Negara-negara yang maju ekonomi
dan peradabannya diperoleh dari kerja keras warganya, meskipun sumber daya alam
mereka kurang mendukung. Jepang, Korea dan juga Singapura sering dijadikan
misal. Sebaliknya, beberapa negara justeru terjebak bencana karena kekayaan sumber
daya alamnya (the natural resource trap),
yang membuat warganya terlena dengan segala kemudahan. Ini yang disebut dengan
“kutukan sumber daya alam” seperti yang dialami beberapa negara Afrika dan juga
Amerika Latin. Mungkin beberapa negara di Timur Tengah pun bisa kita
kelompokkan ke dalam ini, yang karena kekayaan minyaknya malah jatuh dalam
konflik berkepanjangan.
Dari kisah
“orang-orang sukses” kita bisa banyak belajar. Selain banyak faktor lain, namun kuncinya tetap sama: kerja keras. Kerja keras dalam arti kerja fisik, fikiran, kerja
individu dan dalam kelompok. Meskipun ide, kreatifitas, mimpi adalah sumber
atau pemicunya; namun tanpa kerja keras ia hanya tinggal mimpi belaka. Kita
pantas belajar dari mereka. Mengapa tetesan air mampu melubangi batu yang keras
dan tebal? Karena ia mengerjakannya, bukan hanya memikirkannya.
Ilmu
menjadi energi kemajuan. Dari kalangan imuwan muslim kita diingatkan betapa
sebelum warga Eropa melek, ilmuwan muslim telah memperoleh kemajuan yang
fantastis. Merekalah sesungguhnya peletak dasar-dasar hampir seluruh ilmu dan
teknologi yang berkembang saat ini. Mereka jelas pekerja keras yang mengubur
diri dalam kerja teramat tekun, disiplin dan penuh diliputi semangat mengembangkan
peradaban. Mereka telah memberi contoh bahwa semua ilmu adalah hak tiap muslim.
Dengan menguasai ilmu barulah muslim dapat menjadi rahmatan lil alamin. Mereka menunjukkan bahwa dunia, bukan ”dunia hedonis”, mestilah dipeluk dan
dikuasai. Ungkapan Khairil Anwar dalam puisi “Maju” berikut layak
kita pedomani:
Ini barisan tak bergenderang-berpalu.
Kepercayaan
tanda menyerbu.
Sekali
berarti.
Sudah itu
mati.
Bagimu Negeri.
Menyediakan
api.
Punah di atas
menghamba.
Binasa di atas ditindas.
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai.
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai.
Jika hidup harus merasai.
Maju. Serbu.
Maju. Serbu.
Serang. Terjang
Berikut beberapa alasan penting, betapa berkerja keras
lah yang selama ini telah menghidupkan dunia. Tanpa mereka yang berkerja tekun
di bidangnya mungkin dunia belum akan menjadi begini.
Alasan ke-46: Karena kerja keras adalah mata uang universal
Hasrat
untuk maju, meskipun tidak selalu karena nafsu kapitalisme, bukan hanya terdapat pada etik Protestan. Ruh
semacam ini juga muncul dari nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai agama lain.
Nilai-nilai budaya juga potensial menumbuhkan benih-benih etos ekonomi berupa
spirit kapitalisme. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura
menjadi contoh bahwa tanpa persentuhan langsung dengan etik Protestan mereka
pun memiliki spirit kapitalisme sebagaimana diteorikan oleh Max Weber [i].
China sudah lama dikenal sebagai pekerja keras. Salah satu prestasinya adalah serangkaian tembok
besar sepanjang 6000 km. Inilah satu-satunya bangunan yang terlihat dari luar
angkasa. Mereka juga unggul dalam ilmu obat-obatan dan kesehatan, ketatanegaraan, kesusasteraan, filsafat, dan olah
raga. Dari sisi ketatanegaraan, mulai dari pemerintahan kaisar, ke komunis,
sosialis, lalu menjadi ”kapitalis”; ia tak pernah tenggelam. Ia mengadopsi sistem apa saja
dan memanfaatkannya.
