Salah satu
penyebab lemahnya etos kerja muslim adalah karena kekeliruan memandang apa itu
dunia dan apa itu akhirat. Implikasinya adalah keliru pula dalam bersikap
terhadap harta dan sikap terhadap kerja. Pada hakekatnya dunia dan akhirat
menyatu sebagai sebuah sistem. Ia tidak terputus. Berkerja untuk urusan dunia
dengan bersungguh-sungguh dan memakmurkan kehidupan dunia niatnya bukan
semata-mata untuk kepentingan kehidupan di dunia dalam konteks hedonic life, tetapi juga untuk memenuhi
tututan di akhirat. Dunia adalah sawah dan ladang tempat bercocok tanam untuk
kehidupan akhirat. Dunia adalah tempat berhijrah untuk berkerja, beramal dan
berkarya sebagai saham kebahagiaan hidup di akhirat.
Jadi, dunia tidak
harus dimusuhi. Dunia inilah satu-satunya wadah, alat, sekaligus jembatan agar
kita sampai ke surga nanti. Karenanya, perlu dihindari asketisme, yaitu
pandangan atau sikap hidup yang menganggap pantang segala kenikmatan dunia dan
menyiksa diri untuk dekat dengan Tuhan. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan
keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk
beribadat tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya sendiri.
Jadi, amal dunia
pada hakekatnya adalah amal akhirat juga. Dunia tidak boleh ditolak karena
mementingkan akhirat dan akhirat juga tidak boleh ditolak kerana keperluan
dunia. Kedua-duanya mesti diberi penghargaan yang sama. Seseorang yang berkerja
dengan berorientasi akhirat akan dijamin kehidupannya di dunia. Barangsiapa
mempunyai satu keinginan (yaitu kehidupan akhirat), niscaya Allah akan
mencukupkan kehidupan yang diinginkannya di dunia [i].
Alasan ke-22:
Karena “ibadah akhirat” sesungguhnya juga untuk dunia
Penelitian
Dr. Andrew Newberg, profesor di bidang radiologi, psikologi, dan studi religi
di University of Pennsylvania mendapatkan bahwa kelompok orang rajin beribadah
memiliki lapisan otak lebih tebal dibanding yang jarang berdoa [ii]. Hal ini sangat
menguntungkan, karena lapisan otak yang aktif membantu mempertajam daya ingat
kita. Ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Robert Hummer sejak
1992. Sosiolog dan ahli demografi ini mengamati kelompok masyarakat yang rajin
beribadah ke gereja dan yang tidak pernah sama sekali. Menurut Hummer, setelah
delapan tahun, mereka yang termasuk dalam kelompok kedua memiliki risiko
meninggal dua kali lebih tinggi dari kelompok pertama. Orang-orang yang rajin
mengikuti kegiatan keagamaan umumnya punya kehidupan sosial yang lebih aktif.
Mereka bersahabat, saling mendukung, dan saling mengingatkan untuk memeriksakan
kesehatan.
Demikian
pula dengan Prof. Dadang Hawari. Ia menyatakan bahwa intervensi religius adalah
salah satu elemen penting yang mendukung proses penyembuhan [iii].
Intervensi
dimaksud berupa aktivitas berdo’a dibarengi therapi medis, meliputi biologis,
psikologis, dan sosial. Keterlibatan aspek spiritual dalam hidup seseorang
sangat memengaruhi mekanisme kerja tubuhnya, secara fisiologis maupun
psikologis.
Banyak
penelitian mengungkap, keterlibatan aspek spiritual dalam hidup seseorang
ternyata sangat memengaruhi mekanisme kerja tubuhnya. Artinya, orang-orang yang rajin melakukan kegiatan keagamaan, kekebalan
tubuhnya lebih baik daripada mereka yang tidak beribadah. Penelitian juga
mengungkapkan, memperbanyak waktu beribadah berguna menjaga kestabilan tekanan
darah. Ini juga turut menurunkan resiko terhadap penyakit-penyakit
kardiovaskular. Sikap berserah diri dan memohon bantuan kepada Yang Maha Kuasa,
terbukti sanggup membantu kita menghadapi berbagai masalah sehari-hari yang
meresahkan. Dengan begitu, kegelisahan yang kita rasakan tak akan menumpuk
hingga menjadi lebih berat.
Ibadah mahdah - terutama
shalat dan puasa - paling sering dimaknai sebagai urusan akhirat. Orang melakukan
shalat dan puasa agar di akhirat mulus melangkah ke surga. Padahal
begitu banyak orang sudah membuktikan bahwa shalat, puasa, membaca alquran,
bersedekah, dan seterusnya memberi dampak yang langsung pada kehidupan
sehari-hari di dunia. Manfaat tersebut berupa
manfaat fisik, kejiwaan, maupun sosial. Manfaatnya sudah diperoleh disini dan
saat ini.
Satu hal yang mungkin
sering lupa, hampir semua “ibadah akhirat” dijalankan dengan gerakan fisik.
Untuk shalat kita harus berdiri tegak, lalu rukuk, sujud, dan seterusnya.
Demikian pula ibadah haji yang menuntut kesiapan fisik yang prima. Pelibatan
fisik ini, selain bukti ketaatan anggota tubuh, akan memberi dampak positif
yang tidak diduga. Ketaatan fisik yang pada awalnya adalah manifestasi kejiwaan,
pada giliran berikutnya memperteguh ketaatan jiwa.
[ii]
Yang Religius, Kesehatannya Lebih Bagus. Kompas, 24 Agustus 2009. http://kesehatan.kompas.com/....
[iii] Ini
ditulis dalam bukunya ”Integrasi Agama dalam Pelayanan Medik”.