Selasa, 05 April 2016

Kerja Lebih Bernilai Dibanding Harta



Tujuan orang berkerja adalah untuk mendapatkan hasil untuk dijual, upah atau gaji, dan lalu membelanjakannya untuk berbagai keperluan. Salah satu dari keperluan itu adalah mendapatkan harta. Namun, kerja sering diidentikkan hanya sekedar mencari harta. Kalau orang berkerja rajin langsung diledek ”kerja rajin-rajin amat mau cari apa lagi sih”. Padahal sesungguhnya, berkerja memiliki makna dan nilai yang jauh lebih tinggi daripada semata harta benda. Dari penelusuran secara lebih dalam, kita akan temukan ternyata kerja lebih bermakna dibanding harta. Nilai kerja bergitu kaya dan tinggi daripada hanya sekedar urusan harta. Hal ini juga dapat kita temukan dalam hidup sehari-hari.
Kita mesti tahu persis untuk apa dan mengapa kita berkerja. Ini penting agar tidak terjerumus hanya menjadi economic animal, dimana hidupnya hanya untuk makan. Jangan sampai perut merupakan awal dan akhir dari seluruh aktivitas ekonomi kita [1].
Kita banyak yang takut kaya. Tanpa sadar ini tampaknya efek dari penjejalan kisah Qorun dan sejenisnya ke dalam kepala kita semenjak kita kanak-kanak. Qorun adalah anak dari paman Nabi Musa. Ia kaya namun sombong dan zalim. Ia iri kepada Musa dan ingin berkuasa dan disukai Bani Israil. Karena Allah murka, maka istana dan hartanya lalu dibenamkan Allah ke bumi [2].
Berikut disampaikan beberapa alasan untuk menegaskan bahwa kerja begitu tinggi nilainya, dan jangan menyempitkannya hanya sekedar mengumpulkan harta.

Alasan ke-75: Karena dengan berkerja kita mendapatkan harta, dan kaya bukanlah aib
Allah SWT sangat adil.  Dalam surat An-Nisa ayat 32 terbaca, ”Bagi seseorang laki-laki ada manfaat dari apa yang dia usahakan.” Pointnya disini adalah bahwa setiap yang mau berusaha pasti akan memperoleh hasilnya, tak soal gendernya apa. Alam memang tak memisahkan lelaki dan perempuan, hitam dan putih atau bahkan Muslim dan kafir dalam hal rezeki. Sunatullah menjamin siapa bekerja lebih keras akan mendapat balasan lebih pula.
Ada satu fenomena yang mungkin banyak pembaca pernah mengalami. Dalam berbagai ceramah agama, sering kali diangkat contoh kasus Qorun, yang kaya lalu melupakan sholat. Inti yang saya tangkap dari ceramah tersebut adalah: “janganlah kaya, karena kaya akan membuatmu kufur. Contohnya sudah jelas, yaitu “Qorun”.  Saya sebenarnya ingin protes, kenapa tidak pernah diangkat contoh yang sebaliknya, yaitu muslim yang kaya tapi sholatnya tetap baik, dan bahkan mampu berzakat lebih banyak, misalnya Utsman Bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.
Pada mulanya Qorun hanyalah seorang pemuda miskin yang taat beribadah. Kagum melihat ketekunannya beribadah dan kasihan melihat kemiskinannya, Nabi Musa  memberi Qorun ilmu sehingga dia memiliki keahlian mengolah emas. Dari keahliannya itulah Qarun yang miskin berwira usaha sehingga menjadi seorang yang kaya raya. Kekayaan rupanya mengubah perilaku Qorun. Dia tidak bersyukur, tetapi malah imannya luntur dan lama-lama menjadi kufur.
Bahwa “miskin lebih baik” sering dianggap sebagai sunah rasul. Sering diceritakan betapa nabi begitu miskin, makan seadanya, sering tidak makan, tidur beralas tikar, pakaian terbatas, dan seterusnya. Apa benar demikian?
Banyak tulisan menyebut sebaliknya. Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya sebenarnya tidaklah miskin papa. Sebelum menikah dengan Khadijah, Nabi adalah pekerja keras dan tangguh. Beliau menjadi penggembala kambing dan juga mudharib yang melakukan kerjasama bisnis. Ketika melamar Khadijah, jumlah mahar yang diserahkannya berupa 40 ekor unta merah di tambah emas.  Ada yang menyebut 20 namun ada pula yang menyebut 100 ekor unta. Total nilainya setara dengan miyaran rupiah. Untuk pernikahannya yang lain biasanya memberi  maskawin sejumlah 400 dirham.
Nabi terlihat miskin, karena ia selalu menafkahkan hartanya. Ia sering membagi-bagikan harta, onta, dan tanah kepada sahabat-sahabatnya dan ummat yang membutuhkan, misalnya Tsalabah yang diberi beberapa ekor kambing untuk dikembangbiakkannya.
Ada banyak sumber pendapatan Nabi di antaranya dari harta fai yakni harta yang ditinggalkan musuh tanpa harus melewati pertempuran, rampasan perang (ghanimah), dan al-sahm. Nabi sering pula diberi tanah dan uang oleh orang lain, misalnya tanah fadak yang diserahkan Yahudi. Nabi pernah menerima 90 ribu dirham dari seseorang, namun ia membagikan seluruhnya kepada ummat sampai habis. Nabi juga banyak menerima harta sebagai hadiah dari hubungan baiknya dengan pihak luar yang bisa berupa emas, pakaian, keledai, kuda dan sebagainya [3].
Tentang sahabat, ketika meninggal konon Umar bin Khattab mewariskan ladang pertanian yang kira-kira harganya saat ini belasan trilyun rupiah. Sementara Utsman bin Affan memiliki simpanan uang,  lahan pertanian sepanjang wilayah Aris dan Khaibar, dan beberapa sumur senilai ratusan milyar. Kekayaan Zubair bin Awwam berupa uang ditambah seribu ekor kuda perang. Terlebih lagi Abdurrahman bin Auf, yang konon dalam satu kesempatan pernah berinfaq setara dengan Rp. 64 milyar.
Dalam sejarahnya, muslim pun tidak selalu hidup melarat. Rakyat hidup berkecukupan sepanjang masa tugas Umar bin Khattab selama 10 tahun. Di Yaman saat itu kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat. Demikian pula di masa Umar bin Abdul Azis selama 3 tahun ia bertugas.

