Sabtu, 23 Januari 2016

PENDAHULUAN: Indonesia, Muslim, dan Kita

Muslim dan rakyat Indonesia adalah dua entitas yang mestinya berbeda. Namun, disini dan saat ini, kita mendapatkan keduanya dalam satu karakter. Kita bisa menerangkannya dalam satu helaan nafas saja. Entah ini datang karena nilai-nilai Islamnya, atau karena kondisi geografis, sosiologis dan kultural keindonesiaan kita. Disini dan saat ini, kita sama-sama merasa ada yang perih: kenapa kita begini? Atau, kenapa kita hanya begini?
Dalam buku ini saya bertolak dari kita, yang muslim dan juga  yang Indonesia. Kemunduran dan keterpurukan muslim sudah jamak kita dengar. Baiklah dikutip inferensi Hussain Hali, penyair muslim keturunan India (1837-1914). Peradaban Islam yang pernah jaya pada abad ke-8 itu akhirnya ”tak memperoleh penghormatan dalam ilmu, tak menonjol dalam kriya dan industri”. Akhirnya, Islam hanya bisa memungut, cuma meminjam, dan tak bisa lagi memperbaharui [i]. Terutama di dunia Arab, yang pada satu sisi bangga telah jadi sumber dari sebuah agama yang menakjubkan, tapi di sisi lain terus-menerus menemukan kekalahan. ”... Tiap benda yang kini hampir mutlak dipakai di kehidupan sehari-hari … mewakili sebuah penghinaan yang tak diucapkan—tiap kulkas, tiap pesawat telepon, tiap colokan listrik, tiap obeng, apalagi produk teknologi tinggi” [ii].
Kita jadi begini, karena mungkin ada yang salah dengan pemahaman kita[iii]. Abul A’la Maududi menuliskan ini dengan keras: ”....kita adalah orang Islam namun berada dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan. Kita adalah muslim namun menjadi budak. ... Tidaklah mungkin bagi seseorang yang mengakui firman Tuhan namun menderita dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan, hidup di bawah penjajahan, terikat dan tebelenggu. ....Jika kita meyakini bahwa Tuhan itu adil dan kepatuhan kepadanya tidak menyebabkan kita berada dalam keadaan yang memalukan, maka ada sesuatu yang salah dalam pengakuan kita sebagai muslim”.
Kondisi muslim saat ini diakui pula oleh kalangan ilmuwan muslim sendiri. Menurut Harun Nasution [iv], ada tiga periode historik umat Islam. Pertama, periode klasik (650-1250 M) yang ditandai dengan kreativitas dan etos kerja tinggi, Islam unggul secara politik dan ekonomi, perdagangan yang maju dengan Barat dan China, dan kalangan sahabat adalah sosok yang positif terhadap dunia. Teologi yang berkembang di era klasik ini adalah teologi sunnatullah atau teologi yang berdasarkan pada hukum alam (natural law). Kedua, periode tengah (1250-1800 M) yang dicirikan oleh etos kerja menurun, pesimis dan negatif terhadap dunia, serta berkembangnya sufistik Jabariyah, dan teologi determinis-fatalistik. Terakhir, periode modern (mulai 1800 M – sampai sekarang) barulah timbul kesadaran tentang lemahnya Islam, namun belum pernah lagi mencapai kegemilangan seperti periode klasik.
Lebih jauh, jika kita browsing di internet, bertaburan berita negatif tentang masyarakat muslim.  Dari satu website [v] sebagai contoh, terbaca misalnya disebut Islam menjadi residu peradaban, lekat dengan kemiskinan dan keterbelakangan,  miskin karena kesalahan sendiri, bank Dunia dan IMF prihatin kemiskinan muslim,  rendahnya HDI muslim, dunia Islam korup,   dan murtad demi setengah karung gandum.
Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa umat Islam perlu menyadari bahwa klaim besar Islam sebagai agama yang rahmatan lil ’alamin masih jauh dalam kenyataan [vi]. Seterusnya disampaikan bahwa perintah dalam Surat Al Anbiya ayat 107 belum dilaksanakan. Ummat Islam mestinya “cepat siuman” karena tantangan masih sangat besar untuk mewujudkan perintah ini. Semestinya ummat Islam bisa mendominasi peradaban dunia, dan lebih jauh bisa menjadi payung bagi semua kalangan dan agama. Ia lah pemimpin, ia payung, ia lah rahmat.
