Secara
etimologis, yakni satu cabang
ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata, ibadah diambil dari kata
‘abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau
budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa [i].
Dirinya sendiri milik tuannya. Seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk
memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya. Jiwa dan raganya untuk
menghamba kepada-Nya. Tidak diciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk
beribadah kepada Allah SWT (Adz Dzariyat: 56).
Kita
mengenal dua jenis ibadah, yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, namun tampaknya
kita sering lupa membedakannya dan memposisikannya dengan tepat. Ini akibatnya fatal. Dan ini jugalah yang
membuat saya terdorong menulis buku ini.
Ibadah
mahdhah memiliki empat prinsip yakni: keberadaannya harus berdasarkan adanya
dalil perintah, tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul SAW, bersifat
supra rasional atau bukan ukuran logika, dan azasnya “taat”. Tujuan pelaksaan
ibadah ini adalah untuk kepatuhan atau ketaatan hambanya. Ketaatan fisik dan
hati. Tata pelaksanaannya jangan dirubah-rubah, dan jangan pula kreatif. Ibadah
mahdhah, sering disebut sebagai ibadah dalam arti sempit, adalah aktivitas atau perbuatan yang
sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Kondisi, cara, tahapan atau urutannya
telah ditentukan. Melalui ibadah ini terjalin relasi seorang hamba dengan Allah
SWT yang di dalamnya tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan
dirinya sendiri dan dengan manusia lain. Ibadah mahdhah mencakup wudhu,
tayammum, mandi hadats, adzan, iqamat, shalat, membaca Al-Quran, i’tikaf,
puasa, haji, umrah, dan menyelenggarakan jenazah.
Sementara,
ibadah ghairu mahdhah, di samping memiliki dimensi hubungan hamba dengan
Allah, juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk
lainnya. Relasi horizontal dengan alam. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini
adalah: keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang,
tatalaksananya tidak perlu kaku berpola kepada contoh Rasul, bersifat
rasional, dan azasnya manfaat. Selama sesuatu bermanfaat, maka boleh
dilakukan. Ini adalah segala perbuatan baik
karena Allah SWT. Yang tergolong dalam kelompok ini adalah segala bentuk
kebaikan untuk hidup seperti makan, minum, mencari nafkah, dan seterusnya.
Pokoknya segala sesuatu di luar ibadah mahdhah yang telah disebutkan tadi. Muamalah
adalah tata interaksi antar manusia yang dijalankan secara sungguh-sungguh
dengan berpedoman pada Al-Qur'an dan hadits. Bila dalam ibadah mahdhah kita
dilarang berkreasi, dalam muamalah manusia sangat dianjurkan untuk berkreasi
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan.
Ibadah
mencakup keduanya. Jangan direduksi hanya untuk ibadah mahdhah saja. Apapun
aktivitas sepanjang masuk dalam perintah Allah tergolong ibadah. Lalu, manakah
yang lebih penting? Dalam beberapa hal ia bisa kondisional. Bukankah Rasul mempercepat
shalatnya karena mendengar tangis bayi. Sambil sholat Rasul pun membukakan
pintu untuk tamunya. Shalat jamaah pun bisa ditunda jika ada tamu, atau jika
sedang menuntut ilmu.
Ibadah
ghairu mahdhah yang masuk kategori muamalah, meskipun “hanyalah” hal-hal horizontal
berkenaan dengan hubungan antar manusia, janganlah dianggap enteng. Untuk
urusan muamalah ini waktunya lebih panjang, dan tantangannya sulit karena dapat
berubah-rubah sesuai tempat dan waktu. Jika kita telusuri periode turunnya
wahyu, setelah ayat-ayat berkenaan dengan aqidah lalu disambungkan dengan
persoalan akhlak (ibadah ghairu mahdhah), dan terakhir baru tentang ibadah
(ibadah mahdhah).
Menurut
satu ustadz, sesungguhnya muamalah diatur dengan ketat dalam Islam, namun dengan
Allah begitu longgar. Ibadah muamalah bisa menutup kewajiban ibadah mahdhah,
misalnya fidyah untuk yang tak mampu puasa. Sebaliknya, ibadah sosial tak bisa
diganti dengan ibadah mahdhah. Hutang ya harus di bayar. Jika bersalah pada
seseorang harus minta maaf dulu, bukan minta ampun ke Allah.
[i]
Umay M. Djafar Shiddieq. Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah. http://umayonline.wordpress.com/....