Alasan ke-76: Karena zuhud tidak berarti meninggalkan dunia
Zuhud adalah perilaku terpuji, tapi tampaknya makna zuhud sering dikelirukan. Mereka yang keliru ini memaknai zuhud sebagai perilaku menolak dari segala hal unsur dunia. Mereka menolak segala yang enak dan kesenangan, tidak mempedulikan makan minum, berpakaian seadanya, dan tidak memikirkan harta kekayaan. Mereka takut terpedaya oleh pesona dunia.
Memang kehidupan dunia berpotensi besar melalaikan atau melengahkan. Dalam surah Al Hadiid: 20 disebutkan bahwa kehidupan dunia itu semata-mata permainan dan hiburan yang melalaikan, hanyalah kesenangan bagi orang-orang yang terpedaya, dan seterusnya. Namun, hakikatnya, ayat ini bukan kecaman terhadap dunia yang menjadikan seseorang harus mengutuk dan mengabaikannya, namun menggambarkan kehidupan duniawi orang-orang hedonis yang melalaikan agama.
Zuhud tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah kepuasaan hati dengan apa yang diberikan Allah SWT. Tak ada ikatan hati kepada harta dan hal-hal bersifat material lainnya. Harta hanya sampai di ”tangan”, tidak di ”hati”. Jadi, orang kaya sangat bisa melakukan zuhud. Utsman Bin Affan dan Abdurrahman bin Auf sukses dalam bisnis dan menjadi saudagar kaya, tapi termasuk yang dijamin masuk surga. Demikian pula dengan Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang kaya raya namun juga tergolong zuhud.
Dunia tidak harus dimusuhi. Allah menurunkan manusia ke alam dunia ini bukanlah tanpa sengaja. Rasul sendiri bersabda “hiburlah hatimu dari saat ke saat”. Beliau membolehkan menyanyi dan mendengarnya selama nyanyian itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Beliau tertawa, bergurau dan berolahraga. Rasulullah pernah bersabda bahwa ialah yang paling takut dengan Tuhan, namun ia berpuasa dan berbuka, juga tidur, serta kawin. Beliau tidak meninggalkan dunia.
Masalah pemahaman tentang harta dan zuhud ini kait berkait dengan pandangan tentang ikhtiar, tentang semangat berusaha, semangat berkerja. Sebuah penelitian di Tasikmalaya [4] dengan pendekatan sosiologi agama, menemukan bahwa paham melekat erat pada kesuksesan hidup seseorang. Di kalangan pemimpin perusahaan ditemukan dominan paham qadariyah, sedangkan di kalangan para buruh perusahaan banyak yang berpaham jabariyah. Ciri orang yang berpaham jabariyah adalah tidak rasional, negatif dan pesimis terhadap dunia.
Terbalik dengan ini, mereka yang berpaham qadariyah mengutamakan ikhtiar, dimana keberhasilan ekonomi tergantung kepada upaya manusia itu sendiri. Karena itu mereka berkerja keras, hemat, jujur dan berpehitungan dalam usaha. Usaha dalam bidang ekonomi bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup semata, tapi dalam rangka beribadat kepada Allah. Ini lah yang sering dikategorikan sebagai askestis dunia atau this worldly ascetism. Keselamatan dicari dengan mengalahkan dunia ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa cap negatif Weber tentang muslim menjadi gugur untuk golongan qadariyah ini.
Tampaknya kalangan jabariyah kurang bisa memahami makna takdir. Mereka mencampurkan takdir mubram dengan takdir mu’allaq. Takdir mubram adalah  ketentuan Allah tanpa campur tangan manusia misalnya gempa bumi dan berputarnya siang dan malam. Sebaliknya, takdir mu’allaq adalah ketentuan Allah yang digantungkan atas jalan usaha (ikhtiar) dan do’a. Ada peran manusia di dalamnya. Dalam konteks takdir mu’allaq, maka kita harus berusaha dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, hasilnya serahkan ke Allah.
Alasan ke-77: Karena nilai kerja dapat jadi indikator ekonomi
Pada masa awal perkembangan ilmu ekonomi, “kerja” pernah diusulkan sebagai penentu nilai benda produksi atau untuk menetapkan harganya oleh Marx. Hasil kerja manusia mengandung nilai-guna yang kuantitas nilainya dihitung dari jumlah waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk bersangkutan. Selanjutnya, nilai kerja secara sosial adalah rata-rata waktu kerja yang dibutuhkan satu masyarakat untuk membuat satu barang. Dalam pertukaran mesti dicapai kesetaraan dengan menghitung nilai relatif setiap produk dari jumlah kerja yang tercurah di dalamnya.
Ini teori lama yang sudah direvisi. Namun demikian, teori ini memperlihatkan bahwa pada level yang paling dasar kerja lah yang menjadi nilai ekonomi penting. Ia dihargai sedemikian,  karena ia lah sumber penggerak aktivitas ekonomi di masyarakat.

