Tujuan orang berkerja adalah
untuk mendapatkan hasil untuk dijual, upah atau gaji, dan lalu membelanjakannya
untuk berbagai keperluan. Salah satu dari keperluan itu adalah mendapatkan
harta. Namun, kerja sering diidentikkan hanya sekedar mencari harta. Kalau
orang berkerja rajin langsung diledek ”kerja
rajin-rajin amat mau cari apa lagi sih”. Padahal sesungguhnya, berkerja
memiliki makna dan nilai yang jauh lebih tinggi daripada semata harta benda. Dari
penelusuran secara lebih dalam, kita akan temukan ternyata kerja lebih bermakna
dibanding harta. Nilai kerja bergitu kaya dan tinggi daripada hanya
sekedar urusan harta. Hal ini juga dapat kita
temukan dalam hidup sehari-hari.
Kita mesti
tahu persis untuk apa dan mengapa kita berkerja. Ini penting agar tidak terjerumus
hanya menjadi economic animal, dimana
hidupnya hanya untuk makan. Jangan sampai perut merupakan awal dan akhir dari
seluruh aktivitas ekonomi kita [1].
Kita
banyak yang takut kaya. Tanpa sadar ini tampaknya efek dari penjejalan kisah
Qorun dan sejenisnya ke dalam kepala kita semenjak kita kanak-kanak. Qorun
adalah anak dari paman Nabi Musa. Ia kaya namun sombong dan zalim. Ia iri
kepada Musa dan ingin berkuasa dan disukai Bani Israil. Karena Allah murka,
maka istana dan hartanya lalu dibenamkan Allah ke bumi [2].
Berikut disampaikan beberapa alasan untuk menegaskan
bahwa kerja begitu tinggi nilainya, dan jangan menyempitkannya hanya sekedar
mengumpulkan harta.
Alasan ke-75: Karena dengan
berkerja kita mendapatkan harta, dan kaya bukanlah aib
Allah SWT sangat adil. Dalam surat An-Nisa
ayat 32 terbaca, ”Bagi seseorang laki-laki ada manfaat dari apa yang dia
usahakan.” Pointnya disini adalah bahwa setiap yang mau berusaha pasti akan
memperoleh hasilnya, tak soal gendernya apa. Alam memang tak memisahkan lelaki
dan perempuan, hitam dan putih atau bahkan Muslim dan kafir dalam hal rezeki. Sunatullah
menjamin siapa bekerja lebih keras akan mendapat balasan lebih pula.
Ada satu fenomena yang mungkin banyak pembaca pernah
mengalami. Dalam berbagai ceramah agama, sering kali diangkat contoh kasus
Qorun, yang kaya lalu melupakan sholat. Inti yang saya tangkap dari ceramah
tersebut adalah: “janganlah kaya, karena kaya akan membuatmu kufur. Contohnya
sudah jelas, yaitu “Qorun”. Saya
sebenarnya ingin protes, kenapa tidak pernah diangkat contoh yang sebaliknya,
yaitu muslim yang kaya tapi sholatnya tetap baik, dan bahkan mampu berzakat
lebih banyak, misalnya Utsman Bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.
Pada mulanya Qorun hanyalah seorang pemuda miskin yang
taat beribadah. Kagum melihat ketekunannya beribadah dan kasihan melihat
kemiskinannya, Nabi Musa memberi Qorun ilmu sehingga dia memiliki
keahlian mengolah emas. Dari keahliannya itulah Qarun yang miskin berwira usaha
sehingga menjadi seorang yang kaya raya. Kekayaan rupanya mengubah perilaku Qorun.
Dia tidak bersyukur, tetapi malah imannya luntur dan lama-lama menjadi kufur.
Bahwa “miskin
lebih baik” sering dianggap sebagai sunah rasul. Sering diceritakan betapa nabi
begitu miskin, makan seadanya, sering tidak makan, tidur beralas tikar, pakaian
terbatas, dan seterusnya. Apa benar demikian?
