Untuk ibadah mahdhah, keberhasilannya
ditentukan bagaimana perilaku setelah ibadah tersebut dijalankan. Untuk haji
yang disebut mabrur - meski tak seorang pun mampu memastikan – adalah bila
pengamalan agamanya lebih baik daripada sebelum berangkat ke Mekah. Sepulangnya
ia mesti lebih bertaubat, istiqamah, dan lebih taat. Naik haji menjadi titik
tolak baginya kepada ke arah kebaikan. Perbuatan dan tingkah lakunya lebih baik
dari sebelum berhaji. Haji yang mabrur akan berakhlak dan berbudi pekerti
luhur, sopan dan santun, ucapannya baik, lemah lembut, dan semakin banyak
menyebar manfaat. Kehadirannya dimanapun selalu positif, dibutuhkan, dan
dinantikan. Urusan dunia tambah mutawari’, tambah zuhud, semakin
hati-hati, lebih menjaga halal-haram, serta yang haq kan bathil. Jadi, saat
turun pesawat di Cengkareng dari Mekah, belum dapat dinilai apakah hajinya
barusan mabrur atau tidak.
Rasulullah SAW ketika ditanya tanda-tanda haji
mabrur, beliau menjawabnya dengan dua hal, yakni senang memberi makan orang
miskin dan menebar salam. Lihat, kedua ini adalah simbol kepedulian dan
kedamaian. Keduanya adalah ghairu mahdhah.
Contoh berikutnya, untuk urusan sholat.
Bukankah kita sering diingatkan para khatib: dirikanlah shalat ! Selain shalat merupakan media komunikasi
antara sang Khalik dan hamba-Nya dan media mengungkapkan rasa syukur, sholat
akan menjauhkan kita dari hawa nafsu setan. Takbir, ruku, sujud, dan salam;
sering disebutkan baru sebatas menjalankan shalat, belum menegakkannya. Shalat
disebut tegak apabila si pelakunya lebih disiplin dalam hidup sehari-hari,
lebih menghargai peraturan, lebih menjaga kebersihan, lebih berkonsentrasi, dan
lebih senang dengan kebersamaan. Kenapa demikian? Ya, karena shalat barulah
latihan untuk menujunya. Dari ustadz di pengajian subuh, menurut seorang imam,
katanya, kekhusukan shalat tidak ditentukan bagaimana perilaku selama shalat
(dari takbir sampai salam), tapi bagaimana perilaku setelahnya. Nilai kekhusukan
menjadi batal jika perilaku kehidupan kita tidak syariah.
Agar dapat disebut telah “mendirikan sholat”
harus ada bukti aktual. Belum disebutkan shalat jika bibir masih penuh ucapan
kebohongan misalnya, menipu, kasar, suka berkonflik, dan seterusnya. Ya, pada akhirnya yang kita tuju adalah
dimensi sosial dari shalat. Ini lah maksud surat Al Ankabuut ayat 45: “sesungguhnya shalat itu mencegah dari
perbuatan-perbuatan keji dan mungkar”. Shalat diakhiri dengan salam. Ini
mengindikasikan bahwa setelah melakukan komunikasi dengan Allah, selanjutnya ia
akan memproduksi kebaikan belaka kepada sesama manusia. Sesuai janji “salam”
nya tadi ia akan bertindak santun dengan sahabatnya, tetangganya dan siapapun
juga, menghormati tamunya dengan penuh perhatian, dan akan bertindak dan
berta’aruf secara santun dengan saudaranya sesama manusia tanpa membedakan
golongan dan agama. Semakin baik shalat, semakin besar kiprah kehidupan
sosialnya. Lebih saleh, senang menolong, berhati longgar, dan berjiwa dermawan.
Demikian pula dengan syahadat. Kandungan
kalimat syahadat memuat persaksian, ikrar, sumpah, dan juga janji. Dengan
mengucapkan kalimat syahadat, berarti kita wajib menegakkan dan memperjuangkan
apa yang kita ikrarkan, bersedia menerima akibat dan resiko apapun dalam
mengamalkan sumpahnya tersebut, siap dan bertanggung jawab dalam tegaknya Islam
dan penegakan ajaran Islam, dan berjanji setia untuk mendengar dan taat dalam
segala keadaan terhadap semua perintah Allah SWT.
Kawan, syahadat yang benar bukan bagaimana
ketepatan dan kehusyukan saat melafazkannya; tapi bagaimana merealisasikan
janji dan ikrar tadi. Shalat yang benar juga tidak semata bagaimana ketepatan
bacaan dan kekhusukan, tapi bagaimana merealisasikan ketaatan dan kepatuhan
tadi dalam kehidupan sehari-hari. Haji yang mabrur juga tidak terbatas pada
bagaimana kelengkapan dan kekhusukan selama di Mekah, tapi bagaimana perilaku
setelah kembali dari baitullah. Ibarat handphone,
ibadah mahdhah adalah saat anda men-charge
baterainya, tapi kegunaan utama handphone
adalah saat dipakai berbicara, mengirim SMS, dan seterusnya.
******