weber and
Islam: A Critical Study by Bryan S. Turner. London
and Boston :
Routledge and Kegan Paul. 1974, 212 pp. http://www.jstor.org/pss/3710570;
dan Syed Anwar Husain. “Max Webers, Sociology of Islam: A Critique”. http://www.bangladeshsociology.org/...
[xvi]
Dan Bilefsky. Protestant Work Ethic in Muslim Turkey : As Central Anatolia
Booms, Opinions Differ on The Role of Islam in Business. Herald Tribune. 15 Agustus
2006. http://www.iht.com/.... .
[xvii]
Samuel P. Huntington dan Lawrence E. Harrison. Culture Matters: How Values
Shape Proress. Tahun 2000.
[xviii] Nilai IPK ini didasarkan persepsi
pelaku bisnis setempat. Survei ini juga mengukur tingkat kecenderungan
terjadinya suap di berbagai institusi publik di Indonesia , yang ditampilkan dalam
Indeks Suap. Khusus tahun 2008, total sampel dari survei ini adalah 3841
responden, yang berasal dari pelaku bisnis (2371 responden), tokoh masyarakat
(396 responden), dan pejabat publik (1074).
[xix] Dalam Laporan
Pembangunan Manusia Indonesia
(The National Human Development Report =
NHDR) tahun 2004, Ekonomi dan Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia .
20 Juli 2004. Kerjasama BPS, Bappenas, dan UNDP.
[xx] HDI diciptakan oleh
Dr. Mahbub ul-Haq, dalam upaya memperbesar pilihan-pilihan manusia di semua
bidang kehidupan. HDI sangat economic tools, sangat fisikal, dan
terlalu mereduksi. Hak atas pangan misalnya direduksi menjadi “konsumsi” dan
“daya beli” belaka.
[xxii] Feisal Tamin (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara).
“Transformasi Budaya Kerja Aparatur Negara”. http://www.sinarharapan.co.id/.......
[xxiii]
Adi Blue. Di Tengah Merebaknya Pengangguran, Benarkah Etos Kerja Orang Bali Menurun? Harian Bali Post. http://www.iloveblue.com/....
[xxiv] Syed Hussein Alatas. 1988. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu Dan
Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial (1st edition). Penerbit: LP3ES, Jakarta.
358 hal.
[xxv] Selo Soemardjan. Mencegah Timbulnya Mitos Baru. http://majalah.tempointeraktif.com/...........
[xxvi] Husein Ja'far Al Hadar. Mengembangkan
Islam 'Tinta'. Harian
Republika, Jumat, 22 Januari 2010. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Marhabi.