Banyak tulisan
menyebut sebaliknya. Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya sebenarnya tidaklah
miskin papa. Sebelum menikah dengan Khadijah, Nabi adalah pekerja keras dan
tangguh. Beliau menjadi penggembala kambing dan juga mudharib yang melakukan
kerjasama bisnis. Ketika melamar Khadijah, jumlah mahar yang diserahkannya berupa
40 ekor unta merah di tambah emas. Ada
yang menyebut 20 namun ada pula yang menyebut 100 ekor unta. Total nilainya
setara dengan miyaran rupiah. Untuk pernikahannya yang lain biasanya memberi maskawin sejumlah 400 dirham.
Nabi terlihat
miskin, karena ia selalu menafkahkan hartanya. Ia sering membagi-bagikan harta,
onta, dan tanah kepada sahabat-sahabatnya dan ummat yang membutuhkan, misalnya Tsalabah
yang diberi beberapa ekor kambing untuk dikembangbiakkannya.
Ada banyak sumber
pendapatan Nabi di antaranya dari harta fai
yakni harta yang ditinggalkan musuh tanpa harus melewati pertempuran, rampasan
perang (ghanimah), dan al-sahm. Nabi sering pula diberi tanah
dan uang oleh orang lain, misalnya tanah fadak yang diserahkan Yahudi. Nabi
pernah menerima 90 ribu dirham dari seseorang, namun ia membagikan seluruhnya
kepada ummat sampai habis. Nabi juga banyak menerima harta sebagai hadiah dari
hubungan baiknya dengan pihak luar yang bisa berupa emas, pakaian, keledai,
kuda dan sebagainya [3].
Tentang sahabat,
ketika meninggal konon Umar bin Khattab
mewariskan ladang pertanian yang kira-kira harganya saat ini belasan
trilyun rupiah. Sementara Utsman bin Affan memiliki simpanan uang, lahan pertanian sepanjang wilayah Aris dan
Khaibar, dan beberapa sumur senilai ratusan milyar. Kekayaan Zubair bin Awwam
berupa uang ditambah seribu ekor kuda perang. Terlebih lagi Abdurrahman bin Auf,
yang konon dalam satu kesempatan pernah berinfaq setara dengan Rp. 64 milyar.
Dalam sejarahnya,
muslim pun tidak selalu hidup melarat. Rakyat hidup berkecukupan sepanjang masa
tugas Umar bin Khattab selama 10 tahun. Di Yaman saat itu kesulitan menemukan
seorang miskin pun yang layak diberi zakat. Demikian pula di masa Umar bin Abdul Azis selama 3 tahun ia bertugas.
Alasan ke-76: Karena zuhud tidak berarti meninggalkan dunia
Zuhud adalah
perilaku terpuji, tapi tampaknya makna zuhud sering dikelirukan. Mereka yang
keliru ini memaknai zuhud sebagai perilaku menolak dari segala hal unsur dunia.
Mereka menolak segala yang enak dan kesenangan, tidak mempedulikan makan minum,
berpakaian seadanya, dan tidak memikirkan harta kekayaan. Mereka takut terpedaya oleh pesona dunia.
Memang kehidupan
dunia berpotensi besar melalaikan atau melengahkan. Dalam surah Al Hadiid: 20
disebutkan bahwa kehidupan dunia itu semata-mata permainan dan hiburan yang
melalaikan, hanyalah kesenangan bagi orang-orang yang terpedaya, dan
seterusnya. Namun, hakikatnya, ayat ini bukan kecaman terhadap dunia yang
menjadikan seseorang harus mengutuk dan mengabaikannya, namun menggambarkan
kehidupan duniawi orang-orang hedonis yang melalaikan agama.