Alasan ke-78: Karena nilai kerja lebih prioritas dibanding nilai penguasaan sumberdaya
Islam meninggikan kerja di atas penguasaan sumberdaya. Dalam hal sewa menyewa tanah misalnya, sesuai ketentuan Islam, uang sewa hanya dipungut apabila telah menghasilkan lebih dari yang dibutuhkan oleh si penggarap. Jadi, sewa diambil setelah biaya dan kebutuhan hidup pengolah dikeluarkan [5].  Intinya, yang bekerja lebih didahulukan dibandingkan yang punya tanah. Jika hasil produksi rendah, maka yang bekerja lah yang diutamakan. Mereka yang telah bekerja yang telah mencurahkan waktu dan tenaganya lebih berharga dibandingkan pemilik tanah yang tidak mencurahkan tenaga apapun.
Contoh lain, untuk air dikenal dua bentuk, yaitu air yang secara alamiah tersedia (naturally accessible) sehingga bebas digunakan semua  orang seperti air sungai dan laut, serta  air yang tidak tersedia secara alamiah (not naturally accessible) karena membutuhkan usaha tertentu untuk mendatangkannya misalnya dengan pompa. Ini berasal dari prinsip ekonomi Islam, dimana tidak ada sesuatu yang dapat diperoleh secara gratis. Bahkan, seseorang juga tidak berhak hidup di atas kerja orang lain. Itulah kenapa si penggarap lebih didahulukan, karena ia lah sang pekerja. Allah membenci sumber daya yang ditelantarkan, sehingga bagi pemilik tanah yang tidak mampu mengolah tanahnya ia harus membolehkan orang lain menggarapnya secara percuma.
Contoh lain, dalam praktek bagi hasil (profit sharing), yaitu sebuah bentuk kerjasama antara pihak investor atau penabung (shahibul maal) dengan pihak pengelola (mudharib), setelah memperoleh hasil ada pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan kedua pihak. Shahibul-mal atau rabbul-mal menyediakan sejumlah modal tertentu dan bertindak sebagai mitra pasif, sedangkan mitra yang lain disebut mudharib yang menyediakan keahlian usaha dan manajemen untuk menjalankan perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Dengan menerapkan ini kerja mudharib dihargai secara lebih adil. Semakin banyak dan semakin keras ia berkerja, yang diindikasikan dari semakin banyak hasil produksi, maka bagiannya semakin banyak.
Sementara pola musyarakah (patnership atau project financing participation) adalah suatu bentuk organisasi usaha di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi sama atau tidak sama. Keuntungan dibagi menurut perbandingan yang sama atau tidak sama, sesuai kesepakatan, antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Ketentuan tentang pembagian keuntungan dan petanggungjawaban kerugian persekutuan dalam syirkah kerugian akan dibagi ke dalam bagian modal yang diinvestasikan dan akan ditanggung oleh para pemodal. Sementara, keuntungan akan dibagi di antara para sekutu atau mitra usaha dengan bagian yang telah ditentukan oleh mereka dengan bagian atau persentase tertentu. Konsep yang ada dalam syariah merupakan konsep yang komprehensif (syumûliah) dan meliputi berbagai dimensi dan memperhatikan keadilan sesama. Disini kerja dan modal dinilai sama penting.

Alasan ke-79:  Karena jaminan kerja lebih penting dibandingkan jaminan tempat tinggal
Bagi banyak orang, terutama yang hidup sedikit di atas garis subsistensi, memiliki pekerjaan sangatlah berharga. Pengalaman penulis saat berusaha memindahkan ratusan keluarga yang menempati areal bakal jalan tol dengan tempat tinggal seadanya; mereka tidak antusias ketika diimingi rumah permanen, bahkan rumah susun sekalipun. Yang lebih utama bagi mereka adalah apakah di lokasi yang baru tersebut mereka bisa menjalankan usaha atau tidak. Sebelum dipindahkan mereka menjalankan berbagai usaha yang tergolong marjinal seperti warung kopi, warung nasi, tambal ban, dan pemulung. Namun, pekerjaan-pekerjaan ”sepele” ini begitu berharga bagi mereka. Memiliki usaha sekecil apapun lebih penting bagi mereka meski hanya tinggal di bedeng.

Alasan ke-80: Karena kita dilarang menelantarkan sumber daya ekonomi.
Dalam Islam, tanah kosong yang ditelantarkan dibebankan membayar zakat. Kewajiban ini adalah untuk memotivasi pemiliknya agar tanah tersebut tidak ditelantarkan. Dalam Hadist disebutkan bahwa: Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahan lah tanahnya. Memberikan tanah untuk digarap orang lain lebih baik dari pada memungut hasil yang tertentu sebagai imbalan di atas penyewaan tanah tersebut [6].
Bertani adalah pekerjaan yang sangat mulia. Bahkan ketika tanaman tersebut rusak dan gagal panen, atau hasilnya habis dimakan burung sekalipun; pahalanya tidak berkurang. Hidup jadi berarti bukan karena mencapai. Hidup jadi berarti karena mencari [7].

