Minggu, 24 Januari 2016

Alasan ke-21: Karena dunia adalah jembatan untuk ke akhirat.

Salah satu penyebab lemahnya etos kerja muslim adalah karena kekeliruan memandang apa itu dunia dan apa itu akhirat. Implikasinya adalah keliru pula dalam bersikap terhadap harta dan sikap terhadap kerja. Pada hakekatnya dunia dan akhirat menyatu sebagai sebuah sistem. Ia tidak terputus. Berkerja untuk urusan dunia dengan bersungguh-sungguh dan memakmurkan kehidupan dunia niatnya bukan semata-mata untuk kepentingan kehidupan di dunia dalam konteks hedonic life, tetapi juga untuk memenuhi tututan di akhirat. Dunia adalah sawah dan ladang tempat bercocok tanam untuk kehidupan akhirat. Dunia adalah tempat berhijrah untuk berkerja, beramal dan berkarya sebagai saham kebahagiaan hidup di akhirat.

Jadi, dunia tidak harus dimusuhi. Dunia inilah satu-satunya wadah, alat, sekaligus jembatan agar kita sampai ke surga nanti. Karenanya, perlu dihindari asketisme, yaitu pandangan atau sikap hidup yang menganggap pantang segala kenikmatan dunia dan menyiksa diri untuk dekat dengan Tuhan. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk beribadat tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya sendiri.

Jadi, amal dunia pada hakekatnya adalah amal akhirat juga. Dunia tidak boleh ditolak karena mementingkan akhirat dan akhirat juga tidak boleh ditolak kerana keperluan dunia. Kedua-duanya mesti diberi penghargaan yang sama. Seseorang yang berkerja dengan berorientasi akhirat akan dijamin kehidupannya di dunia. Barangsiapa mempunyai satu keinginan (yaitu kehidupan akhirat), niscaya Allah akan mencukupkan kehidupan yang diinginkannya di dunia [i].

Alasan ke-22: Karena “ibadah akhirat” sesungguhnya juga untuk dunia

Penelitian Dr. Andrew Newberg, profesor di bidang radiologi, psikologi, dan studi religi di University of Pennsylvania mendapatkan bahwa kelompok orang rajin beribadah memiliki lapisan otak lebih tebal dibanding yang jarang berdoa [ii]. Hal ini sangat menguntungkan, karena lapisan otak yang aktif membantu mempertajam daya ingat kita. Ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Robert Hummer sejak 1992. Sosiolog dan ahli demografi ini mengamati kelompok masyarakat yang rajin beribadah ke gereja dan yang tidak pernah sama sekali. Menurut Hummer, setelah delapan tahun, mereka yang termasuk dalam kelompok kedua memiliki risiko meninggal dua kali lebih tinggi dari kelompok pertama. Orang-orang yang rajin mengikuti kegiatan keagamaan umumnya punya kehidupan sosial yang lebih aktif. Mereka bersahabat, saling mendukung, dan saling mengingatkan untuk memeriksakan kesehatan.
Demikian pula dengan Prof. Dadang Hawari. Ia menyatakan bahwa intervensi religius adalah salah satu elemen penting yang mendukung proses penyembuhan [iii]
Intervensi dimaksud berupa aktivitas berdo’a dibarengi therapi medis, meliputi biologis, psikologis, dan sosial. Keterlibatan aspek spiritual dalam hidup seseorang sangat memengaruhi mekanisme kerja tubuhnya, secara fisiologis maupun psikologis.

Banyak penelitian mengungkap, keterlibatan aspek spiritual dalam hidup seseorang ternyata sangat memengaruhi mekanisme kerja tubuhnya. Artinya, orang-orang yang rajin melakukan kegiatan keagamaan, kekebalan tubuhnya lebih baik daripada mereka yang tidak beribadah. Penelitian juga mengungkapkan, memperbanyak waktu beribadah berguna menjaga kestabilan tekanan darah. Ini juga turut menurunkan resiko terhadap penyakit-penyakit kardiovaskular. Sikap berserah diri dan memohon bantuan kepada Yang Maha Kuasa, terbukti sanggup membantu kita menghadapi berbagai masalah sehari-hari yang meresahkan. Dengan begitu, kegelisahan yang kita rasakan tak akan menumpuk hingga menjadi lebih berat.

Ibadah mahdah - terutama shalat dan puasa - paling sering dimaknai sebagai urusan akhirat. Orang melakukan  shalat dan puasa agar di akhirat mulus melangkah ke surga. Padahal begitu banyak orang sudah membuktikan bahwa shalat, puasa, membaca alquran, bersedekah, dan seterusnya memberi dampak yang langsung pada kehidupan sehari-hari di dunia. Manfaat tersebut berupa manfaat fisik, kejiwaan, maupun sosial. Manfaatnya sudah diperoleh disini dan saat ini.

Satu hal yang mungkin sering lupa, hampir semua “ibadah akhirat” dijalankan dengan gerakan fisik. Untuk shalat kita harus berdiri tegak, lalu rukuk, sujud, dan seterusnya. Demikian pula ibadah haji yang menuntut kesiapan fisik yang prima. Pelibatan fisik ini, selain bukti ketaatan anggota tubuh, akan memberi dampak positif yang tidak diduga. Ketaatan fisik yang pada awalnya adalah manifestasi kejiwaan, pada giliran berikutnya memperteguh ketaatan jiwa.



[i] Hadits riwayat HR. Hakim, Baihaqiy, dan Ibnu Majah.
[ii] Yang Religius, Kesehatannya Lebih Bagus. Kompas, 24 Agustus 2009. http://kesehatan.kompas.com/....
[iii] Ini ditulis dalam bukunya  ”Integrasi Agama dalam Pelayanan Medik”.