Negara-negara berpopulasi Muslim dominan yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dengan 57 anggota memiliki potensi sedemikian besar, karena menguasai 70 persen  sumber energi dunia dan 40 persen bahan ekspor. Namun,  sebagian besar merupakan negara berkembang bahkan diantaranya termasuk dalam golongan negara miskin. Hanya sembilan negara muslim di dunia termasuk dalam kelompok maju. Sementara, 40 persen populasi muslim dunia masih buta huruf dan hidup di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan kurang dari satu dolar AS per hari.
Kemiskinan, kesenjangan ekonomi, serta konflik dan tindakan kekerasan akrab di wilayah muslim [vii]. Kondisi ini diperburuk dengan sikap negara-negara Islam yang cenderung berjarak, egois, mementingkan diri sendiri [viii]. Ini menjadikan negara muslim rapuh menghadapi globalisasi dan hanya menjadi kelompok pinggiran dan rapuh [ix].
Sikap yang jauh dari gaya manajemen profesional bahkan ditemui dalam diri organisasi Islam terbesar. Pada sebuah buku[x], pada foto di halaman 191, terlihat Presiden SBY duduk sendiri didampingi Menlu Hassan Wirajuda di ruang sidang OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Senegal, Afrika. Kursi lain di ruang tersebut kosong melompong. SBY datang paling awal sebelum pemimpin negara lain datang. Ini rupanya salah satu kebiasaan dalam rapat-rapat mereka. Jika benar bahwa kebiasaan tidak tepat waktu terjadi untuk pertemuan berskala internasional seperti ini, tentu ini sangat menyedihkan.
Sosiolog Max Weber yang sangat terkenal dengan bukunya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, menilai bahwa Islam tidak menghasilkan kapitalisme. Tidak ada asketis dalam Islam, dan kapitalisme telah digugurkan dari kandungan Islam [xi]. Cerita miring tentang muslim juga kita dengar misalnya dari BB Harring, James L Peacock, Rosemary Firth dan Clive Kessler [xii]. Harring bahkan menyebut Islam sebagai pengganggu kultural (cultural intruder).
Namun pendapat Weber dinilai tidak ilmiah. Kritik ini tidak hanya datang dari kalangan Muslim, bahkan dari kalangan sosiolog sendiri. Paparan Weber mengenai etika Islam tidaklah benar dan analisanya dangkal. Salah satu sosiolog yang mengkritik Weber adalah Bryan S. Turner. Weber dinilai memperlakukan dan menafsirkan Islam secara faktual sangat lemah tidak seperti ia menganalisa calvinisme  pada etika Protestan. Kritik lain datang dari Huff dan Schluchter yang menilai pencarian Weber tentang Islam belumlah tuntas [xiii].
Nurcholis Masjid pun sejalan dengan kritik ini [xiv]. Kelemahan  Weber adalah karena ia mengumpulkan bahan-bahannya itu hanya dari disiplin sosiologi Prancis, padahal pada orang-orang Prancis itu sosiologi Islam belum terwujud, karena hanya hasil karya pribadi-pribadi para pejabat kolonial untuk urusan pribumi, peneliti sosial amatir, dan kaum Orientalis; bukan dari kalangan sosiologi. Itupun terbatas kepada kawasan Afrika Utara saja. Hal ini pun didukung Marshall G.S. Hodgson, seorang ahli sejarah dunia dan peradaban Islam dalam bukunya “The Venture of Islam” [xv].
Jauh setelah karya Weber tersebut, muncul beberapa tulisan yang menyebut adanya “etika Protestan” di kalangan Muslim. Misalnya dari pengamatan di kalangan Muslim Turki [xvi]. Mereka menemukan sekelompok pengusaha sukses Muslim di satu kawasan. Tulisan ini menyebutnya dengan kebangkitan karena adanya "Calvinist Islam." 
Indonesia? Baik kita lihat satu hal: korupsi. Dalam satu buku tertulis “… di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika. Korupsi paling rendah di Eropa bagian Utara dan persemakmuran Inggris yang Protestan, sementara negara-negara penganut Konghucu di tengah-tengah [xvii]. Disini penulisnya mencoba mengkaitkan korupsi dengan agama yang dianut masyarakatnya.