Alasan ke-81: Karena Allah menjadikan bumi untuk kita usahakan.
Dialah yang menjadikan bumi ini mudah buat kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezekinya  (Al Mulk: 15). Kita manusia diturunkan ke bumi, dengan derajat paling tinggi, adalah pengolah dan pemakmur alam. Sejalan dengan ini: Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (Al Anbiya:  107). Nabi Muhammad SAW dan ajaran agama yang dibawanya pastilah rahmat bagi semesta alam. Rahmat tidak untuk sesama umat Islam saja, tapi juga untuk non-Islam, bahkan untuk hewan, binatang, tumbuhan, tanah, air, dan seterusnya.
Namun, ini tidak terwujud sim salabim. Siapa yang akan mewujudkannya? Muslim. Muslim, kalau benar, pasti akan mewujdukan ini. Dan, jika saat ini belum terwujud, bolehlah alam menuntut si muslim. Untuk amanah ini, maka muslim dalam prakteknya tidak akan membela manusia manapun dari kesewenang-wenangan, ketidak adilan, dan kekerasan, akan menjadi pemakmur alam, penjaga lingkungan, penyayang binatang, dan seterusnya. Untuk semua itu, tentu muslim harus menjadi hakim yang tangguh dan adil,  menjadi dokter ahli seahli-ahlinya, pembela HAM tanpa takut, pekerja kantoran yang tekun, guru yang kreatif dan sabar, dan seterusnya. Muslim mesti menjadi orang-orang paling berprestasi di bidang apapun ia. Dengan ini lah ia tidak akan menjadi beban, namun menjadi rahmat bagi alam.
Alasan ke-82: Kerja merupakan syarat untuk dapat menguasai sesuatu sumber daya ekonomi
Hal ini saya temukan dalam penelitian tentang sifat penguasaan tanah di Sumatera Barat dan Kalimantan Barat. Ada keselarasan antara hukum adat kedua etnis ini dengan hukum Islam [8]. Sebagaimana dalam Islam, untuk tanah tidak dikenal adanya kepemilikan mutlak, penguasaan yang bersifat inklusif, larangan untuk memperjual belikan tanah sebagai benda komersil, serta lebih dihargainya manusia dan kerjanya dibanding tanah. Yang menarik, kenapa kearifan suku Minang Kabau dan Dayak bisa sejalan dengan Islam?
Demikian pula penelitian tesis saya tahun 2001 di Donggala (Sulawesi Tengah) [9]. Jika seseorang ingin mengusahakan pertanian di sebidang tanah yang sebelumnya telah dikuasai seseorang, ia tidak harus membelinya, namun hanya disebut dengan ”mengganti mata kapak” Maknanya, ia hanya membayar jasa orang sebelumya yang telah membuka dan membersihkan tanah tersebut, tapi tidak membeli hak penguasaannya. Artinya, kedua pihak menyadari bahwa tanah bukan milik siapa-siapa, manusia hanya mengusahakannya. Sangat arif. Hal seperti ini juga berlaku di Sumatera Barat. Mereka yang boleh menguasai tanah adalah yang telah membuka (manaruko) sebidang hutan. Hak menguasai ini hanya berlaku selagi ia masih menggarapnya. Jika tidak, maka tanah tersebut berbalik lagi statusnya menjadi hak ulayat warga.
Dalam ketentuan Islam, orang yang menggarap tanah terlantar (giving life to the dead land) memiliki hak khusus (special claim). Ia menjadi “pemilik” tanah tersebut. Siapa yang telah mengusahakan lahan memiliki hak untuk menguasai (right of ownership). Namun, seseorang yang telah mengklaim sepetak lahan hanya berhak sepanjang ia mengusahakan tanah tersebut secara ekonomi (bukan untuk menjualnya). Menurut suatu hadits, barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia paling berhak atasnya [10].
Alasan ke-83: Karena miskin bukanlah karena tidak berharta, tapi karena tidak berkerja.
Ungkapan Bill Gates begitu sesuai untuk ini. If you born poor it’s is not your mistake. But, if you die poor it’s your mistake. 
Batasan kemiskinan yang banyak dipakai selama ini di kalangan ahli adalah berdasarkan kepemilikan harta. Hal ini misalnya digunakan dalam penetapan rumah tangga penerima bantuan pengganti subsisi BBM (BLT BBM), di antaranya adalah pendapatan, luas rumah, jenis lantai rumah, kepemilikan barang berharga berupa sepeda motor, dan seterusnya. Di sektor pertanian, petani juga dikelompokkan atas luasnya penguasaan lahan, sehingga keluarlah istilah “petani berlahan sempit”, “tuna kisma” dan “buruh tani”.
Sesungguhnya Amarta Syen telah membalikkan konsep ini [11]. Dengan konsep entitlement, menurutnya miskin bukanlah karena orang tidak berharta, tapi karena orang tidak ada peluang untuk berkerja (akses kepada pekerjaaan). Ini penting walau kelihatan sepele. Karena jika memiliki harta atau tidak dijadikan ukuran, maka agar seseorang tidak lagi miskin berilah ia sesuatu, misalnya uang. Namun jika akses yang dijadikan ukuran, maka bukakanlah akses pendapatan yaitu kerja yang ada uang untuknya. Sebenarnya ini sudah lama diulang-ulang, yaitu “jangan beri ikan, tapi berilah pancing”.
Hilangnya entitlement yang mengakibatkan kelaparan dan kemiskinan dapat disebabkan banyak hal misalnya karena harga produksi pangan yang dihasilkan jatuh. Bagi orang yang tidak memproduksi makanan sendiri, ditentukan beberapa hal seperti harga makanan, tingkat belanja kebutuhan nonpangan, stabilitas harga komoditas, kesempatan bekerja, dan tingkat pendapatan. Meski berlimpah makanan, orang yang mengalami PHK dan tidak berpendapatan dapat mengalami kelaparan. Manusia dalam mengakses pangan bergantung pada direct entitlement, exchange entitlement, trade entitlement, dan social entitlement.
Harta benda dan berekonomi jangan dianggap sepele. Dari sejarah kita baca, salah satu strategi PKI adalah Gerayak (Gerakan Rakyat Kelaparan).  Ini dijalankan melalui Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk menggalang simpatisan.  Dalam aksi ini, mereka secara gerombolan melakukan operasi dari rumah ke rumah orang berada lalu dengan tanpa kekerasan minta bahan makanan apa saja yang ada lalu dibawa semua. Bencana kelaparan menjadi momentum guna mendesak kaum kaya pedesaan berpartisipasi membagikan sedikit kekayaannya kepada para petani yang lapar. PKI juga mengembangkan isu yang sangat sensitif untuk menggalang massa kaum petani mulai sejak tahun 1953 dengan semboyan ”Tanah untuk Kaum Petani”. Keberhasilan PKI menjadi empat besar partai pemenang Pemilu 1955 yang sebagian suara terbesarnya diperoleh di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mayoritas masyarakatnya adalah petani, menjadi salah satu parameter utama keberhasilan tersebut.
Pelajaran yang kita peroleh adalah, betapa manusia sangat mudah goyah bila disentuh hal-hal yang riel: perut yang lapar. PKI melakukan serangkaian aksi yang mencoba mendekatkan jarak ideologi dengan realitas dan harapan masyarakat secara membumi.  Lihat saja simbol nya, palu dan arit,  sesuatu yang sangat lekat dengan keseharian.
Demikian pula dengan banyaknya ummat yang terjebak aliran sesat. Dalam salah satu media terbaca, bahwa berkembangnya aliran Ahmaddiyah adalah karena adanya solidaritas ekonomi sesama anggotanya. Mereka saling bantu dalam hal-hal yang nyata. Pekerjaan, makanan, dan bantuan sakit. Mereka intens dan care dengan hal-hal yang berkenaan dengan kegiatan berekonomi.
Pada intinya, penyebab kesesatan adalah jauh dari Alquran dan Sunnah, kelangkaan ulama, karena minimnya pendidikan agama, dan pengaruh materi [12]. Karena miskin harta dan miskin aqidah, maka dengan mudah orang akan menggadaikan bahkan memperjual belikan aqidahnya. Ketua MUI juga setuju bahwa faktor ekonomi bisa menjadi faktor yang menjadikan seseorang melakukan suatu aliran sesat [13]. Memang sebagian dari gerakan aliran sesat tersebut meminta bayaran untuk kepentingan ajaran tersebut. Namun, yang membuat jamaahnya tetarik adalah karena dijanjikan kebahagiaan dan keselamatan secara instan.
Prof. Dr. Said Agil Siraj, Wakil Ketua PB NU, menyebutkan bahwa faktor kemiskinan ikut mempengaruhi munculnya aliran sesat. Mereka mengalami  ketidakwarasan pikiran akibat desakan ekonomi yang sedang sulit [14]. Ia menambahkan: ”Elite agama sibuk mengurusi umatnya sendiri, dan tidak mengembangkan empati atau simpati terhadap orang-orang yang mengalami keterasingan jiwa akibat beban hidup”. Pemimpin gerakan sempalan dan para pengikutnya adalah orang-orang yang memiliki beban hidup cukup berat, baik agama, sosial, ekonomi maupun politik [15].
Menurut saya, dalam menangani ini, yang tepat adalah rangkul kembali mereka, dekati, ajak bicara, dengarkan masalahnya, dan berikan solusi yang riel. Jika untuk ummat yang biasa diberi tausiyah sekali seminggu, maka mereka mestinya memperoleh perhatian setidaknya sekali sehari. Jika yang lain cukup dengan ceramah one way communication, untuk mereka tentu tak cukup.
Suatu kali, saya menonton pertandingan tinju amatir internasional di Bogor. Saya mengamati ada beberapa orang di satu sudut. Tampaknya mereka pengurus penting di kejuaraan ini.  Dari pertandingan ke pertandingan, orang-orang ini bereaksi biasa. Kadang ikut bertepuk tangan, kadang terlihat keluhan kecewa. Namun, mereka baru betul-betul memberikan perhatian ketika ada satu petinju, entah dari negara mana, menjadi bulan-bulanan lawannya. Sejak bel pertama ia betul-betul tampak tak berkutik. Pecundang. Namun, ketika ia dinyatakan kalah KO, berhamburan lah orang-orang ini ke arahnya. Ada yang memberikan handuk, minuman, dan membisikkan sesuatu entah apa. Dari bahasa tubuh yang tampak, yang jelas, mereka begitu perduli.
Ya, perhatian lebih harus diberikan kepada yang lebih membutuhkan pula. Untuk yang kalah telak, siapa lagi yang akan memberi perhatian. Penonton jelas tidak. Semestinya, saudara-saudara kita yang tersesat memperoleh perhatian seperti ini.
Alasan ke-84: Bekerja dapat menjadi mas kawin.
Begitu bernilainya kerja, sehingga dapat menjadi mas kawin. Nabi Musa tidak punya apa-apa ketika menikahi puteri Nabi Syuaib. Karena itu mas kawinnya adalah kesediaan Musa untuk tinggal bersama mereka serta menggembalakan domba serta bercocok tanam untuk keluarga Nabi Syuaib selama delapan tahun. Bahkan kemudian ia menggenapkannya menjadi 10 tahun.
Dalam Islam disebutkan bahwa mas kawin sebaiknya memang yang mudah dan tidak memberatkan. Mas kawin mengandung makna penghargaan kepada wanita.
Mas kawin adalah harta atau pekerjaan yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan sebagai pengganti dalam sebuah pernikahan menurut kerelaan dan kesepakatan. Dalam bahasa Arab, mas kawin sering disebut dengan istilah mahar, shadaq, faridhah dan ajr. Mahar secara bahasa berarti pandai, mahir, karena dengan menikah dan membayar mas kawin, pada hakikatnya laki-laki tersebut sudah pandai dan mahir dalam urusan rumah tangga dan kehidupan.
Sementara, shadaq berarti jujur.  Dengan membayar mas kawin mengisyaratkan kejujuran dan kesungguhan si laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mas kawin disebut juga dengan faridhah yang berarti kewajiban. Yakni kewajiban seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita. Istilah lain adalah ajran yang berarti upah. Secara simbolis, mas kawin adalah upah atau ongkos untuk dapat menggauli isterinya secara halal.