Zuhud tidaklah
identik dengan melarat. Zuhud adalah kepuasaan hati dengan apa yang diberikan
Allah SWT. Tak ada ikatan hati kepada harta dan hal-hal bersifat material
lainnya. Harta hanya sampai di ”tangan”, tidak di ”hati”. Jadi, orang kaya
sangat bisa melakukan zuhud. Utsman Bin Affan
dan Abdurrahman bin Auf sukses dalam bisnis dan menjadi saudagar kaya, tapi
termasuk yang dijamin masuk surga. Demikian pula dengan Umar bin Abdul Aziz,
khalifah yang kaya raya namun juga tergolong zuhud.
Dunia tidak harus
dimusuhi. Allah menurunkan manusia ke alam dunia ini bukanlah tanpa sengaja. Rasul
sendiri bersabda “hiburlah hatimu dari
saat ke saat”. Beliau membolehkan menyanyi dan mendengarnya selama nyanyian
itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Beliau tertawa, bergurau dan
berolahraga. Rasulullah pernah bersabda bahwa ialah yang paling takut dengan
Tuhan, namun ia berpuasa dan berbuka, juga tidur, serta kawin. Beliau tidak
meninggalkan dunia.
Masalah
pemahaman tentang harta dan zuhud ini kait berkait dengan pandangan tentang
ikhtiar, tentang semangat berusaha, semangat berkerja. Sebuah penelitian di
Tasikmalaya [4]
dengan pendekatan sosiologi agama, menemukan bahwa paham melekat erat pada
kesuksesan hidup seseorang. Di kalangan pemimpin perusahaan ditemukan dominan
paham qadariyah, sedangkan di
kalangan para buruh perusahaan banyak yang berpaham jabariyah. Ciri orang yang berpaham jabariyah
adalah tidak rasional, negatif dan pesimis terhadap dunia.
Terbalik
dengan ini, mereka yang berpaham qadariyah mengutamakan ikhtiar, dimana
keberhasilan ekonomi tergantung kepada upaya manusia itu sendiri. Karena itu mereka berkerja keras, hemat, jujur dan
berpehitungan dalam usaha. Usaha dalam bidang ekonomi bukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup semata, tapi dalam rangka beribadat kepada Allah. Ini lah yang
sering dikategorikan sebagai askestis dunia atau this worldly ascetism. Keselamatan dicari dengan mengalahkan dunia
ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa cap negatif Weber tentang muslim menjadi
gugur untuk golongan qadariyah ini.
Tampaknya
kalangan jabariyah kurang bisa memahami makna takdir. Mereka mencampurkan
takdir mubram dengan takdir mu’allaq. Takdir mubram adalah ketentuan
Allah tanpa campur tangan manusia misalnya gempa bumi dan berputarnya siang dan
malam. Sebaliknya, takdir mu’allaq adalah
ketentuan Allah yang digantungkan atas jalan usaha (ikhtiar) dan do’a. Ada
peran manusia di dalamnya. Dalam konteks takdir mu’allaq, maka kita harus berusaha dengan kemampuan dan pengetahuan
yang dimiliki, hasilnya serahkan ke Allah.
Alasan ke-77: Karena nilai kerja dapat jadi indikator ekonomi
Pada masa awal perkembangan ilmu ekonomi, “kerja” pernah diusulkan sebagai penentu
nilai benda produksi atau untuk menetapkan harganya oleh Marx. Hasil kerja
manusia mengandung nilai-guna yang kuantitas nilainya dihitung dari jumlah
waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk bersangkutan.
Selanjutnya, nilai kerja secara sosial adalah rata-rata waktu kerja yang
dibutuhkan satu masyarakat untuk membuat satu barang. Dalam pertukaran mesti
dicapai kesetaraan dengan menghitung nilai relatif setiap produk dari jumlah
kerja yang tercurah di dalamnya.
