Minggu, 24 Januari 2016

Alasan ke-28: Karena berkerja akan menghapus dosa-dosa

Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya, di antara perbuatan dosa, ada yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shalat, sedeqah ataupun haji, namun hanya dapat ditebus dengan kesungguhan dalam mencari nafkah penghidupan” [i]. Jelaslah, betapa tingginya kedudukan berkerja dalam Islam, sehingga hanya dengan berkerja keras (sunguh-sungguh) suatu dosa bisa dihapuskan oleh Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasul SAW bersabda “Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena berkerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah” [ii]. Selanjutnya: "Barangsiapa yang diwaktu sorenya merasakan kelelahan karena berkerja, berkarya dengan tangannya, maka di waktu sore itu pulalah ia terampuni dosanya" [iii].

Alasan ke-29: Karena pekerja keras akan bertemu Allah dengan wajah berseri-seri

Di dalam satu riwayat disebutkan, bahwa orang yang memiliki profesi halal dan baik, akan bertemu dengan Allah SWT dengan wajah berseri-seri bagaikan bulan purnama. Rasulullah bersabda: "Barangsiapa mencari kehidupan dunia yang halal dan baik, maka ia akan menjumpai Allah SWT dengan muka berseri-seri bagaikan rembulan purnama" [iv]. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: ''Siapa mencari dunia secara halal, membanting tulang demi keluarga dan cinta tetangga, maka pada hari kiamat Allah akan membangkitkannya dengan wajah berbinar layak rembulan bulan purnama'' [v].

Alasan ke-30: Karena berkerja akan memudahkan terkabulnya do’a

Do’a akan dikabulkan Allah SWT jika makanan, pakaian, dan rumah yang kita tempati diperoleh dari jalan yang halal dan baik. Bagaimana cara mendapatkan itu semua? Tentu saja dengan berkerja yang halal pula.
Untuk dapat harta yang halal tidak bisa malas-malasan atau hanya berkerja sekedarnya. Orang bilang: ”saat ini, mencari harta yang haram saja sulit, apalagi yang halal”. Mahatma Gandhi menandai dengan serius hal ini. Ada tujuh dosa sosial, katanya, satu di antaranya adalah ”kaya tanpa berkerja”.

Alasan ke-31: Karena berkerja mendatangkan pahala

Pada suatu hari selepas shalat Jum’at, Khalifah Umar bertanya kepada sekumpulan jemaah yang bersantai di mesjid: ”Mengapa kamu masih berada di sini? Mereka menjawab: Kami adalah orang yang bertawakal kepada Allah”. Mendengar jawaban itu, Umar mengusir mereka keluar dari mesjid, sambil berkata: ”Jangan kamu berhenti berkerja untuk mencari rezeki, sedangkan Dia mengetahui langit belum pernah menurunkan hujan emas atau hujan perak”. Ini sesuai dengan firman Allah: ”Apabila kamu selesai mengerjakan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah (AI Jumuah: 9).

Alasan ke-32: Karena tawakkal hanya boleh setelah berusaha sekerasnya

Jangan salah memahami makna tawakkal. Tawakkal sering disalahartikan sebagai menyerah pasrah tanpa mau berusaha mengubah nasib. Sebagaimana kata Umar, bahwa "langit tidak menurunkan hujan emas atau perak." Artinya, tawakkal bukan bermakna kita meninggalkan ikhtiar dan usaha.

Suatu kali seorang pemuda bertamu ke hadapan Rasulullah. Ketika ia ditanya bagaimana untanya ditambatkan, ia menjawab bahwa ia tidak mengikatkan talinya karena ia bertawakkal. Sebaliknya, Rasullullah langsung menyuruhnya untuk mengikatkan dulu tali unta secara baik baru bertawakkal.

Alasan ke-33: Karena taubat tak cukup di lidah saja

Sebagaimana dalam Surat Al Baqarah ayat 60: ”Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya”. Taubat baru diterima jika kita sudah benar-benar meninggalkan kesalahan sebelumnya, dan melakukan hal positif sebaliknya. Mengadakan perbaikan berarti melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik dan berusaha meninggalkan pekerjaan yang jelek. Ada action yang anda harus lakukan, atau tidak lagi anda lakukan; tidak cukup dengan lisan saja meski seribu kali.