Alasan ke-85: Karena bekerja menjadi petani dan pedagang yang jujur sangat dipuji nabi.
Berdagang, membeli sesuatu dan lalu menjualkannya, atau dalam sastra Melayu sering dibilang menjadi ”saudagar”; janganlah diremehkan.  Abu Said meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah berkata, Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukan dalam golongan para nabi, shiddiqien dan syuhada [i]. Namun, di kesempatan lain nabi memperingatkan bahwa pasar adalah tempat dimana kita harus berhati-hati. Menjadi pedagang memang tidaklah mudah, apapalagi menjadi pedagang jujur. Rasulullah tahu benar hal ini karena ia adalah seorang pedagang.
Abdullah bin Umar adalah pedagang yang sukses, demikian pula Abu Bakar, Umar dan Utsman yang kekayaannya diperolehnya dari berdagang. Mereka menginfakkan sepertiga, separuh, bahkan seluruh harta untuk Islam. Abdurrahman bin Auf adalah sahabat nabi yang disebutkan satu dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga. Ia seorang pedagang yang sukses, dan saat berhijrah ia meninggalkan semua harta yang telah ia usahakan sekian lama. Namun saat telah di Madinah pun beliau kembali menjadi seorang yang kaya raya. Saat meninggal, wasiat beliau adalah agar setiap peserta perang Badar yang masih hidup mendapat empat ratus dinar.  
Golongan orang yang masuk surga tanpa hisab adalah ulama, orang kaya yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, mujahadah yang mati syahid dan haji mabrur. Dikisahkan, ketika dipersilahkan masuk ke surga lebih dahulu, haji mabrur menolak dengan alasan harus ulama dahulu karena ia mengetahui hukum-hukum haji dari gurunya yang seorang ulama. Begitu pula mujahid, ia tidak akan mengetahui keutamaan jihad kalau tidak ada ulama yang mengajarkannya. Tetapi ketika ulama dipersilahkan, ia malah mempersilahkan orang kaya karena ia menganggap jika tidak karena bantuannya misalnya bangunan-bangunan islami yang dibiayai oleh orang kaya, si ulama tidak mungkin dapat berdakwah.


[i] Hadist riwayat HR Tirmidzi.
Alasan ke-86: Ibadah ritual dan kesalehan hidup tidaklah berbeda
Tidaklah perlu membedakan atau mendikotomikan antara kesalehan dalam ibadah ritual dengan kesalehan dalam bekerja mencari nafkah. Keduanya tidak terpisahkan ibarat dua sisi mata uang. Tidak satu lebih mulia dari yang lain, pula tidak satu lebih hina dari yang lain.
Tampaknya, inilah point yang diperjuangkan organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini berdiri 18 November 1912 atas prakarsa Muhammad Darwisy atau yang kita kinal dengan KH Ahmad Dahlan. Saat ini, Muhammadiyah mengelola lebih dari 12 ribu sekolah, 167 perguruan tinggi, 345 rumah sakit, ratusan panti asuhan, ratusan balai pengobatan, serta Bank Perkreditan Rakyat. Untuk menciptakan khayru ummah, ia berupaya memajukan ummat dalam bidang agama sekaligus pendidikan, ekonomi, dan politik. Visinya adalah bagaimana Islam hadir dalam kehidupan nyata, yang hanya dapat dicapai melalui kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Mereka mendeklarasikan manifesto amaliah.
Himbauan Ketua Forum Komunikasi dan Informasi Pesantren Berbasis Agribisnis berikut layak kita catat [17]: “Saya mengajak pondok-pondok agar juga memikirkan dunia. Al-quran mengajarkan menata dunia dulu baru akhirat”. Dengan sikap seperti ini, KH Abdul Ghofur sebagai pemimpin pondok telah berhasil memasarkan mengkudu sampai ke Jepang, memiliki pabrik pupuk fosfat, dolomit, dan NPK, serta juga memperoleh penghargaan Kalpataru dan UKM terbaik tahun 2007 versi Bisnis Indonesia Award.