Ini teori lama yang sudah direvisi. Namun demikian, teori ini
memperlihatkan bahwa pada level yang paling dasar kerja lah yang menjadi nilai
ekonomi penting. Ia dihargai sedemikian, karena ia lah sumber penggerak aktivitas
ekonomi di masyarakat.
Alasan ke-78: Karena nilai kerja lebih prioritas dibanding nilai penguasaan
sumberdaya
Islam meninggikan
kerja di atas penguasaan sumberdaya. Dalam hal sewa menyewa tanah misalnya,
sesuai ketentuan Islam, uang sewa hanya dipungut apabila telah menghasilkan
lebih dari yang dibutuhkan oleh si penggarap. Jadi, sewa diambil setelah biaya
dan kebutuhan hidup pengolah dikeluarkan [5].
Intinya, yang bekerja lebih
didahulukan dibandingkan yang punya tanah. Jika hasil produksi rendah, maka
yang bekerja lah yang diutamakan. Mereka yang telah bekerja yang telah
mencurahkan waktu dan tenaganya lebih berharga dibandingkan pemilik tanah yang
tidak mencurahkan tenaga apapun.
Contoh lain, untuk air dikenal
dua bentuk, yaitu air yang secara alamiah tersedia (naturally accessible) sehingga bebas digunakan semua orang seperti air sungai dan laut, serta air yang tidak tersedia secara alamiah (not
naturally accessible) karena
membutuhkan usaha tertentu untuk mendatangkannya misalnya dengan pompa. Ini
berasal dari prinsip ekonomi Islam, dimana tidak ada sesuatu yang dapat
diperoleh secara gratis. Bahkan,
seseorang juga tidak berhak hidup di atas kerja orang lain. Itulah kenapa si
penggarap lebih didahulukan, karena ia lah sang pekerja. Allah membenci sumber
daya yang ditelantarkan, sehingga bagi pemilik tanah yang tidak mampu mengolah
tanahnya ia harus membolehkan orang lain menggarapnya secara percuma.
Contoh lain,
dalam praktek bagi hasil (profit sharing), yaitu sebuah bentuk kerjasama
antara pihak investor atau penabung (shahibul maal) dengan pihak
pengelola (mudharib), setelah memperoleh hasil ada pembagian hasil
sesuai dengan kesepakatan kedua pihak. Shahibul-mal atau rabbul-mal menyediakan
sejumlah modal tertentu dan bertindak sebagai mitra pasif, sedangkan mitra yang
lain disebut mudharib yang menyediakan keahlian usaha dan manajemen
untuk menjalankan perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan mendapatkan
keuntungan. Dengan menerapkan ini kerja mudharib
dihargai secara lebih adil. Semakin banyak dan semakin keras ia berkerja, yang
diindikasikan dari semakin banyak hasil produksi, maka bagiannya semakin
banyak.
Sementara pola musyarakah (patnership atau project financing participation) adalah suatu bentuk organisasi usaha di mana dua orang atau lebih
menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi sama atau tidak
sama. Keuntungan dibagi menurut perbandingan yang sama atau
tidak sama, sesuai kesepakatan, antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan
menurut proporsi modal. Ketentuan tentang pembagian keuntungan dan
petanggungjawaban kerugian persekutuan dalam syirkah kerugian akan dibagi ke dalam bagian modal yang
diinvestasikan dan akan ditanggung oleh para pemodal. Sementara, keuntungan
akan dibagi di antara para sekutu atau mitra usaha dengan bagian yang telah
ditentukan oleh mereka dengan bagian atau persentase tertentu. Konsep yang ada
dalam syariah merupakan konsep yang komprehensif (syumûliah) dan
meliputi berbagai dimensi dan memperhatikan keadilan sesama. Disini kerja dan
modal dinilai sama penting.
