Minggu, 24 Januari 2016

Bab 3. Berkerja adalah Hakikatnya Ibadah

Secara etimologis, yakni satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata, ibadah diambil dari kata ‘abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa [i]. Dirinya sendiri milik tuannya. Seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya. Jiwa dan raganya untuk menghamba kepada-Nya. Tidak diciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah SWT (Adz Dzariyat:  56).

Kita mengenal dua jenis ibadah, yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, namun tampaknya kita sering lupa membedakannya dan memposisikannya dengan tepat.  Ini akibatnya fatal. Dan ini jugalah yang membuat saya terdorong menulis buku ini.

Ibadah mahdhah memiliki empat prinsip yakni: keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul SAW, bersifat supra rasional atau bukan ukuran logika, dan azasnya “taat”. Tujuan pelaksaan ibadah ini adalah untuk kepatuhan atau ketaatan hambanya. Ketaatan fisik dan hati. Tata pelaksanaannya jangan dirubah-rubah, dan jangan pula kreatif. Ibadah mahdhah, sering disebut sebagai ibadah dalam arti sempit, adalah aktivitas atau perbuatan yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Kondisi, cara, tahapan atau urutannya telah ditentukan. Melalui ibadah ini terjalin relasi seorang hamba dengan Allah SWT yang di dalamnya tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan dengan manusia lain. Ibadah mahdhah mencakup wudhu, tayammum, mandi hadats, adzan, iqamat, shalat, membaca Al-Quran, i’tikaf, puasa, haji, umrah, dan menyelenggarakan jenazah. 

Sementara, ibadah ghairu mahdhah, di samping memiliki dimensi hubungan  hamba dengan Allah, juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya.  Relasi horizontal dengan alam. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini adalah: keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang, tatalaksananya tidak perlu kaku berpola kepada contoh Rasul, bersifat rasional, dan azasnya manfaat. Selama sesuatu bermanfaat, maka boleh dilakukan. Ini adalah segala perbuatan baik  karena Allah SWT. Yang tergolong dalam kelompok ini adalah segala bentuk kebaikan untuk hidup seperti makan, minum, mencari nafkah, dan seterusnya. Pokoknya segala sesuatu di luar ibadah mahdhah yang telah disebutkan tadi. Muamalah adalah tata interaksi antar manusia yang dijalankan secara sungguh-sungguh dengan berpedoman pada Al-Qur'an dan hadits. Bila dalam ibadah mahdhah kita dilarang berkreasi, dalam muamalah manusia sangat dianjurkan untuk berkreasi sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan.

Ibadah mencakup keduanya. Jangan direduksi hanya untuk ibadah mahdhah saja. Apapun aktivitas sepanjang masuk dalam perintah Allah tergolong ibadah. Lalu, manakah yang lebih penting? Dalam beberapa hal ia bisa kondisional. Bukankah Rasul mempercepat shalatnya karena mendengar tangis bayi. Sambil sholat Rasul pun membukakan pintu untuk tamunya. Shalat jamaah pun bisa ditunda jika ada tamu, atau jika sedang menuntut ilmu.

Ibadah ghairu mahdhah yang masuk kategori muamalah, meskipun “hanyalah” hal-hal horizontal berkenaan dengan hubungan antar manusia, janganlah dianggap enteng. Untuk urusan muamalah ini waktunya lebih panjang, dan tantangannya sulit karena dapat berubah-rubah sesuai tempat dan waktu. Jika kita telusuri periode turunnya wahyu, setelah ayat-ayat berkenaan dengan aqidah lalu disambungkan dengan persoalan akhlak (ibadah ghairu mahdhah), dan terakhir baru tentang ibadah (ibadah mahdhah).

Menurut satu ustadz, sesungguhnya muamalah diatur dengan ketat dalam Islam, namun dengan Allah begitu longgar. Ibadah muamalah bisa menutup kewajiban ibadah mahdhah, misalnya fidyah untuk yang tak mampu puasa. Sebaliknya, ibadah sosial tak bisa diganti dengan ibadah mahdhah. Hutang ya harus di bayar. Jika bersalah pada seseorang harus minta maaf dulu, bukan minta ampun ke Allah.

Bab ini bertolak dari konsep ibadah tadi, yang menurut saya tampaknya suka disempitkan pemaknaannya. Saya selalu memimpikan dalam khutbah Jum’at misalnya bagaimana khatib membakar semangat jemaah untuk sepulang dari mesjid kembali ke tempat kerja, berkerja sekeras-kerasnya, sejujur-jujurnya, dan berepretasi setinggi-tingginya. Kapan para khatib memberi nasehat agar kita-kita para umat ini mencintai, atau setidaknya tidak merasa dilecehkan dan dikucilkan karena terlalu banyak berkerja mencari nafkah.


[i] Umay M. Djafar Shiddieq. Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah.  http://umayonline.wordpress.com/....