Alasan ke-87: Karena kaya merupakan jalan untuk beribadah lebih banyak
Dari Abi Abdillah Tsauban bin Bujdad, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Dinar yang paling utama yang dibelanjakan seseorang adalah dinar yang ia belanjakan untuk keluarganya, dinar yang ia belanjakan untuk kendaraannya di jalan Allah, dan dinar yang ia infakkan untuk rekan-rekannya (yang tengah berjuang) di jalan Allah[18]. Tambahan lain: ”Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk (mememerdekakan) hamba sahaya, dinar yang engkau infakkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluarga, yang paling utama di antara semua itu adalah dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu [19]”.  
Dengan banyak harta terbuka lebar pintu untuk berbuat baik. Bagaimana mungkin kita dapat berinfak dengan harta jika kita tidak memilikinya. Berkenaan dengan jihad, dalam ayat-ayat Al Quran selalu disandingkan antara kewajiban berjihad dengan jiwa dan dengan dengan harta. Namun, ada kalanya harta lebih didahulukan (misalnya pada surat Ash Shaf: 11), dan adakalanya jiwa didahulukan (At Taubah: 111).
Harta bersifat netral. Miskin atau kaya karena harta, dua-duanya dapat membuat orang masuk neraka atau surga. Dan Kami coba kalian dengan keburukan dan kebaikan, (semuanya) sebagai ujian (Al Anbiya: 35). Jangan salahkan harta, salahkanlah sikap anda dalam memandangnya. Islam menganggap harta sebagai anugerah dari Allah. Nabi Muhammad saat menikah dengan Siti Khadijah telah cukup kaya untuk meminangnya.
Hari Subagya[20], seorang motivator ulung, pernah mengadakan survey kecil-kecilan, menanyakan kesan beberapa orang tentang orang kaya. Ketika ditanyakan kepada tukang ojek, tukang siomay, abang becak, serta para pedagang asongan; jawaban mereka adalah orang kaya itu capek, pelit, egois, susah masuk surga, ribet, ngoyo, tidak bisa main catur dipinggir jalan, rakus, serakah, dan koruptor.  Sebaliknya, ketika pertanyaan sama ditanyakan kepada para orang kaya, jawabannya sangat berbeda: orang kaya itu bisa berbuat banyak, memiliki manfaat bagi sekitar, sehat, bersih dan nyaman, bahagia bisa jalan-jalan, bebas, dermawan, bisa naik haji, bisa memperkerjakan orang banyak, dan dihormati orang.
Menurut penulisnya, inti perosalannya adalah  orang kaya memiliki pendapat positif terhadap materi atau harta. Karena itulah mereka lebih mudah mencapainya. Sebaliknya, mereka yang sudah terlanjur negatif terhadap materi, akan sangat sulit mencapainya.
Jadi, untuk kaya kita perlu berfikir positif terhadap kaya itu sendiri. Untuk memotivasi kita, Hari Subagya mengingatkan kita untuk selalu bertanya:  apakah baik bisa membayar uang sekolah anak-anak?  Uang kuliah anak-anak?  Apakah baik bisa pergi haji?  Apakah baik bisa membantu tetangga yang sedang membutuhkan?  Apakah baik bisa menolong lebih banyak lagi manusia?
Akar masalahnya mungkin karena banyak kita yang menyepelekan hablumminannas. Kita terlalu sibuk dengan relasi yang menurut kita vertikal, dan merasa Allah begitu butuh kita. Jangan pandang sebelah mata relasi dengan kerabat, kawan, tetangga, manusia.  Dalam hadits-hadits tersebar anjuran betapa pentingnya hubungan kekeluargaan dan silaturrahmi[21]. Dan mendamaikan perselisihan[22].  Tidak akan masuk syurga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturrahmi) [23]. Dari Ibnu Umar: Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim lain. ... barang siapa yang mampu memenuhi hajat saudaranya, maka Allah pun akan berkenan memenuhi hajatnya. Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan kepada seorang muslim, maka Allah akan melapangkan salah satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat nanti. Barang siapa yang menutup aib seseorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat nanti [24]. Kata ustadz dimana saya berguru: hubungan dengan Allah dibangun atas begitu luas pemakluman, namun hubungan dengan manusia begitu ketat. Nah, selama ini kupikir kita agak terbalik memahaminya.

Alasan ke-88: Agar bisa berzakat kita harus berharta cukup
Untuk beribadah maghdah kita harus berharta, terutama untuk berzakat. Ada sedikit kekeliruan tampaknya selama ini, dimana kewajiban zakat sering dipahami hanya bila kita punya harta. Meskipun secara fiqih pemahaman tersebut benar, namun semangatnya adalah carilah uang dan kumpulkanlah harta sehingga kita dapat melaksanakan zakat. Anda harus berzakat, untuk itu anda harus punya harta ! Zakat anda semakin besar jika anda kaya. Dan, Allah tahu pasti, anda bisa kaya.
Menunaikan zakat dan mendirikan shalat selalu hadir bersamaan dalam banyak ayat di Al Quran. Untuk shalat pun kita pun harus berharta. Kita perlu uang untuk membeli penutup aurat yang bersih dan pantas.
Sedekah juga memiliki kekuatan yang luar biasa. Dalam Alquran dijelaskan bahwa siapa yang menyisihkan sebagian harta untuk dinafkahkan di jalan Allah, ia akan dikaruniai kelapangan hidup dan rezeki lebih banyak. Itulah janji Allah, dan Allah tidak akan pernah ingkar janji.