Alasan ke-34: Dengan berkerja kita berpeluang dicintai Allah SWT

Dalam sebuah riwayat digambarkan: Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mukmin yang giat berkerja [vi]. Cinta Allah baru tergapai hanya jika kita telah melaksanakan seluruh amanat dan ajaran al-quran dan sunnah Rasul, disertai luapan kalbu yang dipenuhi rasa cinta. Siapa yang mencintai Allah, maka Allah pun akan mencintainya. Imam Ibnu Qayyim menyebut ada 10 tahapan menuju cinta Allah, yakni membaca al-quran dengan merenungi dan memahami maknanya, mendekatkan diri dengan mengerjakan ibadah yang sunnah setelah mengerjakan ibadah wajib, terus-menerus mengingat Allah dengan hati serta lisan dan amalan, lebih mendahulukan kecintaan pada Allah daripada pada diri sendiri, mengenal dan merenungi kebesaran nama dan sifat Allah, memperhatikan nikmat dan karunia Allah yang telah diterima, menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah, menyendiri dengan Allah pada sepertiga malam terakhir, duduk bersama orang-orang yang mencintai Allah dan para shidiqin, serta menjauhi segala sebab yang dapat menghalangi antara dirinya dan Allah SWT.
Semua ini tidak mudah. Kita harus berusaha keras mengalahkan hati kita sendiri, mengontrol lisan, dan mengarahkan seluruh perilaku untuk menjalankan ke-10 syarat ini secara konsisten dari waktu ke waktu.

Alasan ke-35: Dengan berkerja kita dapat terhindar dari azab neraka
       
Pada suatu kali, Sa’ad bin Muadz Al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa'ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya kenapa tanganmu? Saad menjawab, karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku. Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata: ”inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka ” [vii].

Alasan ke-36: Karena muslim harus melaksanakan fungsi kekhalifahannya dengan sebaik-baiknya

Manusia adalah khalifah Allah di bumi. Di sisi lain kita ingat bahwa Islam diturunkan untuk kemaslahatan seluruh alam. Tugas kemasalahatan ini tentu ada di pundak muslim itu sendiri. Bagaimana mungkin tugas ini bisa ditunaikan jika muslim tidak menguasai ilmu pengetahuan, tidak berkerjasama dalam jaringan, tidak bermodal, dan tidak menjadi memimpin di dunia. Semua ini mesti diraih dengan berkerja keras, apalagi di abad ke-21 ini ketika bangsa-bangsa lain sudah jauh melaju di depan.

Alasan ke-37: Dunia adalah ladang untuk akhirat

Dunia yang harus dihindari adalah dunia yang bermewah-mewahan (hedonic life), sebagaimana Kaum ‘Ad di era nabi Hud. Saat ini tampaknya ada kekeliruan dimana ada ketakutan terhadap harta sehingga orang-orang takut kaya. Karena takut kaya, maka berkerja hanya secukupnya.

Suatu hari Rasulullah bertemu seorang sahabat yang kondisinya sangat memprihatinkan. Ketika ditanya, ia menjawab bahwa ini terjadi mungkin karena do’anya. Do’anya adalah: “Ya Allah berilah saya kesengsaraan dunia dan jadikan kesengsaraan dunia ini sebagai petunjuk bahwa saya akan mendapat kebahagiaan akhirat”. Mendengar jawaban itu Rasulullah bersabda dengan menunjukkan do’a yang lebih baik sebagaimana pada surat Al-Baqarah ayat 201: “Ya Allah berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Orang-orang beriman menjadikan dunia sebagai ladang untuk akhirat. Mereka berupaya meraih dunia dengan berpedoman pada nilai-nilai Illahi.

Beberapa bacaan menyebut bahwa salah satu penyebab lemahnya etos kerja muslim adalah karena kekeliruan memandang apa itu dunia dan apa itu akhirat. Keduanya seolah dipisahkan dengan hitam putih. Kekeliruan ini ikut menyebabkan kekeliruan pada turunannya, yaitu sikap terhadap harta, dan sikap terhadap kerja.


[i] Hadits riwayat H.R.Thabrani.
[ii] Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Asakir.
[iii] Hadits riwayat HR.Thabrani dan Baihaqi.
[iv] Dalam buku Muqaddimah Dustur, hal. 278.
[v] Kitab Al-Ittihaf 5/414.
[vi] Hadits riwayat HR. Thabrani.
[vii] Hadits riwayat HR. Thabrani.