Selasa, 05 April 2016

Para Rasul pun Bekerja



Cerita bagaimana liku-liku para rasul mengembangkan agama yang diwahyukan padanya sudah begitu sering kita dengar. Kita sudah tahu itu semenjak kanak-kanak dan sampai sekarang terus diulang-ulang dalam berbagai khutbah dan perayaan keagamaan. Sungguh perjuangan yang sangat berat. Tantangan dan perjuangan yang mereka jalankan bukanlah tantangan dan perjuangan yang rata-rata, tapi dahsyat.

Namun, bagaimana para nabi dan rasul menjalankan kehidupan ekonominya jarang diungkap. Nabi dan rasul sebagaimana manusia biasa juga perlu makan, pakaian dan tempat tinggal. Ia tidak memperolehnya begitu saja sebagaimana ia menerima wahyu. Para nabi dan rasul harus bekerja untuk mendapatkannya. Ia harus bekerja sebagaimana manusia pula. Al-Hadits: ”Tuhan tidak pernah mengangkat Nabi yang tidak pernah menggembala domba atau kambing”. 

Karena nabi pun lapar bila tak makan, haus bila tak minum, dan kedinginan bila tak pakai baju cukup. Mereka harus menyediakan waktu, berusaha, dan berkeringat pula. Apa yang mereka kerjakan juga tidak pasti langsung berhasil. Ada upaya, ada keseriusan, dan ada resiko gagal pula. Selain untuk dirinya sendiri, para nabi dan rasul pun harus menghidupi keluarganya. 

Dalam bagian ini disampaikan betapa para rasul ternyata juga harus berkerja. Menyampaikan wahyu, menegakkan agama Allah dan mengurus umat tidak serta merta harus meninggalkan kehidupan ekonominya. Bersamaan dengan itu pula, berkerja sembari mendakwahkan dan mengembangkan agama  merupakan pola hidup yang banyak dilakoni para pendakwah yang memasukkan agama Islam ke nusantara. Mereka adalah pedagang sekaligus pendakwah dan guru agama. Hal seperti ini juga dijalankan para Wali Songo. Mereka berekonomi tidak semata untuk keuntungan, tapi lebih kepada orientasi dakwah. Berekonomi secara benar dan menguntungkan juga merupakan salah satu materi yang diajarkan kepada umatnya saat itu. Kawan, apakah alasan ini belum cukup juga bagi Anda?

Alasan ke-39: Karena Rasul Pun Berkerja Untuk Hidupnya

Dalam sejarahnya, para nabi berkerja sebagaimana manusia biasa untuk menghidupi dirinya. Pada surah Al Furqan ayat 20 terbaca: "Tidaklah Kami mengutus para utusan sebelum engkau (Muhammad) melainkan sesungguhnya mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar". Pasar adalah tempat berkumpulnya manusia dengan berbagai macam karakter. Dari yang paling baik sampai yang buruk dapat dijumpai di dalamnya. Jadi, para rasul utusan Allah itu dalam melakukan kegiatan ekonominya bergaul dan berinteraksi dengan semua jenis manusia tanpa pilih-pilih. 

Mereka bukan tokoh spiritual penyendiri yang tinggal di dalam menara gading. Para nabi bekerja dan berdagang secara riel. Nabi Musa AS bekerja pada Nabi Syuaib, nabi Daud sebagai pengrajin membuat baju perang, Nabi Yusuf sebagai pengawas gudang, sedangkan Nabi Zakaria AS misalnya menjadi tukang kayu, dan Nabi Idris menjahit pakaian. 

Lain lagi Nabi Ibrahim yang memiliki kemampuan membuat patung seperti ayahnya, namun memfokuskan pada produksi gerabah kebutuhan rumah tangga. Sementara, Nabi Musa adalah seorang ahli bangunan yang merancang dan memimpin beberapa proyek pembangunan gedung-gedung monumental di Mesir. Karena kehidupan yang berpindah-pindah, Nabi Musa sering beralih-alih profesi untuk menghidupi dirinya. Demikian pula dengan Nabi Isa yang diangkat menjadi nabi di umur 30 tahun dan meninggal di usia  muda 3 tahun kemudian. Dalam lukisan-lukisan kaum Nasrani ia sering digambarkan sedang menggembala kambing. Ada pula yang menyebut bahwa Nabi Isa menjadi tukang kayu meneruskan profesi ayahnya.

Para nabi berkerja karena tidak mau aji mumpung dan menyandarkan hidup kepada umatnya. Beragam pekerjaan yang dilakoni rasul, dengan mengandalkan keterampilan tangan dan lain-lain. “Tidak ada makanan yang lebih baik dikonsumsi oleh seseorang, kecuali -- yang diperoleh -- dari pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud AS makan dari pekerjaan tangannya “ [i]. Nabi Daud AS mencari nafkah dari hasil pekerjaan tangannya sendiri sebagai tukang besi. Ia membuat baju besi dan lain-lain, kemudian menjualnya ke pasar untuk menghidupi diri dan keluarganya dari hasil penjualannya. 