Satu indikator yang sering diacu untuk masalah korupsi adalah IPK (Indeks Persepsi Korupsi). Skala peringkat IPK mulai dari 1 sampai 10. Semakin besar skor IPK suatu negara, semakin bersih negara tersebut dari tindak pidana korupsi. Lembaga Transparency International mengumumkan bahwa IPK Indonesia untuk tahun 2005 adalah 2,2 dan menempati urutan 133 dari 146 negara. Tahun berikutnya (2006) menjadi  2,4 dan menempati urutan 130 dari 163 negara. Berikutnya lagi, IPK Indonesia naik dari 2,3 di tahun 2007 (urutan 143 dari 180 negara) menjadi 2,6 di tahun 2008 (peringkat 126 dari 180 negara). Tampak bahwa meski kondisinya membaik tapi masih layak disebut sebagai “negara terkorup di dunia [xviii] .
Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004 [xix],  nilai NHDR Indonesia berada pada peringkat 111 dari 175 negara. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index = HDI) [xx] meningkat dari 64,3 persen tahun 1999, menjadi 66,0 persen taun 2002. Berdasarkan Human Development Report dari UNDP, HDI Indonesia tahun 2007/2008 menempati peringkat 107, dua peringkat di bawah Vietnam. Secara lebih detail, untuk  nilai HDI Indonesia  di posisi 107, untuk harapan hidup nomor 100, untuk melek huruf lebih bagus yaitu nomor 56, dan pendapatan perkapita nomor 113.
Dari sisi yang lain, menurut David McCelland, agar satu bangsa makmur perlu setidaknya 2 persen warganya yang jadi wirausaha. Indonesia tahun 2007 misalnya hanya memiliki 0,18 persen warganya yang memiliki kemampuan dan berkesempatan sebagai wirausaha. Artinya, jumlah ini tidak sampai sepersepuluh dari yang semestinya. Bandingkan dengan AS yang memiliki 11,5 persen dan Singapura 7,2 persen.
Untuk gambaran orang Indonesia, bisa kita lihat pendapat Muchtar Lubis. Dari pidato kebudayaan pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki Jakarta yang lalu dibukukan dalam “Manusia Indonesia”, ia menyebutkan bahwa beberapa ciri-ciri orang Indonesia yaitu munafik, tidak bertanggung jawab, feodal, percaya pada takhyul, dan lemah wataknya [xxi]. Dalam hal kerja, disebutkan bahwa manusia Indonesia tidak hemat atau boros, kurang suka bekerja keras kecuali terpaksa, dan cenderung bermalas-malas akibat alam kita yang murah hati. Sisi positifnya adalah suka saling tolong, berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, dapat tertawa dalam penderitaan, senang dalam ikatan kekeluargaan serta penyabar, cepat belajar, punya otak encer, serta mudah dilatih keterampilan.
Antropolog Koentjaraningrat menyebut orang Indonesia memiliki mental suka menerabas.  Budayawan lain menyatakan hal-hal serupa yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya loyo, budaya instan, dan banyak lagi. Sukarno pun pernah mengingatkan ini dengan istilah yang lain, yaitu “jangan menjadi bangsa tempe”. Terakhir, ditambahkan Aa Gym yang mengatakan bangsa kita senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Dalam buku "Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi Kultur" oleh Drs. P. Hariyono, dalam hal hakekat karya dan etos kerja, orang Jawa hampir tidak ada motivasi kuat untuk bekerja, mereka bekerja hanya untuk menyambung hidup dan lebih senang mengosongkan hidup untuk dunia akherat kelak. Generalisasi dari seluruh pernyataan ini tentu sangat debatable.
Etos kerja manusia Indonesia modern memang perlu ”dicurigai”. Seorang menteri yang membawahi bidang sumber daya manusia pernah menyatakan bahwa masih ada pemimpin dan aparatur negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja; sehingga lemah dalam  disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja rendah [xxii]. Salah satu suku yang dipandang memiliki etos kerja tinggi adalah etnis Bali. Orang Bali sangat meyakini pemahaman bahwa perbuatan dan kerja itu adalah karma. Mereka tidak mengutamakan hasil, karena kerja yang baik adalah karma yang baik. Secara normatif, orang Bali itu tak ada yang pemalas [xxiii]. Ini semua pendapat para ahli, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, dan inipun masih terus diperdebatkan.