Alasan ke-79: Karena jaminan kerja
lebih penting dibandingkan jaminan tempat tinggal
Bagi banyak
orang, terutama yang hidup sedikit di atas garis subsistensi, memiliki pekerjaan
sangatlah berharga. Pengalaman penulis saat berusaha memindahkan ratusan
keluarga yang menempati areal bakal jalan tol dengan tempat tinggal seadanya; mereka
tidak antusias ketika diimingi rumah permanen, bahkan rumah susun sekalipun. Yang lebih utama bagi mereka adalah apakah di lokasi yang
baru tersebut mereka bisa menjalankan usaha atau tidak. Sebelum dipindahkan mereka
menjalankan berbagai usaha yang tergolong marjinal seperti warung kopi, warung
nasi, tambal ban, dan pemulung. Namun, pekerjaan-pekerjaan ”sepele” ini begitu
berharga bagi mereka. Memiliki usaha sekecil apapun lebih penting bagi mereka
meski hanya tinggal di bedeng.
Alasan ke-80: Karena kita dilarang menelantarkan sumber daya ekonomi.
Dalam Islam, tanah
kosong yang ditelantarkan dibebankan membayar zakat. Kewajiban ini adalah untuk
memotivasi pemiliknya agar tanah tersebut tidak ditelantarkan. Dalam Hadist
disebutkan bahwa: Hendaklah menanami atau
menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari
keduanya, tahan lah tanahnya. Memberikan tanah untuk digarap orang lain
lebih baik dari pada memungut hasil yang tertentu sebagai imbalan di atas
penyewaan tanah tersebut [6].
Bertani adalah
pekerjaan yang sangat mulia. Bahkan ketika tanaman tersebut rusak dan gagal
panen, atau hasilnya habis dimakan burung sekalipun; pahalanya tidak berkurang.
Hidup jadi berarti bukan karena mencapai.
Hidup jadi berarti karena mencari [7].
Alasan ke-81: Karena Allah
menjadikan bumi untuk kita usahakan.
Dialah yang
menjadikan bumi ini mudah buat kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezekinya (Al Mulk: 15).
Kita manusia diturunkan ke bumi,
dengan derajat paling tinggi, adalah pengolah dan pemakmur alam. Sejalan dengan
ini: Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam (Al Anbiya: 107). Nabi Muhammad SAW dan ajaran agama yang
dibawanya pastilah rahmat bagi semesta alam. Rahmat tidak untuk sesama umat
Islam saja, tapi juga untuk non-Islam, bahkan untuk hewan, binatang, tumbuhan, tanah,
air, dan seterusnya.
Namun, ini tidak
terwujud sim salabim. Siapa yang akan mewujudkannya? Muslim. Muslim, kalau
benar, pasti akan mewujdukan ini. Dan, jika saat ini belum terwujud, bolehlah
alam menuntut si muslim. Untuk amanah ini, maka muslim dalam prakteknya tidak
akan membela manusia manapun dari kesewenang-wenangan, ketidak adilan, dan
kekerasan, akan menjadi pemakmur alam, penjaga lingkungan, penyayang binatang,
dan seterusnya. Untuk semua itu, tentu muslim harus menjadi hakim yang tangguh
dan adil, menjadi dokter ahli
seahli-ahlinya, pembela HAM tanpa takut, pekerja kantoran yang tekun, guru yang
kreatif dan sabar, dan seterusnya. Muslim mesti menjadi orang-orang paling
berprestasi di bidang apapun ia. Dengan ini lah ia tidak akan menjadi beban,
namun menjadi rahmat bagi alam.
Alasan ke-82: Kerja merupakan syarat untuk dapat menguasai sesuatu sumber
daya ekonomi
Hal ini saya temukan dalam penelitian tentang sifat
penguasaan tanah di Sumatera Barat dan Kalimantan Barat. Ada keselarasan antara
hukum adat kedua etnis ini dengan hukum Islam [8].