Etos kerja mereka demikian tinggi, sehingga struktur politik apapun tidak
menjadi penghalang.
Kerjasama di antara mereka sangat tinggi. Dengan semangat
persaudaraan, mereka membangun jaringan kerja yang solid. Saya pernah baca di
Harian Kompas bahwa di Glodok, pinjaman milyaran rupiah cukup dituliskan di
selembar kertas bungkus rokok.
Bangsa China konon tidak suka hidup mewah, di samping
karena budaya, juga karena faktor politik komunisme yang dianutnya. Ia pekerja
keras, cerdas, namun hidup sederhana. Mereka memproduksi apa saja, tapi
mengkonsumi secukupnya. Mempunyai etos kerja tinggi, tetapi hidup sederhana.
China, seperti diketahui, bisa sukses di bidang ekonomi
karena mempunyai fondasi yang amat kokoh. Kendati sempat hancur pada Revolusi
Kebudayaan (1966-1976), China tetap mempunyai sumber daya manusia yang amat
kuat. Rakyat China mempunyai kultur bisnis yang sangat mengakar sejak ribuan
tahun lalu. Rakyat China mempunyai kultur dan etos kerja yang amat kuat. Dunia
kemudian tercengang-cengang menyaksikan kebangkitan ekonomi China. Dari kondisi
di titik nol tahun 1978, kurang dari sepuluh tahun sudah menjadi raksasa
ekonomi dunia.
Fujitsu Research pernah mempublikasikan daftar
perusahaan-perusahaan ternama di enam negara kunci di Asia. Dari daftar itu,
ternyata mayoritas dikuasai oleh kalangan etnis Cina perantauan. Di Thailand
misalnya, 81 persen perusahaan dimiliki kalangan ini, begitu pula di Singapura;
sementara di Indonesia sebanyak 73 persen perusahaan (Naisbitt, 1997) [ii]. Ketika Cina
perantauan menguasai perekonomian negara lain, perekonomian negara China
sendiri menggoyang perekonomian dunia.
Kata
”sukses” dalam bahasa China - cheng
gong - terdiri dari huruf cheng
yang artinya pencapaian, dan huruf gong
yang artinya hasil. Sementara huruf gong itu sendiri memuat komponen huruf yang artinya
"kerja", yakni gong ditambah komponen huruf yang artinya
"tenaga atau berupaya sekuat tenaga" (li). Jadi, maknanya lebih kurang adalah, sukses tidak datang
dari dunia yang lain, tetapi pencapaian atau hasil dari kerja
dengan sekuat tenaga, atau bekerja lebih [iii].
Rasulullah SAW menganjurkan kita supaya mencari ilmu,
sekalipun ke negeri China. Apa sesungguhnya kelebihan China? Dari segi historis, China adalah
bangsa yang peradabannya sudah sangat tua, karena beribu-ribu tahun sebelum
masehi China sudah menjadi bangsa yang besar bersama dengan Romawi, Yunani,
Persia, dan India. China, sebagai sebuah negara, adalah wilayah yang sangat
luas dengan penduduk terbanyak. Saat ini
jumlah Orang China hampir 2 milyar jiwa, yaitu 1,3 milyar di dalam negeri dan
sisanya hidup di luar wilayahnya [iv]. Keturunan China di
Indonesia yang saat ini menguasai ekonomi, sebagian dulu masuk sebagai pekerja
tambang. Mereka sengaja didatangkan oleh penguasa lokal terutama di Kalimantan
dan Bangka sebagai buruh tambang, karena mereka dikenal sebagai pekerja yang
ulet dan kuat.
Alasan ke-47: Karena kerja keras lebih utama
daripada sumber daya alam.