Saya belum menemukan satu karya yang baik dan ilmiah tentang bagaimana sesungguhnya manusia Indonesia memandang kerja. Beberapa buku banyak yang hanya melihat keburukan-keburukan belaka.
Apakah benar demikian? Di sisi sebaliknya, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Candi Borobudur pastilah terbangun karena adanya etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil, rasional, dan kerja keras. Demikian pula dengan berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologi maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai.
Bagaimana sesungguhnya etos kerja muslim dan orang Indonesia? Bahwa kita memang agak rendah etos kerjanya diakui oleh banyak kalangan, secara terang-terangan atau tidak. Sebagian menjadikan fakta ini sebagai cambuk, namun sebagian berkelit dengan menunjuk alasan lain di luarnya. Kalangan Barat telah lama beranggapan bahwa kita bangsa Timur pemalas. Namun hal ini ditentang oleh Alatas[xxiv].  Menurutnya, tidak benar kita pemalas. Penduduk primbumi sengaja tampak malas, karena kondisi yang tidak menguntungkan. Ini hanya mitos yang sengaja diciptakan dan disebarkan penjajah di seluruh wilayah Eropa. Sayangnya, citra negatif ini termakan pula oleh elit lokal. Namun, sampai sekarang mitos ini tampaknya masih hidup pula di kalangan kita sendiri [xxv]. Kesadaran yang sudah membatu ini telah dibongkar tokoh postkolonialis Edward Said dengan teori orientalismenya.
Tujuan Penulisan
Tujuan pokok saya adalah agar kerja dan bekerja tidak lagi dipandang sekedarnya. Kerja keras adalah inti ajaran dan perdaban muslim. Jangan malas bekerja keras karena takut kaya, karena begitu banyak yang bisa dilakukan jika Anda kaya. Buku ini bukan bagaimana menjadi pekerja keras, tapi mengapa perlu kerja keras dan bagaimana membangkitkan kultur kerja keras.
Untuk menuju menjadi rahmatan lil ’alamin, bagaimana mungkin tercapai jika mengurus diri sendiri saja susah. Sampai saat ini kita selalu menjadi bangsa pengutang dan penerima bantuan. Semestinya kita tidak hanya sekedar terlepas dari cap miskin, tapi harus memberi dan membagi kekayaannya kepada orang lain. Kita tidak semestinya dikuasi, tapi harus memimpin dan menjadi obor. Kita mestinya bukan lagi bangsa yang dijajah, tapi harus menjadi pencerah peradaban. Dan seterusnya.
Sebuah hadits mengisahkan bahwa nanti di hari kiamat, darah syuhada dan tinta ulama (orang-orang berilmu) akan ditimbang. Saat momen itu tiba, akan ada episode yang mencengangkan, yaitu tinta ulama lebih “berat” (lebih mulia) daripada darah syuhada [xxvi]. Alquran banyak memuliakan kalangan ulama dibandingkan mereka yang berpredikat mukmin sekalipun. Penulisan buku ini juga dilandasi oleh spririt ini.
Pendekatan Penulisan
Penulis sangat tahu diri sebagai orang yang sangat awam di bidang agama, bukan ustadz, da’i ataupun pengkhotbah, bahkan belum pernah nyantri. Karena itu, saya tidak banyak menganalisa, mensintesa, apalagi menemukan makna baru dan menyimpulkan. Semata-mata saya hanya mengumpulkan, menuliskan ulang, dan lalu menata sesuai topik-topiknya.
Saya tidak banyak memberi penilaian, pendapat dan semacamnya. Saya lebih banyak memaparkan saja. Memaparkan fakta-fakta dan pendapat-pendapat orang lain. Pembaca akan menyimpulkan sendiri, dapat menganalisisnya sendiri, menilainya sendiri. Bahkan jika diragukan, silahkan menelusuri sendiri kebenarannya, ga usah tanya saya. Sebagian besar bahan saya ambil dari ratusan blog di internet, namun sebagian saya telusuri dari sumber aslinya, terutama untuk kutipan ayat suci dan hadits. Mohon dicatat, belum semua hadits disini bisa saya telusuri. Saya sadar betul, yang baik dan benar selalu datangnya dari Allah; sementara yang salah, keliru dan buruk pastilah dari saya sendiri.