Suatu hari Nabi Sulaiman AS minta ditunjukkan oleh Allah SWT hamba yang lebih bersyukur dibandingkan dirinya. Allah lalu mengutus Jibril untuk mengajari Sulaiman cara menyepuh perhiasan dengan emas, dan ia membuatnya pada kapak, lalu menjualnya. Begitulah, manusia pertama yang membuat hiasan dengan sepuhan emas adalah Nabi Sulaiman AS.

Ketika muda, Rasulullah SAW adalah seorang pekerja yang sangat giat. Beliau menjual jasa menjadi penggembala kambing milik orang lain. Nabi memelihara kambing dengan sangat produktif [ii]. Beliau juga menjualkan dagangan milik Khadijah ke Syam, dan mendapatkan bagi hasil. Bangsa Quraisy terkenal ulung berniaga. Pada musim dingin mereka ke Yaman, dan pada musim panas ke Syam (Suriah). Mereka bukanlah bangsa pemalas. Abdullah misalnya, ayah nabi, jatuh sakit dan wafat dalam perjalanan pulang berniaga dari Syam. Muhammad SAW dalam usia 12 tahun sudah mulai mengikuti jejak kaumnya, yang diajak pamannya Abu Thalib, ikut dalam rombongan niaga ke Syam.

Saat Rasul Muhammad SAW berusia 25 tahun, Abu Thalib berhasil mendapatkan perkerjaan dari Khadijah seorang pengusaha terkaya di Mekah saat itu. Khadijah menawarkan gaji empat ekor unta. Untuk pertama kalinya nabi kita ini memimpin kafilah dagang menyusuri jalur perdagangan utama Yaman – Syam. Bisnis tersebut sukses besar dan meraup keuntungan yang belum pernah mampu diraih misi-misi dagang sebelumnya. Jadi, pada hakekatnya Nabi kita adalah seorang pekerja yang tangguh.

Setelah diangkat jadi rasul, Muhammad SAW memerah sendiri susu kambingnya, menisik robekan bajunya dan menjahit sendiri sandalnya. Kemampuan kewirausahaan nabi sudah dipupuk sejak dini dengan menjadi penggembala. Beliau menggembalakan biri-biri orang Quraisy ketika masih sangat  muda guna meringankan beban yang ditanggung pamannya. Beliau ingin berpenghasilan dan bisa mandiri, tidak hendak berpangku tangan hanya sekedar bermain saja. Muhammad –sebagai pedagang - mempunyai empat kiat sukses berbisnis yakni siddiq (benar), amanah (dapat dipercaya), fatonah (cerdas, cerdik, memahami manajemen dan strategi bisnis), dan tabligh (kemampuan komunikasi dan meyakinkan relasi atau pembeli).

Alasan ke-40: Karena Rasul Berkerja Untuk Kehidupan Keluarganya

Rasulullah SAW dan para sahabat adalah orang-orang yang menyukai kerja. Selain bekerja untuk umatnya, beliau melubangi dan menjahit sendiri sandalnya, menambal sendiri bajunya, memeras sendiri susu kambingnya, dan melayani keluarga. Nabi terkadang ikut membersihkan rumah membantu istrinya. Mereka telah memberikan contoh dan teladan mulia dalam menyeimbangkan antara kepentingan mencari dan menyebarkan ilmu dan mencari nafkah. Para nabi dan rasul bekerja untuk menopang kelangsungan dakwah. Bekerja mencari nafkah dengan berniaga, bertani dan berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak menurunkan kualitas tawakal mereka.
Para ulama pun tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, namun mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Abu Bakar ketika menjadi khalifah setiap pagi pergi ke pasar memanggul beberapa helai pakaian untuk dijual. Ketika bertemu dengan Umar dan Ubaidah bin Jarrah, ia ditanya: “Bagaimana engkau berdagang sementara engkau menjadi pemimpin kaum muslimin?”. Abu Bakar berkata: “Dari mana aku menghidupi keluargaku?”. Sebagaimana Umar, Abu Bakar padahal juga memperoleh bagian dari baitul mal.