Korea Selatan
juga sebuah contoh bangsa yang sukses karena berkerja keras. Mereka menggunakan
motto: "Sumber daya terbatas,
kreativitas tidak terbatas" [v]. Alamnya lebih banyak berupa gunung dan bukit berbatu,
sehingga investasi pada manusia
merupakan hal yang menjadi perhatian sejak Korsel menjalankan program
industrialisasi. Untuk ilmu, Presiden Park Chung-hee berani memberi penghargaan
besar pada kalangan peneliti. Hanya dalam dua dekade, bangsa Korsel bisa
mengejar ketertinggalan dan menjadi negara industri. Korsel menjadi bangsa yang
paling pesat peningkatannya dari sebuah negara berkembang menjadi negara
industri. Kerja keras serta semangat berkompetisi untuk meningkatkan efisiensi,
itulah kunci keberhasilan Korsel. Kerja keras sudah menjadi bagian dari
keseharian hidup mereka. Presiden Park Chung-hee, selain kebijakannya yang
berkonsentrasi pada investasi manusia, juga mengajarkan pentingnya arti kerja
keras.
Huntington
menggambarkan Ghana pada tahun 1960-an serba sama dengan Korea Selatan. Namun,
30 tahun kemudian, Korsel melampaui Ghana dalam segala hal. Mengapa? Pertanyaan
ini dijawab Lawrence Harrison dalam artikel ”Promoting
Progressive Culture Change” di buku yang sama. Akarnya semata karena Korsel menghidupkan dan
mengembangkan budaya progresif dengan 10 tipologi manusianya, di antaranya berorientasi
waktu, kerja keras, hemat, pendidikan, dan menghargai prestasi.
Jika menurut
Weber konfusianisme membawa pengaruh negatif kepada kemajuan masyarakat, namun
Lew dkk. [vi]
membuktikan sebaliknya. Menurut mereka, konfusianisme telah menyediakan sesuatu
yang signifikan dan fundamental bagi peradaban masyarakat Korea. Paham ini
telah melahirkan etos kerja di masyarakat penganutnya. Diungkap bagaimana
nilai-nilai ini muncul saat proses institusionalisasinya dan lalu melahirkan
motivasi berekonomi yang powerful.
Alasan ke-48: Karena kerja keras adalah modal peradaban
Satu buku menarik mencoba menemukan apa kunci pokok
kemajuan peradaban bangsa-bangsa di dunia, apapun bangsa dan agamanya [vii].
Ternyata keunggulan muslim abad ke 7 sampai 12, Eropa setelahnya, lalu Jepang
setelah Restorasi Meiji, dan sampai ke Amerika saat ini, serta
individu-individu besar di bidangnya; adalah karena: ”Mereka belajar lebih besar, lebih cepat, lebih banyak, lebih efisien,
lebih fokus, dan lebih menyenangkan. Mereka menyerap, mengumpulkan,
mensinergikan ilmu-ilmu hebat bangsa lain”. Disebutkan pula bagaimana
orang-orang di era kekhalifahan Abasiyah dan Andalusia belajar dengan semangat
tinggi seolah mereka melihat surga di hadapannya.
Mari kita lihat Jepang. Hanya dalam tempo 20 tahun setelah
luluh lantak karena bom atom, Jepang bangkit dan bahkan mampu menyaingi Amerika
dalam banyak hal. Ini hasil dari kerja keras dan semangat mengembalikan harga
diri, pantang menyerah dan sulit menerima kekalahan [viii]. Orang jepang kuat bekerja. Bekerja adalah
segala-galanya. Lelaki yang bekerja keras merupakan kebanggaan keluarga.
Bekerja sampai malam adalah kebiasaan, sehingga seorang isteri akan malu jika
suaminya pulang sore. Ada yang menyebut bahwa seorang pekerja Jepang dapat
menyelesaiakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan 5 sampai 6 orang biasa.
Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam per
tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam), Inggris (1911
jam), Jerman (1870 jam), dan Perancis (1680 jam) [ix]. Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah
mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk
membuat mobil yang bernilai sama. Fenomena karoshi
(mati karena kerja keras) mungkin hanya terjadi di Jepang. Kemiskinan sumber
daya alam juga tidak membuat mereka menyerah. Jepang tidak hanya menjadi
pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu; bahkan 85 persen sumber
energinya berasal dari negara lain termasuk Indonesia.