Agar memudahkan pemahaman, materi ini saya kemas dalam 101 point. Tipe penulisan seperti ini selain lebih mudah menuliskannya, juga diharapkan memudahkan dibaca dan tidak membosankan. Narasi dikemas secara ringkas dan padat, dan mudah-mudahan tidak kelihatan sok tahu dan sok menggurui. Angka ”101” dipilih untuk memberi kesan bahwa sesungguhnya alasan-alasan untuk bekerja keras tidak terbatas. Bukankah ada ungkapan ”seribu satu alasan” untuk maksud mencari-cari alasan.
Sistematika Penulisan
Buku ini ditulis dalam bentuk bagian-bagian yang terdiri atas 101 point, yang masing-masing memuat mengapa bekerja keras penting. Alasan-alasan tersebut sebagian menunjuk secara langsung, dan sebagian tidak.  Penulisan dalam bentuk point agar memudahkan pembaca dalam memahami. Selain itu, mengingat tidak banyak orang yang senang membaca buku dari halaman ke halaman, maka penulisan dalam point memudahkan untuk membaca dari mana pun.
Setelah bab pendahuluan, dilanjutkan dengan bab II berisi apa sebenarnya makna kerja keras. Meskipun terlihat agak ”memaksa”, bagian ini pun ditulis dalam bentuk point-point alasan. Bagian berikutnya merupakan bab yang penting dimana penulis ingin menyampaikan betapa bekerja adalah ibadah yang sangat utama. Selama ini tampaknya bekerja riel di dunia ini sering dinilai rendah dibandingkan ibdah-ibadah yang lain, bahkan sebagian ada yang cenderung menghindari.
Untuk menghindari keraguan, dalam bab IV saya paparkan bagaimana nabi, keluarga nabi, bahkan wali, penyebar agama yang masuk ke Indonesia, serta para pengkhotbah; semua bekerja. Mereka tidak menabukan kerja. Dan mereka juga mengajarkan berbagai keahlian dan keterampilan berekonomi kepada ummat selain ilmu agama.
Pada bab V disampaikan bahwa jika kita jujur, kerja keraslah yang telah menggerakkan dunia ini. Warga dunia memperoleh berbagai kemudahan karena peran mereka yang bekerja keras. Bab ini dilanjutkan dengan fakta bahwa sesungguhnya ”kerja” adalah sesuatu yang fitrah untuk semua makhluk di dalam dunia ini, bahkan untuk benda-benda yang kita sebut sebagai benda mati sekalipun.
Pada dua bab terakhir, bab VII dan VIII, disampaikan bahwa bekerja lebih bernilai dari sekedar harta, dan bekerja keras merupakan sesuatu yang yang indah, membahagiakan, dan menyenangkan. Dengan bekerja kita berharta, dan dari harta kita bisa berbuat kebajikan yang sangat banyak. Agama tidak melarang kita kaya, asalkan sumber dan penggunaannya sesuai tuntunan. 
Di akhir buku ini, saya ingin pembaca dapat pesan betapa bahwa muslim haruslah menguasai dunia. Islam dan muslim mestilah menjadi pemimpin dalam segala maknanya. Langkah awal untuk itu, muslim tidaklah takut atau setengah hati menjalankan dunia ini. Dunia yang sangat pendek ini, dibandingkan akhirat, menjadi sangat berarti. Waktu kita di dunia ini begitu terbatas, tapi ia menjadi penentu bagaimana nasib kita di akhirat yang waktunya tak berujung.
******



[i]  Si Buntung. Catatan Pinggir Gunawan Muhammad. Majalah Tempo edisi 3 Agustus 2009.

[ii] Ungkapan Enzensberger dalam “Si Buntung”. Catatan Pinggir Gunawan Muhammad. Majalah Tempo edisi 3 Agustus 2009
[iii] Maududi, Abul A’la. 1985. Menjadi Muslim Sejati. Mitra Pustaka. Bagian Pengantar oleh Khurram Murad. Hal 29-30.
[iv] Prof. Dr. Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta, 1990.
[vi] Arif Nur Kholis. 17 Juli 2007.    Buya Syafii: Umat Islam Belum Rahmatan Lil Alamin. http://www.muhammadiyah.or.id/......
[vii] Rangkuman diskusi panel sejumlah ulama dan pemikir Islam dari Somalia, Filipina, Indonesia, Suriah, dan Iran pada International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3, pada bulan Juli 2008 di Jakarta.
