Selasa, 05 April 2016

Para Da'i dan Ustadz adalah juga Pedagang dan Pekerja Ekonomi yang Tangguh



Alasan ke-44: Karena Para Pioneer Penyebar Islam Ke Nusantara Adalah Pedagang-Pedagang Ulung

Di sekolah kita telah belajar bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam penyebaran agama Islam ke Indonesia, baik pedagang dari luar maupun para pedagang lokal. Para pedagang muslim datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang saat itu beserta bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan. Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam [1]. Kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.

Bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia. Karena itulah kita lihat letak geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di pesisir-pesisir dan muara sungai, yaitu Kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. 

Sejarah mencatat bahwa sejak awal Masehi, pedagang-pedagang dari India dan Cina sudah memiliki hubungan dagang dengan penduduk Indonesia. Banyak ahli sejarah cenderung percaya bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 berdasarkan Berita Cina zaman Dinasti Tang. Berita itu mencatat bahwa pada abad ke-7, terdapat permukiman pedagang muslim dari Arab di Desa Baros, daerah pantai barat Sumatera Utara. Abad ke-13 Masehi lebih menunjuk pada perkembangan Islam bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Pendapat ini berdasarkan catatan perjalanan Marco Polo yang menerangkan bahwa ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam. Bukti yang turut memperkuat pendapat ini ialah ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai, Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 1297 M.

Jika diurutkan dari barat ke timur, Islam pertama kali masuk di Perlak, bagian utara Sumatra. Lalu berlanjut ke Kerajaan Samudra Pasai. Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa. 

Pelacakan lebih jauh menemukan bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah, ternyata telah terjadi verbastering dari nama Cina ke nama Jawa. Nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3 dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun. 

Para sejarahwan yang menyangsikan kontribusi Cina-muslim atas Islamisasi Jawa, umumnya berangkat dari kenyataan bahwa aliran keagamaan yang dibawa dan dikembagkan oleh Cina-muslim adalah mazhab Hanafi yang berciri rasionalistik. Sedangkan penduduk muslim di Indonesia mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i. Alasan paling mungkin untuk menjelaskan fenomena ini adalah telah terjadi perpindahan mazhab beberapa muslim dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab Hanafi yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih sesuai dengan semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi lokal

Dalam format yang berbeda, peran para pedagang lokal dalam mengembangkan Islam kita temukan pada organisasi Serikat Dagang Islam (SDI) yang lalu menjadi Sarekat Islam (SI). Akibat kuatnya dominansi pedagang Tionghoa perantauan yang salah satunya menguasai penjualan bahan-bahan batik, para pedagang batik pribumi merasa terdesak atau dirugikan. Untuk menghadapi itu, tahun 1911 para pedagang batik Solo dibawah pimpinan H. Samanhudi mendirikan SDI. Tujuan berdirinya adalah untuk memajukan perdagangan, melawan monopoli pedagang Tionghoa, dan memajukan agama Islam [4]. Organisasi ini berkembang pesat karena bersifat nasionalis dan religius serta secara langsung memperbaiki network ekonomi. Cikal bakal organisasi ini telah dirintis semenjak 1909 untuk menghimpun para pedagang Islam agar dapat bersaing dengan para pedagang asing seperti pedagang Tionghoa, India dan Arab. Organisasi ini kemudian lemah ketika disusupi dan mulai terlibat dalam politik

Alasan ke-45: Karena Para Wali Pun Mengajarkan Tentang Bercocok Tanam dan Berketerampilan

Wali Songo dikenal dengan metode dakwah kultural, bukan penaklukan. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan ikatan darah atau hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim adalah wali yang tertua, dimana Sunan Ampel adalah anaknya, sementara Sunan Giri adalah keponakannya. 

Para wali berdakwah di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat dengan mengenalkan berbagai peradaban baru mulai dari kesehatan, bercocok tanam, berniaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan, hingga pemerintahan.  
Dari sisi berekonomi, Maulana Malik Ibrahim saat pertama menginjakkan kaki di wilayah sekitar Gresik, aktivitas pertama yang dilakukannya adalah berdagang dengan cara membuka warung [5]. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu, ia juga mengobati masyarakat secara gratis dan mengajarkan bercocok tanam. Ia berupaya merangkul masyarakat bawah yang meruapakan kasta-kasta yang disisihkan dalam Hindu saat itu. 

Sunan Giri menjadikan pesantrennya tak hanya sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Sementara, Sunan Bonang dikenal sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat tandus.  Selain itu, ia juga menggubah gamelan Jawa dengan memberi nuansa baru dengan menambahkan instrumen bonang. Lagu "Tombo Ati" yang sangat terkenal tersebut adalah salah satu karya Sunan Bonang.   

Mirip dengan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. Salah satu petuahnya adalah: ”berilah tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang telanjang”.  
Sunan Muria suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Ia berbaur dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. Ia dikenal piawai dalam memecahkan masalah, sehingga ia pernah menjadi penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Terakhir, Sunan Gunung Jati secara langsung memimpin pemerintahan, dalam posisinya sebagai putra raja.   Dalam berdakwah, ia mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.   

Para wali, meskipun masing-masing tidak hidup sezaman, tetapi dalam pemilihan wilayah dakwahnya mempertimbangkan faktor geostrategi sesuai kondisi zamannya. Mereka mengambil tempat kota bandar perdagangan atau pelabuhan. Dalam posisi ini mereka dapat pula disebut sebagai “penyebar Islam yang berdagang”. Mereka tidaklah menjauhi kehidupan masyarakat seperti halnya "bhiksu" dan bertapa di tempat sepi. Mereka sangat aktif dalam perekonomian, pekerjaan sosial yang riel, dan juga di pemerintahan dan berkesenian.

*****


[2] Januari 2009. Kontroversi Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia. Diambil dari Al-Ramhurmuzi, “‘Aja’ib al-Hind”. Ensklopedi Indonesia. Cet IV. 1999. http://arievanick.blogspot.com/2009/01/kontroversi-sejarah-masuknya-islam-ke.html
[4] Sutomo. Mata Pelajaran IPS: Zaman Pergerakan Nasional. http://media.diknas.go.id/media/document/5161.pdf
[5] “Wali Songo”. http://tagtag.com/walisongo/?SID=r6e1v6tb9r5018vvru9p60fla7. Juga ada di http://www.geocities.com/setyo79/setyo15.htm