Orang Jepang menerapkan etos kerja Bushido yang terdiri
atas tujuh prinsip, yakni [x]: Gi, keputusan
yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran. Jika harus mati demi
keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah
kematian yang terhormat. Yu, berani
dan bersikap kesatria. Jin, murah
hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama. Re, bersikap santun dan bertindak benar. Makoto, bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh
dengan sesungguh-sungguhnya, dan tanpa pamrih. Melyo, menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan. Dan, Chugo, mengabdi dan loyal.
Satu hal lagi, orang Jepang juga punya jiwa dimana mereka
tidak pernah puas terhadap satu hasil. Mereka selalu mengotak-atik lagi untuk
menyempurnakan apapun yang telah mereka bikin. Ini adalah semangat tanpa akhir.
Bushido yang dimaknai sebagai "way of
the warrior", adalah “Japanese code of
conduct and a way of the samurai life, loosely analogous to the
concept of chivalry”. Semangat
moral yang melandasi kalangan pejuang ini lalu mengkristal menjadi kultur
tradisional masyarakat Jepang.
Jika dicermati, ini agak sejalan dengan etos kerja
Protestan, yang mengedepankan enam prinsip yaitu bertindak rasional,
berdisiplin tinggi, bekerja keras, berorientasi pada kekayaan material,
menabung dan berinvestasi, serta hemat, bersahaja dan tidak mengumbar
kesenangan. Selain itu, orang Jepang terkenal tidak suka boros. Dalam memanfaatkan waktu pun demikian, dimana mereka
paling senang membaca dalam setiap kesempatan.
Dari lingkungan sendiri kita bisa melihat Aa Gym yang mulai merintis usaha kecil-kecilan berupa berjualan buku, handicraft, konveksi, dan bahkan mie
baso [xi].
Menurut pengalamannya, keberhasilan bukan semata karena modal finansial. Modal
yang penting adalah keyakinan kepada janji dan jaminan Allah, kegigihan
meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar, dan menjadi orang yang terpercaya.
Dzikir, fikir dan ikhtiar ini merupakan konsep dasar dari MQ (Manajemen Qolbu) yang
dikembangkannya.
Islam sesungguhnya
punya etos bisnis yang tinggi dan mengungguli etos bisnis bangsa manapun di
dunia ini [xii]. Islam sangat mendorong entrepreneurship. Islam adalah agama
kaum pedagang. Lahir di kota dagang, dan disebarkan ke penjuru dunia oleh kaum
pedagang. Nabi dan
sebagian besar sahabat adalah para pedagang. Jadi, etos
entrepreneurship sebenarnya sudah menyatu dengan diri umat Islam.
Islam juga mengangkat derajat kaum pedagang sehingga profesi ini yang
pertama mendapat kehormatan untuk membayar zakat. Dalam penyebarannya, selain ilmu agama, para pedagang tadi juga mewariskan keterampilan berdagang ke masyarakat.
sebagian besar sahabat adalah para pedagang. Jadi, etos
entrepreneurship sebenarnya sudah menyatu dengan diri umat Islam.
Islam juga mengangkat derajat kaum pedagang sehingga profesi ini yang
pertama mendapat kehormatan untuk membayar zakat. Dalam penyebarannya, selain ilmu agama, para pedagang tadi juga mewariskan keterampilan berdagang ke masyarakat.
Dari riset Clifford
Geertz [xiii]
di Jawa tahun 1950-an ditemukan bahwa, kepeloporan di bidang perdagangan berada
di tangan para santri. Pedagang dan
pengusaha di Mojokuto (nama samaran), selain orang China pastilah santri
reformis. Di luar perusahaan-perusahaan yang dimiliki China,
semuanya adalah milik orang Islam reformis atau yang terpengaruh oleh gagasan
reformisme Islam. Geertz mayakini bahwa reformisme dan puritanisme Islam
merupakan doktrin bagi hampir semua pengusaha di sana. Watak kehidupan puritan
yang asketik ini mengajarkan kesalehan yang paling tinggi, dimana seseorang
yang sudah beriman harus banyak beramal saleh. Ini hanya beda istilah dengan
apa yang disebut Weber dengan ”religious
calling” atau beruf dalam buku
aslinya yang berbahasa Jerman.
