Minggu, 24 Januari 2016

Alasan ke-14: Karena ibadah pertama yang dikenal di dunia ini mestilah dicapai dengan berkerja keras.

Salah satu pelajaran pertama bentuk ibadah yang diberikan Nabi Adam kepada anak-anaknya adalah mempersembahkan kurban. Dan untuk itu ia harus berusaha keras memberikan kurban yang terbaik. Qabil memilih sebagai petani dan Habil sebagai peternak. Akhirnya, karena kurban Habil dinilai lebih baik maka kurbannya diterima, dan ia dikawinkan dengan Iqlima yang diperebutkan. Korban Habil diterima karena ia memberi domba yang paling gemuk, bagus dan paling kuat; tidak demikian dengan Qabil.

Alasan ke-15:  Karena ibadat adalah inti ajaran Islam.

Pada hakekatnya, setiap kerja yang diridhoi oleh Allah dan disertai dengan niat baik adalah ibadat. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa berkerja untuk anak isterinya melalui jalan yang halal, maka bagi mereka pahala seperti orang yang berjihad di jalan Allah” [i]. Selain itu, hadits lain berbunyi: “Mencari kerja yang halal itu adalah fardhu selepas fardhu” [ii].
Ibadat adalah perbuatan, baik perbuatan mulut (perkataan) ataupun perbuatan anggota badan lain. Jadi, ibadah tidaklah sesempit hanya shalat, puasa, zakat dan haji. Ibadah mencakup seluruh aktivitas fisik, akal fikiran dan jiwa; sehingga termasuk mencari rezeki, mencari ilmu, mendidik dan membesarkan anak, mencari nafkah untuk keluarga, bahkan menyingkirkan duri dari jalanan. Semua gerak yang kita jalankan dalam 24 jam adalah ibadah, mestilah bernilai ibadah. Jangan kita dikacaukan dengan urusan dunia atau akhirat, karena semua adalah ibadah yang memiliki relevansi terhadap dunia sekaligus terhadap akhirat.

Alasan ke-16:Karena beriman pun bermakna melakukan.

Abul A’la Maududi telah menggariskan dengan jelas: iman sejati tidak cukup dengan lisan. Seandainya kita dalam kedinginan, lalu kita bergumam ’selimut-selimut’, pengaruh dingin tidak akan berkurang meski kita mengulang-ulang kata-kata tersebut beribu kali setiap malam dan memegang tasbih. Namun jika kita menyiapkan selimut dan menutupkannya ke tubuh, rasa dingin itu akan  berhenti [iii]. Demikian pula dengan ulama besar Imam Bukhari yang memperoleh hadits dari seribu ditambah delapan puluh (1080) guru, yang semuanya adalah ahli hadits;  berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan sekaligus perbuatan.
Beriman tidaklah cukup hanya percaya, melafazkan satu sampai beberapa kata dan kalimat, lalu memantap-mantapkan hati dengan keyakinan itu. Ingat bahwa ada 77  cabang iman, dimana sebagian dari cabang-cabang tersebut secara jelas merupakan aktivitas fisik yang nyata. Dalam 77 cabang itu termasuk misalnya menuntut ilmu pengetahuan, mengajarkan ilmu kepada orang lain, bersuci, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa, menepati janji, menyampaikan amanat, amar ma’ruf nahi munkar, ta’at kepada orang tua, menyambung silaturrahim, memenuhi hak-hak anak istri, menjawab salam, menengok orang sakit, menyalatkan mayat orang Islam, memuliakan tetangga, memuliakan tamu, belas kasih kepada anak-anak dan memuliakan orang tua, serta merukunkan orang yang berselisih. Terlihat, bahwa beriman mestilah dijalankan dengan sangat aktif. Tidak akan mampu dipenuhi ke 77 cabang iman ini jika orang hanya berdiam diri di mushala dan mesjid.
Lebih dari lima puluh tempat dalam al-Qur’an menyebut bahwa keimanan selalu dikaitkan dengan amal saleh yang secara literal berarti kerja-kerja positif. Amal saleh vertikal berupa ibadah-ibadah ritual, sementara amal saleh horizontal adalah ibadah-ibadah sosial, politik, ekonomi, dan seterusnya yang berhubungan dengan manusia.



[i] Hadits riwayat Al- Bukhari.
[ii] Hadits riwayat Al- Baihaqi.
[iii] Abul A’la Maududi. 1985. Menjadi Muslim Sejati. Mitra Pustaka. Bagian Pengantar oleh Khurram Murad. Hal. 7.