Alasan ke-89: Menjadi saleh dan taqwa tidak selalu harus dalam papa, melarat, dan sengsara.
Tanpa sadar kita sering digiring untuk merumuskan bahwa hanya orang miskin yang bisa bertakwa dengan nyaman. Ini kukira pengaruh dari cerita-cerita rakyat, dimana orang miskin selalu digambarkan baik hati, sabar, penolong, dan ideal.
Padahal, orang kaya justeru lebih mungkin lagi bertakwa. Orang yang saleh bukanlah orang memilih meninggalkan harta, melainkan yang lulus dalam ujian mengelola harta itu. Seseorang dianggap lulus ujian dalam urusan harta manakala memperoleh hartanya dengan cara halal, harta tidak menjadikannya sombong, harta menjadi fasilitas untuk mendekatkan diri pada Allah, menjadi fasilitas untuk silaturrahim, dan menjadi fasilitas untuk perjuangan.
Pada hari kiamat, setiap orang akan diminta pertanggungjawaban terkait dengan hartanya, dari manakah ia memperolehnya dan dengan cara apa. Doa akan makbul apabila harta yan kita makan halal. Rasulullah saw bersabda: Sebaik-baik harta yang saleh adalah yang ada pada orang saleh. Beliau juga memerintahkan kepada kita “Jauhkanlah dirimu dari neraka walau dengan hanya sebuah kurma.”
Perihal ”miskin namun baik” terkait dengan konsep asketisme. Istilah asketisme berasal dari bahasa Yunani ascesis yang berarti latihan keras, disiplin diri, atau pengendalian diri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme diberi arti ”paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban” [25]. Dalam khazanah tasawuf, asketisme dikenal dengan istilah zuhud, yakni meninggalkan kesenangan dan kemewahan duniawi. Asketisme (zuhud) dapat dimakani sebagai tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya atau menahan diri dari kesenangan dunia [26].
Hampir semua agama dan kebudayaan terdapat ide dan praksis asketis. Dalam kebudayaan kuno terdapat latihan-latihan tertentu untuk memasuki kehidupan pernikahan. Latihan-latihan diberikan supaya orang yang dilatih tersebut dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Latihan-latihan tersebut diberi nama “askese”. Di dalam kebudayaan dan agama India dan Persia, bentuk-bentuk asketisme telah lama diterima. Bahkan di India, ide dan praksis askese telah lama dikenal dan sangat luas diterapkan. Konsepsi dasar India tentang asketisme ialah keinginan melepaskan diri dari samsara, suatu lingkaran yang menguasai kehidupan manusia. Sistem askese adalah esensi dari Brahmanisme dan Buddhisme, dua cabang agama India yang dalam banyak hal berhubungan satu dengan yang lain. Asketisme model India tampaknya merupakan asketisme ekstrem yang memandang tubuh sebagai jahat.
Ide dan praksis puasa, penyesalan diri, penyiksaan diri, dan larangan seks yang terdapat dalam sebagian tradisi Yudaisme, tidak dapat disebut sebagai askese, karena hal itu mereka lakukan bukan sebagai latihan yang dilakukan secara sadar untuk mengendalikan tubuh dan jiwa, melainkan sebagai peraturan yang dilakukan dengan keterpaksaan. Ide dan praksis askese dalam kehidupan umat Israel timbul dalam perjumpaannya dengan agama Timur dan kebudayaan Yunani. Tokoh yang memadukan Yudaisme dengan kebudayaan Yunani ialah Philo dari Aleksandria. Philo memperkenalkan dualisme antara Tuhan dan dunia yang dijembatani oleh Logos. Dualisme tubuh dan roh dijembatani dengan hidup merenung, dan dengan itu roh akan dibebaskan dari tubuh dan naik ke tingkat Illahi. Philo juga melaporkan tentang kaum Eseni yang menunjukkan kehidupan askese, seperti tampak pada makanan dan pakaian Yohanes Pembaptis.
Kembali ke soal harta, begitu banyak kebaikan yang bisa dicapai dengan harta. Infaq kepada kerabat merupakan laku yang jauh lebih terpuji. Shadaqah kepada orang misikin adalah satu shadaqah dan shadaqah kepada orang yang punya hubungan rahim (kerabat) adalah dua shadaqah: shadaqah dan shilah (menyambungkan) [27]. Untuk mendatangi saudara dan kerabat dan bersedekah, kita perlu biaya, kita perlu berharta.
Islam akan sulit ditegakkan tanpa dukungan finansial (malliyah). Orang kufur yang kuat karena kaya harus dihadapi dengan imbangannya. Jadi, Islam tidak memusuhi harta juga tidak mengajarkan umat Islam memusuhi orang kaya. Pintu surga terbuka lebih lebar bagi orang kaya. So, kenapa takut kaya?
Islam telah memperingatkan akan bahaya kemiskinan. Sabda nabi: Kemiskinan hampir-hampir mendekatkan orang kepada kekufuran. Nabi juga biasa berdoa: “Ya Allah, lindungilah dan tolonglah saya untuk menghindari ketidakmampuan dan kemalasan, ketakutan dan ketamakan; lindungilah dan tolonglah saya untuk menghindari kemiskinan, kekufuran dan perilaku yang salah. Ya Allah, saya berharap kiranya Engkau memberi petunjuk kepada saya ke jalan-Mu, memberikan rasa cinta kepada dan takut terhadap-Mu, membuat saya puas dengan apa yang Engkau berikan kepada saya, dan berikanlah kepada saya kecukupan.” Doa tersebut menunjukkan sikap positif terhadap harta.

Alasan ke-90: Karena menikmati harta sewajarnya bukanlah dosa
Menikmati harta yang merupakan hasil jerih payah bekerja dibolehkan, asal tidak berlebih-lebihan dan tidak menimbulkan keburukan. Nabi bersabda: Tuhan senang dengan hamba-Nya yang menunjukkan tanda-tanda atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya kepadanya dalam kehidupannya. Nabi bersabda pula: Hartamu adalah apa yang kamu pergunakan dan harta ahli warismu adalah yang tidak kamu pergunakan.  Tidak ada sedikit pun diantara yang kamu punyai benar-benar jadi milikmu kecuali yang kamu makan dan gunakan habis, yang kamu pakai dan kamu tanggalkan, dan yang kamu belanjakan untuk kepentingan bersedekah, yang imbalan pahalanya kamu simpan untukmu [28].
Kalau pecinta dunia mencari dunia untuk kepuasan dirinya, pecinta Allah mencari dunia untuk mendapatkan kedekatan dengan Allah. Kita kejar dunia dengan bersimbah peluh, mandi keringat, peras otak, susun strategi, bangun jaringan, dan seterusnya;  tapi kepuasan muslim bukan ketika terkumpulnya uang. Kebahagiaan sejati adalah ketika orang yang lapar bisa makan dengan bekerja pada perusahaan kita, terangkatnya martabat pekerja tersebut di masyarakat, dan  karena mereka mampu menghidupi keluarganya. Nikmati harta secukupnya dan sewajarnya, selebihnya sedekahkan. Itulah si the best.