Penelitian Kuntowijoyo
terhadap para pengusaha kerajinan besi di Batur (Klaten) juga membuktikan hal
serupa. Ia menemukan adanya hubungan yang erat antara kehidupan keagamaan para
santri dan perilaku kewirausahaan mereka [xiv].
Puritanisme Islam, di samping menganut sikap hidup asketisme, mewajibkan para
pengikutnya untuk lebih bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam usaha ekonomi.
Bekerja keras adalah inti yang sebenarnya dari Al Quran dan hadits.
Organisasi
pergerakan Sarekat Dagang Islam (SDI), adalah salah satu bukti bahwa semangat
kapitalisme umat Islam ikut mendorong terjadinya perubahan ekonomi, social, dan
politik bangsa ini. Muhammadiyah didirikan oleh
para saudagar santri dan para pedagang di kota-kota. Sejarah Muhammadiyah
melekat pada bangkitnya kekuatan ekonomi pengusaha tekstil di Pekajangan,
Pekalongan, dan di daerah Laweyan, Surakarta. Demikian pula Nahdlatul Ulama
(NU), yang sejatinya didahului dengan
gerakan organisasi Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Pedagang).
Komposisi pengurus NU periode pertama merupakan kolaborasi ulama (Syuriah) dan
pengusaha (Tanfidziyah).
Salah satu
unsur peradaban adalah bahasa. Jika kita cermati, kenapa bahasa Inggris bisa
menjadi bahasa dunia? Karena merekalah yang lebih aktif bergerak di dunia ini,
ketika bangsa lain belum ngeh. Demikian
pula agaknya kenapa Bahasa Melayu lalu dipilih menjadi basis bahasa nasional
kita. Ya, etnis Melayu lebih rajin merantau. Mereka berlayar dan berdagang hampir di seluruh wilayah pesisir nusantara.
Alasan ke-49: Karena kerja keras terbukti lebih utama dari pendidikan
formal
Di era sekarang kita mengenal Bill Gates yang berani meninggalkan kuliahnya yang bergengsi di Harvard University
lalu mulai membangun usahanya. Contoh klasik tentulah si jenius Thomas Alva Edison (1847 – 1931).
Tapi, apa betul ia jenius?. Ia sendiri
pernah berucap: ”Jenius adalah 1 persen inspirasi dan 99 persen
keringat”.
Konon, Edison baru berhasil membuat lampu setelah
percobaan yang ke 9.999 kali. Edison adalah seorang penemu terbesar di dunia
dengan 1.093 paten penemuan atas namanya. Ia adalah penemu dan pengusaha yang mengembangkan banyak
peralatan penting yang saat ini kita gunakan sehari-hari. Namun kisahnya di
masa muda cukup ironis.
Karena selalu mendapat nilai buruk di sekolah, ibunya memberhentikannya
dari sekolah dan mengajarnya sendiri di rumah. Di rumah, dengan leluasa Edison
kecil dapat membaca buku-buku ilmiah dewasa dan mulai mengadakan berbagai
percobaan ilmiah sendiri. Pada tahun 1870 ia menemukan mesin telegraf yang
lebih baik, karena dapat mencetak pesan-pesan di atas pita kertas yang panjang.
Ketika telah memiliki sebuah bengkel ilmiah yang besar, ia banyak melakukan
penemuan-penemuan yang penting, misalnya gramofon, lampu listrik, proyektor
untuk film, dan yang terutama adalah lampu listrik dan sistem distibusi
listrik.
Dalam webnya [xv]
bahkan disebut “Thomas Edison was more
responsible than any one else for creating the modern world”. Edison
banyak membantu dalam bidang pertahanan pemerintahan Amerika melalui penelitiannya
antara lain mendeteksi pesawat terbang, menghancurkan periskop dengan
senjata mesin, mendeteksi kapal selam, menghentikan torpedo dengan jaring,
menaikkan kekuatan torpedo, dan kapal kamuflase. Ia meninggal pada usianya yang
ke-84, pada hari ulang tahun penemuannya yang terkenal yakni bola lampu modern.
