Etos kerja merupakan sikap
dasar, sikap hidup, semangat, dan nilai yang ada pada individu dan masyarakat
berkenaan dengan kerja. Etos
kerja merupakan pola bagi (fungsi nilai) dan unsur pendorong (fungsi sikap)
untuk mewujudkan perilaku kerja. Ia merupakan wujud ideal serta wujud
mentalitas dari manusia bersangkutan. Etos kerja menyangkut sistem nilai yang
dianutnya. Ada empat hal yang melekat pada etos kerja yaitu: sebagai nilai,
sikap dasar dan sikap hidup, terwujud pada perilaku, dan sebagai bentuk respon
terhadap lingkungan.
Lebih
mendasar dari itu, kata “etos” menunjuk pada sikap mendasar terhadap diri dan
dunia yang dipancarkan hidup [i]. Etos kerja adalah “…. a set of values based
on the moral virtues of hard work and diligence. It is also a belief in the
moral benefit of work and its ability to enhance character”. Ia merupakan aspek evaluatif,
berkenaan dengan ide, cita, dan pikiran yang akan menceritakan sistem tindakan.
Sumber yang kuat untuk menghasilkan etos adalah keyakinan religius. Orang akan bekerja
keras apabila kerja dianggap sebagai kewajiban hidup yang sakral. Yang lebih
bernilai adalah “kerjanya”, bukan “hasil kerjanya”.
Selain
dari religi, etos juga dapat berasal dari nilai-nilai budaya dan sikap hidup
suatu masyarakat. Jadi, sumber motivasi kerja seseorang dapat berasal dari
agama yang dianutnya, kebudayaan, sistem soisal, kepribadian, dan
lingkungannya.
Etos kerja (himmatul 'amal) sesuatu yang serius dalam
Islam. Islam sangat mendorong ummatnya untuk selalu bekerja keras,
bersungguh-sungguh banting tenaga, memeras seluruh kemampuan dalam menjalankan
tugasnya dan tanggung jawabnya. Semua ini prasyarat menuju ihsan, sebagai
puncak ibadah dan akhlak. Allah SWT dan Rasulullah SAW secara khusus mendoakan
keberkahan untuk mereka ini. Dalam satu hadits disebut, Allah SWT senang
melihat hamba-Nya bersusah payah (kelelahan) mencari rizki yang halal.
Orang yang bekerja yang
dilandasi etos kerja tidak hanya sekadar profesional. Wujud visual yang mudah
diindikasi untuk melihat kualitas kerja seseorang memang profesionalisme. Ciri
orang yang profesional adalah bertanggung jawab secara individual, mampu
mengaplikasikan teknik-teknik intelektual tercanggih, bersikap mandiri (self-organization),
dan motivasi altruistiknya tinggi. Seseorang akan menjadi profesional apabila
memiliki keterampilan yang didasarkan
pengetahuan teoritis, keterampilan yang membutuhkan training dan pendidikan,
menunjukkan kompetensi dengan melewati test, integritas, terorganisasi, dan
pelayanan kepada pemanfaat.
Dalam etos dirumuskan
apa yang dianggap paling penting dan bagaimana mencapainya. Dalam konteks
muslim, etos kerja muslim dapat didefinisikan sebagai bentuk kepribadian yang
melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja
memuliakan dirinya dan menampakkan kemanusiannya, melainkan juga sebagai
manifestasi dari amal saleh. Apa yang dilakukannya mestilah selalu dilingkupi
selubung nilai ibadah yang sangat luhur.
Ia tekun dalam bekerja karena ia takwa, amanat
dan ikhlas. “Tidaklah seorang di
antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil
keringatnya sendiri, ...” (hadits
HR Bukhari). Etos kerja islam adalah suatu sikap mental yang mendorong
pengerjaan sesuatu secara optimal dan berkualitas, atau pencapaian performa
yang itqan. Suatu kinerja yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna.
Etos kerja tidak lahir
begiru saja. Akarnya adalah, menurut
Immanuel Kant (seorang Bapak filosofi modern), menekankan pentingnya
menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai sebuah sasaran pengembangan etos
kerja. Arti penting dari manusia itu sendiri sebagai tujuan perubahan, bukan
manusia sebatas sebagai SDM atau sebagai sarana produksi. Jadi, basisnya
terletak pada nilai-nilai [ii].
Nilai-nilai itu dihidupi dan dikembangkan oleh manusia yang menjadi subyek atas
perilaku dan tindakannya sendiri.
Kondisi alam merupakan sebuah faktor yang dapat membentuk
kerja keras. Di wilayah dekat kutub misalnya kehidupan lebih sulit. Cuaca yang
ekstrim membuat penduduknya harus berusaha keras dalam bertahan hidup sehingga
terbentuk orang-orang yang tangguh, disiplin dan pekerja keras. Sedangkan di
negara tropis dimana tanahnya subur dan sumber daya alam melimpah,
orang-orangnya tidak perlu bersusah payah untuk sekedar makan. Alam yang
memanjakan ini dipercaya sebagai penyebab terbentuknya pribadi-pribadi yang
tidak tangguh dan cenderung malas.
Tapi ini tidak diterima banyak kalangan. Banyak
bukti, orang Indonesia yang tropis, tidaklah pemalas. Keperkasaan sebagai
bangsa maritim dicatat oleh Afonso de Albuquerque (Portugis) [iii].
Kapal-kapal jung Melayu dan Jawa bahkan lebih besar dari milik si Portugis
[i] Geertz, Clifford. Ethos, World View, and The Analisys of
Sacred Symbols. Dikutip dari Taufik Abdullah. 1988. Agama, Etos Kerja, dan
Perkembangan Ekonomi. Hal. 3.
[ii] Huntington
dalam artikelnya ”Culture Count” di bunga rampai Culture Matters, New York,
2000
[iii] Dalam buku karya Joao de Barros berjudul "Da Asia" (deretan II,
jilid VI, bab VII), terbit tahun 1533, diterangkan bahwa De Albuquerque melepas
dari Malaka tahun 1511 empat kapal ... "termasuk
satu kapal jung rampasan yang awaknya orang Jawa melulu, yang di antaranya
banyak tukang kayu, juru dempul, dan juru alat mekanik, yang dinilai tinggi
sekali keahliannya. Orang-orang Jawa ini ahli-ahli besar segala kejuruan
pelayaran [grandes homens deste mister
do mar]". Kapal
terbesar yang pernah dibangun di Indonesia pra-kolonial adalah jung yang
berpenyisihan air 1000 ton yang turun gelanggang di Jepara pada tahun 1513.
Dilaporkan de Barros pula bahwa tahun 1513, Pati Unus putra mahkota Kesultanan
Demak yang menjabat Adipati Jepara, berangkat dengan 90 kapal untuk menyerang
Malaka.