Sebagaimana dalam Islam, untuk tanah tidak dikenal adanya kepemilikan mutlak,
penguasaan yang bersifat inklusif, larangan untuk memperjual belikan tanah
sebagai benda komersil, serta lebih dihargainya manusia dan kerjanya dibanding
tanah. Yang menarik, kenapa kearifan suku Minang Kabau dan Dayak bisa sejalan
dengan Islam?
Demikian pula penelitian tesis saya tahun 2001 di
Donggala (Sulawesi Tengah) [9].
Jika seseorang ingin mengusahakan pertanian di sebidang tanah yang sebelumnya
telah dikuasai seseorang, ia tidak harus membelinya, namun hanya disebut dengan
”mengganti mata kapak” Maknanya, ia hanya membayar jasa orang sebelumya yang
telah membuka dan membersihkan tanah tersebut, tapi tidak membeli hak
penguasaannya. Artinya, kedua pihak menyadari bahwa tanah bukan milik
siapa-siapa, manusia hanya mengusahakannya. Sangat arif. Hal seperti ini juga berlaku di Sumatera Barat. Mereka yang
boleh menguasai tanah adalah yang telah membuka (manaruko) sebidang hutan. Hak menguasai ini hanya berlaku selagi
ia masih menggarapnya. Jika tidak, maka tanah tersebut berbalik lagi statusnya
menjadi hak ulayat warga.
Dalam ketentuan Islam, orang yang menggarap tanah terlantar (giving life to the dead land) memiliki
hak khusus (special claim). Ia
menjadi “pemilik” tanah tersebut. Siapa yang telah mengusahakan lahan memiliki
hak untuk menguasai (right of ownership).
Namun, seseorang yang telah mengklaim sepetak lahan hanya berhak sepanjang ia
mengusahakan tanah tersebut secara ekonomi (bukan untuk menjualnya). Menurut
suatu hadits, barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia paling
berhak atasnya [10].
Alasan ke-83: Karena
miskin bukanlah karena tidak berharta, tapi karena tidak berkerja.
Ungkapan Bill Gates begitu
sesuai untuk ini. If you born poor it’s
is not your mistake. But, if you die poor it’s your mistake.
Batasan kemiskinan yang banyak dipakai selama ini di kalangan ahli adalah
berdasarkan kepemilikan harta. Hal ini misalnya digunakan dalam penetapan rumah
tangga penerima bantuan pengganti subsisi BBM (BLT BBM), di antaranya adalah pendapatan,
luas rumah, jenis lantai rumah, kepemilikan barang berharga berupa sepeda motor,
dan seterusnya. Di sektor pertanian, petani juga dikelompokkan atas luasnya
penguasaan lahan, sehingga keluarlah istilah “petani berlahan sempit”, “tuna
kisma” dan “buruh tani”.
Sesungguhnya Amarta Syen telah membalikkan konsep ini [11].
Dengan konsep entitlement,
menurutnya miskin bukanlah karena orang tidak berharta, tapi karena orang tidak
ada peluang untuk berkerja (akses kepada pekerjaaan). Ini penting walau
kelihatan sepele. Karena jika memiliki harta atau tidak dijadikan ukuran, maka
agar seseorang tidak lagi miskin berilah ia sesuatu, misalnya uang. Namun jika
akses yang dijadikan ukuran, maka bukakanlah akses pendapatan yaitu kerja yang
ada uang untuknya. Sebenarnya ini sudah lama diulang-ulang, yaitu “jangan beri
ikan, tapi berilah pancing”.
Hilangnya entitlement yang mengakibatkan kelaparan
dan kemiskinan dapat disebabkan banyak hal misalnya karena harga produksi pangan
yang dihasilkan jatuh. Bagi orang yang tidak memproduksi makanan sendiri,
ditentukan beberapa hal seperti harga makanan, tingkat belanja kebutuhan
nonpangan, stabilitas harga komoditas, kesempatan bekerja, dan tingkat
pendapatan. Meski berlimpah makanan, orang yang mengalami PHK dan tidak berpendapatan
dapat mengalami kelaparan. Manusia dalam mengakses pangan bergantung pada direct entitlement, exchange entitlement,
trade entitlement, dan social
entitlement.