Alasan ke-41:Karena Keluarga Nabi Pun Berkerja

Fatimah Azzahra – putri nabi -  pernah satu hari kehabisan gandum sementara anak-anaknya butuh makan dan sakit. Dia pergi ke pemilik toko. Maka didapatnya pekerjaan menumbuk gandum untuk dibuat roti dan dimakan bersama anaknya.
Di masa nabi  Muhammad, perempuan diizinkan berkiprah dan beraktivitas tanpa batas di sektor publik, seperti Khadijah (istri Nabi) dan Qailah Umm Bani Ahmar yang keduanya dikenal sebagai pengusaha sukses. Selain itu ada lagi Asy-Syifa perempuan yang diserahi tugas oleh Khalifah Umar sebagai manajer yang mengelola pasar Madinah. Perempuan-perempuan lainnya seperti Umm Salamah (istri Nabi), Safiyyah, Laila al-Gaffariyah, dan Umm Sinam tercatat sebagai relawan kemanusiaan di medan perang. 

Untuk perkerjaan di rumah, sebagai contoh Zainab bekerja sebagai penyamak kulit. Fatimah Azzahra putri Nabi bekerja tidak ringan di rumahnya. Ia membuat roti sendiri mulai dari menumbuk gandum hingga membakarnya. Asma binti Abi Bakr membantu suaminya memberi makanan kuda, membawa air ke kebun dengan berjalan kaki sekitar lima kilometer. Nabi  mengetahuinya dan tidak melarangnya.
Dalam satu hadits terbaca: “Wahai Khadijah, waktu tidur dan istirahat telah berlalu”. Ya, tugas kenabian adalah pekerjaan yang berat, namun  Khadijah tetap membantu dengan mendampingi dan memotivasi [iii]. Anggota keluarga nabi tidak hanya membantu dalam ekonomi rumah tangga, tapi juga dalam dakwah.

Alasan ke-42:Karena Rasul Harus Bekerja Keras Dalam Mengurus Ummat

Semua nabi mesti bekerja keras membangun masyarakatnya. Allah tidak memudahkan begitu saja, meskipun tentu saja Allah sangat bisa. Allah tidak membuat para umat langsung patuh dan menerima apapun yang para nabi dan rasul sampaikan. Lihat nabi Musa AS yang penuh perjuangan luar biasa membina masyarakat Bani Israil, hijrah untuk bertemu Nabi Syuaib AS, menghadapi Firaun, memimpin penyelamatan besar-besaran Bani Israil dari Mesir ke Palestina yang memakan waktu puluhan tahun.

Demikian pula Nabi Muhammad SAW, yang baik pada periode Mekah maupun Medinah selalu harus bekerja keras mendakwahkan Islam. Setiap saat harus berada di tengah umat untuk membina mental, membentuk kader, membangun jaringan, memimpin perang, mengatur strategi, membuat perundingan, dan lain-lain. Untuk menjalankan tugas kerasulannya, ia tidak cukup hanya berzikir saja di mesjid, meskipun zikir dan shalatnya sangatlah istimewa. Tidak cukup hanya nasehat, petunjuk, dan arahan; sering kali harus dituntun dan dicontohkan.

Alasan ke-43:Karena Mengurus Ummat Tidak Mendapat Upah.

Nabi Muhammad SAW meletakkan aturan bagi para pejabat negara. Seorang khalifah tidak memperoleh upah, tapi mendapat tunjangan sebesar 2 dirham perhari. Ketentuan lain adalah seorang pejabat tidak boleh menggunakan kuda Turki yang merupakan binatang kendaraan terbaik saat itu. Pejabat tak boleh menggunakan pakaian yang tipis karena itu lambang kemewahan, tak boleh makan dari tepung halus, tak boleh menempatkan penjaga di muka rumah yang dikhawatirkan akan menjadi penghalang dengan ummatnya.        
  
Tidak ada seorang nabi pun yang menjadikan tugas dakwah mereka sebagai sarana mencari nafkah. Upah mereka dari Allah. Lihat kisah nabi Nabi Nuh AS pada Surah Huud ayat 29, demikian pula dalam surah Asy Syu'araa’ ayat 109, 127, 145, 164, dan 180; terdapat pernyataan yang sama dari Nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syuaib. Mereka tidak meminta upah dari dawah mereka. 

Dalam hal menjadikan ceramah sebagai profesi ada beragam pandangan. Ada yang membolehkan namun ada juga yang menganggap itu tidak pantas. Jika ceramah dimaknai sebagai mengajar, sebagaimana seorang guru, ini satu profesi yang sangat wajar. Di masa nabi, seorang yang bisa mengajarkan 10 orang lain untuk bisa sekedar membaca dan menulis, mendapat imbalan yang besar. Bahkan para tawanan perang Badar (yang non muslim) akan dibebaskan bila bisa mengajarkan baca tulis.

******


[i] Hadits riwayat H.R. Bukhari.
[ii] Afzalurrahman. 2000. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Penerbit Yayasan Swarna Bhumy. hal 229.
[iii] Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abun Nastri Asy-Syilbi. Istri-Istri dan Putri-Putri Rasulullah: serta peranan beliau terhadap mereka . Oktober 2003. Issyad Baitus Salam, Bandung. Hal 190