Alasan ke-50: Karena
kerja keras lah yang membentuk nasib
Satu
contoh dalam konteks ini adalah kisah Oprah Winfrey si presenter paling populer
di Amerika dan menjadi wanita selebritis terkaya. Acaranya The Oprah Winfrey Show
diputar di hampir seluruh penjuru dunia. Lahir di Misisipi dari pasangan
Afro-Amerika, ayahnya mantan serdadu yang kemudian menjadi tukang cukur, sedang
ibunya seorang pembantu rumah tangga. Tayangan acaranya di telivisi selalu
sarat dengan nilai kemanusiaan, moralitas dan pendidikan. Dia berupaya mengajak
seluruh pemirsa mewujudkan impiannya membantu mereka yang tertindas. Oprah juga
dikenal dengan kedermawanannya.
Kunci kesuksesannya
adalah membaca. Ayahnya mendidik dengan sangat keras dan disiplin tinggi. Dia
diwajibkan membaca buku dan membuat ringkasannya setiap pekan [xvi] . Walaupun ia tertekan, namun kelak disadari bahwa
didikan keras inilah yang menjadikannya sebagai wanita yang tegar, percaya diri
dan berdisiplin tinggi. Kisah Oprah adalah kisah seorang anak manusia yang
tidak mau meratapi nasib. Dia berjuang keras untuk keberhasilan hidupnya, dan
dia berhasil. Dia punya mental baja dan mampu mengubah nasib, dari kehidupan
nestapa menjadi manusia sukses yang punya karakter. ”Aku tidak percaya pada kegagalan”: kata Oprah. ”Itu bukan kegagalan
jika Anda menikmati prosesnya”.
Benang merah ini semua mungkin bisa kita temukan pada
konsep ”takdir”. Takdir pada hakekatnya adalah apa yang diperbuat tangan kita. Kita
mengenal takdir mubram berupa ketentuan
Allah tanpa campur tangan manusia, misalnya gempa bumi dan berputarnya siang
dan malam. Sedangkan takdir mu’allaq adalah
ketentuan Allah yang digantungkan atas jalan usaha (ikhtiar) dan do’a, dimana ada
peran manusia di dalamnya. Kita harus
berusaha dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, hasilnya serahkan ke
Allah. Tampaknya Oprah paham betul dengan prinsip takdir mu’allaq ini.
Dalam satu
buku yang sangat menarik: ” Berani Kaya, Berani Taqwa” [xvii],
khususnya pada tips ke-15 – ”berani berusaha dan berdoa” - disebutkan bahwa ” ...... ikhlaskan niat anda, semakin
bertawakallah kepada Allah, berlakulah jujur dalam perjanjian-perjanjian bisnis
yang anda buat, begitu seterusnya, kemudian teruslah berusaha, berusaha dan
berusaha; niscaya kesuksesan akan menghampiri anda”. Iapun mengutip dari
Alquran: Pula hamba-hamba yang mau
berjalan menjemput rizkinyalah yang akan kaya raya, sukses di dunia dan di
akhirat, bukan hamba-hamba yang sakit, baik secara mental maupun spiritual [xviii].
Kaum Quraisy contoh yang bagus disini yang berdagang di musim apapun, di musim
dingin mereka ke Yaman dan musim panas ke Syria.
Bagaimana
dengan kita Indonesia? Sejarah masyarakat Indonesia,
dalam hal corak produksi dan formasi sosial, dimulai kultur produksi agraris
feodal, lalu kolonial Belanda membawa
corak produksi pedagang yang dilanjutkan masyarakat industri kapitalistik. Terjadi
pergeseran-pergeseran pola produksi dan relasi kerja. Dalam novel Machavellar
dikisahkan tentang seorang pekerja kebun yang memperoleh natura dari hasil
maro, lalu mendapat upah tunai sebagai buruh. Kultur merkantilis saat itu
terbatas di wilayah pesisir.
Pergeseran
ini tentu tidaklah seragam. Di Sumatera Barat misalnya, petani ladang bergeser
menjadi pedagang. Ini tidak terjadi di Jawa. Di Minang Kabau tidak terjadi
pergeseran dari masyarakat perbudakan ke pola tuan-tuan tanah, karena
feodalisme di wilayah ini lebih bersifat simbol politis belaka [xix]. Karakteristik
kerja Minangkabau adalah kerja inteklual yang terutama dilakoni golongan menengah.
