Sabtu, 23 Januari 2016

Alasan ke-2: Karena bekerja keras tidak timbul tanpa etos

Etos kerja merupakan sikap dasar, sikap hidup, semangat, dan nilai yang ada pada individu dan masyarakat berkenaan dengan kerja. Etos kerja merupakan pola bagi (fungsi nilai) dan unsur pendorong (fungsi sikap) untuk mewujudkan perilaku kerja. Ia merupakan wujud ideal serta wujud mentalitas dari manusia bersangkutan. Etos kerja menyangkut sistem nilai yang dianutnya. Ada empat hal yang melekat pada etos kerja yaitu: sebagai nilai, sikap dasar dan sikap hidup, terwujud pada perilaku, dan sebagai bentuk respon terhadap lingkungan.

Lebih mendasar dari itu, kata “etos” menunjuk pada sikap mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup [i]. Etos kerja adalah “…. a set of values based on the moral virtues of hard work and diligence. It is also a belief in the moral benefit of work and its ability to enhance character”. Ia merupakan aspek evaluatif, berkenaan dengan ide, cita, dan pikiran yang akan menceritakan sistem tindakan. Sumber yang kuat untuk menghasilkan etos adalah keyakinan religius. Orang akan bekerja keras apabila kerja dianggap sebagai kewajiban hidup yang sakral. Yang lebih bernilai adalah “kerjanya”, bukan “hasil kerjanya”.

Selain dari religi, etos juga dapat berasal dari nilai-nilai budaya dan sikap hidup suatu masyarakat. Jadi, sumber motivasi kerja seseorang dapat berasal dari agama yang dianutnya, kebudayaan, sistem soisal, kepribadian, dan lingkungannya.

Etos kerja (himmatul 'amal) sesuatu yang serius dalam Islam. Islam sangat mendorong ummatnya untuk selalu bekerja keras, bersungguh-sungguh banting tenaga, memeras seluruh kemampuan dalam menjalankan tugasnya dan tanggung jawabnya. Semua ini prasyarat menuju ihsan, sebagai puncak ibadah dan akhlak. Allah SWT dan Rasulullah SAW secara khusus mendoakan keberkahan untuk mereka ini. Dalam satu hadits disebut, Allah SWT senang melihat hamba-Nya bersusah payah (kelelahan) mencari rizki yang halal.
Orang yang bekerja yang dilandasi etos kerja tidak hanya sekadar profesional. Wujud visual yang mudah diindikasi untuk melihat kualitas kerja seseorang memang profesionalisme. Ciri orang yang profesional adalah bertanggung jawab secara individual, mampu mengaplikasikan teknik-teknik intelektual tercanggih, bersikap mandiri (self-organization), dan motivasi altruistiknya tinggi. Seseorang akan menjadi profesional apabila memiliki  keterampilan yang didasarkan pengetahuan teoritis, keterampilan yang membutuhkan training dan pendidikan, menunjukkan kompetensi dengan melewati test, integritas, terorganisasi, dan pelayanan kepada pemanfaat.
Dalam etos dirumuskan apa yang dianggap paling penting dan bagaimana mencapainya. Dalam konteks muslim, etos kerja muslim dapat didefinisikan sebagai bentuk kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja memuliakan dirinya dan menampakkan kemanusiannya, melainkan juga sebagai manifestasi dari amal saleh. Apa yang dilakukannya mestilah selalu dilingkupi selubung  nilai ibadah yang sangat luhur. Ia tekun dalam bekerja karena ia takwa, amanat dan ikhlas. “Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri, ...”  (hadits HR Bukhari). Etos kerja islam adalah suatu sikap mental yang mendorong pengerjaan sesuatu secara optimal dan berkualitas, atau pencapaian performa yang itqan. Suatu kinerja yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna.
Etos kerja tidak lahir begiru saja.  Akarnya adalah, menurut Immanuel Kant (seorang Bapak filosofi modern), menekankan pentingnya menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai sebuah sasaran pengembangan etos kerja. Arti penting dari manusia itu sendiri sebagai tujuan perubahan, bukan manusia sebatas sebagai SDM atau sebagai sarana produksi. Jadi, basisnya terletak pada nilai-nilai [ii]. Nilai-nilai itu dihidupi dan dikembangkan oleh manusia yang menjadi subyek atas perilaku dan tindakannya sendiri.
Kondisi alam merupakan sebuah faktor yang dapat membentuk kerja keras. Di wilayah dekat kutub misalnya kehidupan lebih sulit. Cuaca yang ekstrim membuat penduduknya harus berusaha keras dalam bertahan hidup sehingga terbentuk orang-orang yang tangguh, disiplin dan pekerja keras. Sedangkan di negara tropis dimana tanahnya subur dan sumber daya alam melimpah, orang-orangnya tidak perlu bersusah payah untuk sekedar makan. Alam yang memanjakan ini dipercaya sebagai penyebab terbentuknya pribadi-pribadi yang tidak tangguh dan cenderung malas.
Tapi ini tidak diterima banyak kalangan. Banyak bukti, orang Indonesia yang tropis, tidaklah pemalas. Keperkasaan sebagai bangsa maritim dicatat oleh Afonso de Albuquerque (Portugis) [iii]. Kapal-kapal jung Melayu dan Jawa bahkan lebih besar dari milik si Portugis


[i] Geertz, Clifford. Ethos, World View, and The Analisys of Sacred Symbols. Dikutip dari Taufik Abdullah. 1988. Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Hal. 3.
[ii] Huntington dalam artikelnya ”Culture Count” di bunga rampai Culture Matters, New York, 2000
[iii] Dalam buku karya Joao de Barros berjudul "Da Asia" (deretan II, jilid VI, bab VII), terbit tahun 1533, diterangkan bahwa De Albuquerque melepas dari Malaka tahun 1511 empat kapal ... "termasuk satu kapal jung rampasan yang awaknya orang Jawa melulu, yang di antaranya banyak tukang kayu, juru dempul, dan juru alat mekanik, yang dinilai tinggi sekali keahliannya. Orang-orang Jawa ini ahli-ahli besar segala kejuruan pelayaran [grandes homens deste mister do mar]". Kapal terbesar yang pernah dibangun di Indonesia pra-kolonial adalah jung yang berpenyisihan air 1000 ton yang turun gelanggang di Jepara pada tahun 1513. Dilaporkan de Barros pula bahwa tahun 1513, Pati Unus putra mahkota Kesultanan Demak yang menjabat Adipati Jepara, berangkat dengan 90 kapal untuk menyerang Malaka.