[viii] Dr Ali Mahmud Hassan, ulama Somalia, Ulama terkemuka Iran, Ayatollah Ali Taskhiri pada acara International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3, Kamis (31/7) di Jakarta.
[ix] Presiden Yudhoyono pada Seminar Internasional Ketiga Cendekiawan Muslim (ICIS) di Hotel Borobudur, Jakarta, Juli 2008. http://www.antara.co.id/.......
[x] Dino Patti Djalal. 2008. Harus Bisa! Seni Kepemimpinan a la SBY.
[xii] Ahmad As Shouwy dkk (13 penulis). 1997. Mukjizat A-Quran dan As-Sunnah tentang Iptek. Gema Insani Press, Jakarta. Cet. 3. 304 hal. Penelitian tentang perilaku dan sikap agama dari masyarakat yang diteliti, tapi tidak memperhatikan ajaran agama dari masyarakat tersebut. Tentang kondisi dan pengaruh atau akibat dari tipe perilaku sosial. Kesimpulannya: Islam menerima semangat hedonistik, yaitu terhadap perempuan, milik, kemewahan, dan kekuasaan.
[xiii] T.E. Huff dan W. Schluchter. 1999. Weber and Islam. New Brunswick, NJ: Transaction Publisher. http://irmawan.multiply.com/...
[xiv] Nurcholis Madjid. Dendam Lelaki Tanpa Seks. Resensi terhadap buku “Sosiologi Islam” karya Bryan S. Turner. Penerbit: CV Rajawali, Jakarta. 1984http://majalah.tempointeraktif.com/…
[xv] Nurcholis Madjid. Dendam Lelaki Tanpa Seks. Resensi terhadap buku “Sosiologi Islam” karya Bryan S. Turner. Penerbit: CV Rajawali, Jakarta. 1984. http://majalah.tempointeraktif.com/..... Juga dapat dilihat pada Ephraim Fischoff (review). Weber and Islam: A Critical Study by Bryan S. Turner. London and Boston: Routledge and Kegan Paul. 1974, 212 pp. http://www.jstor.org/pss/3710570; dan Syed Anwar Husain. “Max Webers, Sociology of Islam: A Critique”. http://www.bangladeshsociology.org/...
[xvi] Dan Bilefsky. Protestant Work Ethic in Muslim Turkey: As Central Anatolia Booms, Opinions Differ on The Role of Islam in Business. Herald Tribune. 15 Agustus 2006. http://www.iht.com/.... .
[xvii] Samuel P. Huntington dan Lawrence E. Harrison. Culture Matters: How Values Shape Proress. Tahun 2000.
[xviii] Nilai IPK ini didasarkan persepsi pelaku bisnis setempat. Survei ini juga mengukur tingkat kecenderungan terjadinya suap di berbagai institusi publik di Indonesia, yang ditampilkan dalam Indeks Suap. Khusus tahun 2008, total sampel dari survei ini adalah 3841 responden, yang berasal dari pelaku bisnis (2371 responden), tokoh masyarakat (396 responden), dan pejabat publik (1074).
[xix] Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (The National Human Development Report = NHDR) tahun 2004, Ekonomi dan Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia. 20 Juli 2004. Kerjasama BPS, Bappenas, dan UNDP.
[xx] HDI diciptakan oleh Dr. Mahbub ul-Haq, dalam upaya memperbesar pilihan-pilihan manusia di semua bidang kehidupan.  HDI sangat economic tools, sangat fisikal, dan terlalu mereduksi. Hak atas pangan misalnya direduksi menjadi “konsumsi” dan “daya beli” belaka.
[xxii] Feisal Tamin (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara). “Transformasi Budaya Kerja Aparatur Negara”. http://www.sinarharapan.co.id/.......
[xxiii]  Adi Blue. Di Tengah Merebaknya Pengangguran, Benarkah Etos Kerja Orang Bali Menurun? Harian Bali Post. http://www.iloveblue.com/....
[xxiv] Syed Hussein Alatas. 1988. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu Dan Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial (1st edition). Penerbit: LP3ES, Jakarta. 358 hal.
[xxv] Selo Soemardjan. Mencegah Timbulnya Mitos Baru. http://majalah.tempointeraktif.com/...........
[xxvi] Husein Ja'far Al Hadar. Mengembangkan Islam 'Tinta'. Harian Republika, Jumat, 22 Januari 2010.  Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Marhabi.