Nilai-nilai intelegensia dipandang sebagai takdir keunggulan manusia
dibandingkan mahluk lain.
Satu sumber yang lebih ilmiah adalah buku "Kultur
Cina dan Jawa: Pemahaman menuju asimilasi kultur" oleh Drs. P. Hariyono.
Disini tercantum perbandingan nilai budaya Jawa dan Cina. Mengenai hakekat hidup, kedua
budaya ini sama-sama mempunyai persamaan persepsi bahwa menggangap hidup itu
penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan yang harus diterima oleh setiap
manusia, keduanya juga optimis untuk berusaha dan memperbaiki kondisi namun
dengan cara yang berbeda.
Dalam hal hakekat karya dan
etos Kerja, disebutkan bahwa orang Jawa hampir
tidak ada motivasi kuat untuk bekerja, mereka bekerja hanya untuk menyambung
hidup dan lebih senang mengosongkan hidup untuk dunia akherat kelak. Sedangkan
orang Tionghoa, meskipun kehidupan di dunia dan di akherat harus di kejar
semua, mereka mempunyai motivasi yang kuat untuk bekerja guna berbakti pada
orang tua dan keluarga. Selanjutnya,
dalam hal hubungan antara manusia dan alam, kedua-duanya
sama-sama hidup selaras dengan alam. Mengenai persepsi tentang waktu, orang Tionghoa cenderung memiliki
orientasi masa akan datang lebih kuat. Terakhir, dalam hal hubungan antara manusia dan sesama, keduanya
memiliki nilai sosial suka tolong-menolong dan mempunyai solidaritas yang
tinggi pada sistem kekerabatan. Orang Tionghoa lebih menekankan pada keluarga,
sedangkan orang Jawa lebih seimbang antara individu, keluarga dan masyarakat.
Pada hakekatnya, pendapat yang meyakini bahwa Indonesia sangat
beragam tampaknya adalah yang paling sesuai. Sebagai contoh, orang Batak sangat
mementingkan pendidikan. Hal ini terlihat dalam pendidikan anak. Anak bagi
orang Batak merupakan harta yang paling berharga, kehormatan, sekaligus
kekayaan bagi orangtuanya. Pemahaman ini yang mendorong mereka mendidik dan
berupaya agar anaknya bisa memperoleh pendidikan setinggi mungkin. Orang Batak
tak segan-segan mengerahkan seluruh kemampuan untuk pendidikan anak-anaknya [xx].
Etos
kerja manusia Indonesia modern memang perlu ”dicurigai”. Seorang Menteri yang
membawahi bidang sumber daya manusia pernah menyatakan bahwa masih ada pemimpin
dan aparatur negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja;
sehingga lemah dalam disiplin, etos
kerja dan produktivitas kerja rendah [xxi].
Nilai
budaya merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam alam pemikiran sekelompok
manusia tentang kerja. Makna dan pandangan hidup tentang kerja akan menentukan
bagiaman sikap dan tingkah lakunya dalam bekerja. Nilai kerja bisa ditimbulkan
dan dibentuk dari beragam sumber, bahkan melalui olah raga. Itulah kenapa
sejumlah negara-negara komunis misalnya menjadikan olah raga sebagai bagian
dari pembangunan kebudayaannya (sport
under communism). Jiwa sportivitas, kompetitif, kerjasama, disiplin, kerja
keras dan kejujuran; adalah nilai-nilai pokok dalam olah raga. Saat ini, hampir
tidak ada negara yang tidak menjadikan olah raga sebagai bagian penting
pembangunan negaranya.