Alasan ke-91: Karena ilmu lebih utama dari harta
Selain harta, kerja juga menghasilkan ilmu. Ilmu adalah hasil dari kerja belajar. Keutamaan ilmu misalnya dapat dilihat pada Surat Al Mujaadilah: 11,  dimana orang yang berilmu ditinggikan beberapa derajat. Khalifah Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa ada sepuluh kelebihan ilmu dibanding harta, yaitu: ilmu adalah warisan para nabi, menjaga orang yang mempunyainya sedangkan harta harus kita jaga, banyak teman, jika diberikan ke orang lain malah bertambah, sering dipanggil dengan sebutan baik, menerima syafaat di hari kiamat, ilmu apabila disimpan tidak habis, tidak usah dijaga dari kejahatan, tidak membutuhkan tempat, dan ilmu akan menyinari hati manusia menjadi terang dan tenteram. Dari Abu Hurairah RA: Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda, ”Barangsiapa yang menempuh suatu jalan bepergian mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga”.
Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa tingkat. Oleh karenanya Allah menyuruh manusia menggali ilmu pengetahuan, membentuk majelis taklim, membaca ayat-ayat Allah baik ayat yang tertulis maupun tidak. Dalam surat Al Alaq: 1, Iqra’ bismirobbikalladzii khalaq, diperintahkan kepada kita untuk membaca ayat-ayat Allah. Mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik ilmu agama atau pun bukan. Ilmu akan menambah keimanan kita. Semakin dalam kita menggali ilmu semakin bertambah ketakjuban kita pada Allah. Dalam satu hadits saya pernah baca, orang yang pergi berangkat untuk mencari ilmu nilainya setinggi berjihad. Jika ia mati dalam menuntut ilmu, insyaallah ia pun sahid.
Al Quran adalah buku ilmu pengetahuan. Hal ini misalnya terbukti dari teori ledakan besar. Para ilmuwan akhirnya sepakat bahwa seluruh alam ini bermula dari suatu titik tunggal yang sangat kecil tetapi mempunyai kepadatan tak terbatas. Titik ini lalu meledak dan melemparkan semua material ke segala arah dan terciptalah sistem alam semesta. Ini sebenarnya telah disebutkan dalam surat Al Anbiya: 30, Dan apakah orang-orang kafir itu tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
*****


[1] Afzalurrahman. 2000. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Penerbit Yayasan Swarna Bhumy. hal 288.
[2] Dr. hamid Ahmad Ath-Thahir. 2006. Kisah-kisah dalam Al-Quran untuk anak. Irsyad Baitus Salam, Bandung. “Kisah Musa dan Qorun”.
[3] Lebih jauh tentang ini dapat ditelusuri dalam buku Syuaibi berjudul ”Muhammad Seorang Milyuner?”.
[4] Natsir, Nanat Fatah. 1999. Etos Kerja Wirausahawan Muslim. Gunung Jati Press, Bandung. 164 hal.
[5] Afzalurrahman. 2000. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Muhammad as Trader). Penerbit Yayasan Swarna Bhumy, Jakarta.
[6] Hadits ke-902 diriwayatkan oleh Ibnu Abbas R.A.
[7] Gunawan Muhammad  dalam “Oklamoha”. Catatan Pinggir Tempo, 20 Januari 2002.
[8] Hal ini telah saya publikasikan dalam Syahyuti. 2006. Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah menurut Hukum Adat di Indonesia. Majalah Forum Agro Ekonomi Vol. 24 No. 1 tahun 2006.
[9] Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria: studi kasus pada masyarakat pinggiran hutan di Kec. Palolo, Kab. Donggala, Sulteng. Tesis pada Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan di IPB Bogor.
[10] Afzalurrahman. 2000. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Muhammad as Trader). Penerbit Yayasan Swarna Bhumy, Jakarta.
[11] Amartya Sen. 1981. Proverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation.
[12] Mahyeldi Ansharullah.  Mengantisipasi Aliran Sesat. http://mahyeldi.com/.....
[13] Ismoko Widjaya dan Beno Junianto. 2 Februari 2009. Ikut Aliran Sesat karena Faktor Ekonomi. http://nasional.vivanews.com/...
[14] Kemiskinan Munculkan Aliran Sesat. Harian Umum Pelita, 4 Agustus 2009. http://www.hupelita.com/...  Juga dalam http://mimbarjumat.com/archives/104
[15] Abu Rokhmad. 16 September 2005. Aliran Sesat dan Hegemoni Ortodoksi. http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/16/opi3.htm
[16] Hadist riwayat HR Tirmidzi.
[17] “Dari Paciran menembus Jepang: Yayasan dan Ponpes Sunan Drajat”. Harian Kompas, 7 Oktober 2007.
[18] Hadits riwayat HR Imam Muslim.
[19] Hadits riwayat HR Imam Muslim.
[20] Hari Subagya. 26 Agustus 2009. Time to Change: Question and Answer. Ebook gratis, download dari: http://www.harisubagya.com/hadiah.html
[21] Al-Bayan. 2007. Shahih Bukhari Muslim. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Editor: Hendra S dan Tim Redaksi JABAL. Penerbit JABAL, Bandung Hal 462 hadist no 1506, 1507 dan 1508
[22] Al-Bayan. 2007. Hal 467, hadits no 1527.
[23] Al-Bayan. 2007. Hal 462, hadits no 1507.
[24] Al-Bayan. 2007. Hal 465 hadits no 1519.
[25] Dalam buku Joeleonhart, 2008 hal 7.
[26] Prof. Dr. M Solihin, Mag. Fatwa MUI versus Asketisme Politik. Harian Umum Republika, 6 Februari 2009.
[27] Hadits riwayat HR Tirmidzi.
[28] Hadits rilayat Muslim dan Ahmad.