Salah satu suku yang dipandang memiliki etos kerja tinggi adalah etnis
Bali. Sesuai ajaran agama Hindu, orang Bali sangat meyakini pemahaman bahwa
perbuatan dan kerja itu adalah karma. Mereka tidak mengutamakan hasil, karena
kerja yang baik adalah karma yang baik. Secara normatif, orang Bali itu tak ada
yang pemalas [xxii]. Dari ukiran-ukiran di pura, di pintu rumah, dan di
banyak bagian dari lingkungan orang Bali dengan ukiran yang rumit, kecil-kecil
dan sangat indah; kita melihat ketekunan yang sungguh-sungguh pembuatnya. Tidak
sebagaimana dikenal awam bahwa kasta yang bertingkat berdasarkan pekerjaan,
sesungguhnya semua pekerjaan sama levelnya pada masyarakat Bali.
*****
[i] Ignas Kleden. Spirit Kapitalisme Ada dalam Tiap Nilai
Budaya: Etos Ekonomi Dapat Didorong di Setiap Kebudayaan. 9 Desember 2005
Krisitiani Pos. http://www.christianpost.co.id/... Seminar ”Membangun Etos
Bangsa” dalam rangka merayakan 100 tahun pemikiran Max Weber tentang etos
ekonomi di Jakarta, 7 Desember 2005.
[ii] Abdul
Aziz Setiawan. Peneliti pada Pusat Penelitian STIE SEBI. Belajar dari Cina,
Menggugah Semangat Wirausahawan Muslim.
[iii] Leman (Penulis Buku 50 Chinese Wisdoms). 22 Mei 2008. Sukses = Kerja Keras. http://www.andriewongso.com/awartikel-1398-Artikel_Tetap-Sukses_=_Kerja_Keras
[v] Hasil dari Sebuah Kerja Keras. Harian Kompas. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0109/20/ln/hasi28.htm.
Kalimat tersebut tertulis di pintu gerbang Pohang Iron & Steel Company
Limited (Posco).
[vi]
Lew, Seok Choon., Choi, Woo-Young. and Wang, Hye-Suk. "Confucian Ethics
and the Spirit of Capitalism in Korea:
The Significance of Filial Piety" Paper pada American Sociological
Association, Agustus, 2007 http://www.allacademic.com/meta/p183306_index.html
[vii] Eko Laksono. 2005.
Imperium III: Zaman Kebangkitan Besar, Rahasia 1000 tahun Keunggulan dan
Kekayaan Manusia. Penerbit Hikmah, Jakarta.
[viii]
Ann Wan Seng. Rahasia Bisnis Orang Jepang. Hikmah (PT Mizan Publika). Cet 1, April 2007. 302 hal.
[x] Kusmayanto Kadiman. 18 Juli 2007. Ethos Kerja Orang
Indonesia, Untuk Siapa? http://netsains.com/2007/07/ethos-kerja-orang-indonesia-untuk-siapa/
[xi] Kisah Orang Sukses. Abdullah Gymnastiar (AA Gym): Sukses Bisnis dengan Akhlak . http://myhesti.gresikmall.com/....
[xii] Perter L Bernstein,
2000. The Power of Gold. John Wiley and Sons. 2000
[xiii] Clifford Greetz.
1963. Peddlers and Princes.
Diindonesiakan menjadi “Penjaja dan Raja”.
[xiv]
Mohammad Nuryazidi. Mencari
Akar Kapitalisme dalam Islam Indonesia. Batam Pos, Jumat, 03 November 2006.
http://rajasidi.multiply.com/.....
[xvi] ”Kisah – Kisah Orang Sukses Dunia”. http://dhika81.wen.ru/file/kisah_sukses.html
[xvii]
Sirsaeba, Anif. 2005. Berani Kaya, Berani taqwa: 15 cara menambah pundi-pundi
kekayaan berdasar Al-Quran dan Sunnah. Penerbit Republika, Jakarta. Hal 225.
[xviii] Sirsaeba, Anif. 2005. Hal. 227. Dari surat Al-Mulk – 15
dan Al-muzzamil – 20.
[xx] Cara
Orang Batak dan Tionghoa Mendidik Anak. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/31/humaniora/2015967.htm
[xxi] Feisal
Tamin (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara). Transformasi Budaya Kerja Aparatur Negara. http://www.sinarharapan.co.id/....
[xxii] Adi Blue. Di Tengah Merebaknya Pengangguran:
Benarkan Etos Kerja Orang Bali Menurun? Bali Post. http://www.iloveblue.com/.....