Harta
benda dan berekonomi jangan dianggap sepele. Dari sejarah kita baca, salah satu
strategi PKI adalah Gerayak (Gerakan Rakyat Kelaparan). Ini dijalankan melalui Barisan Tani Indonesia
(BTI) untuk menggalang simpatisan. Dalam aksi ini, mereka secara
gerombolan melakukan operasi dari rumah ke rumah orang berada lalu dengan tanpa
kekerasan minta bahan makanan apa saja yang ada lalu dibawa semua. Bencana
kelaparan menjadi momentum guna
mendesak kaum kaya pedesaan berpartisipasi membagikan sedikit kekayaannya
kepada para petani yang lapar. PKI juga mengembangkan isu yang sangat sensitif
untuk menggalang massa kaum petani mulai sejak tahun 1953 dengan semboyan
”Tanah untuk Kaum Petani”. Keberhasilan PKI menjadi empat besar partai pemenang
Pemilu 1955 yang sebagian suara terbesarnya diperoleh di Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang mayoritas masyarakatnya adalah petani, menjadi salah satu parameter
utama keberhasilan tersebut.
Pelajaran
yang kita peroleh adalah, betapa manusia sangat mudah goyah bila disentuh
hal-hal yang riel: perut yang lapar. PKI melakukan serangkaian aksi yang
mencoba mendekatkan jarak ideologi dengan realitas dan harapan masyarakat secara
membumi. Lihat saja simbol nya, palu dan
arit, sesuatu yang sangat lekat dengan
keseharian.
Demikian
pula dengan banyaknya ummat yang terjebak aliran sesat. Dalam salah satu media terbaca,
bahwa berkembangnya aliran Ahmaddiyah adalah karena adanya solidaritas ekonomi
sesama anggotanya. Mereka saling bantu dalam hal-hal yang nyata. Pekerjaan,
makanan, dan bantuan sakit. Mereka intens dan care dengan hal-hal yang berkenaan dengan kegiatan berekonomi.
Pada
intinya, penyebab kesesatan adalah jauh dari Alquran dan Sunnah, kelangkaan
ulama, karena minimnya pendidikan agama, dan pengaruh materi [12].
Karena miskin harta dan miskin aqidah, maka dengan mudah orang akan
menggadaikan bahkan memperjual belikan aqidahnya. Ketua MUI juga setuju bahwa
faktor ekonomi bisa menjadi faktor yang menjadikan seseorang melakukan suatu
aliran sesat [13].
Memang sebagian dari gerakan aliran sesat tersebut meminta bayaran untuk
kepentingan ajaran tersebut. Namun, yang membuat jamaahnya tetarik adalah
karena dijanjikan kebahagiaan dan keselamatan secara instan.
Prof. Dr.
Said Agil Siraj, Wakil Ketua PB NU, menyebutkan bahwa faktor kemiskinan ikut
mempengaruhi munculnya aliran sesat. Mereka mengalami ketidakwarasan pikiran akibat desakan ekonomi
yang sedang sulit [14]. Ia
menambahkan: ”Elite agama sibuk mengurusi
umatnya sendiri, dan tidak mengembangkan empati atau simpati terhadap
orang-orang yang mengalami keterasingan jiwa akibat beban hidup”. Pemimpin
gerakan sempalan dan para pengikutnya adalah orang-orang yang memiliki beban
hidup cukup berat, baik agama, sosial, ekonomi maupun politik [15].
Menurut
saya, dalam menangani ini, yang tepat adalah rangkul kembali mereka, dekati,
ajak bicara, dengarkan masalahnya, dan berikan solusi yang riel. Jika untuk
ummat yang biasa diberi tausiyah sekali seminggu, maka mereka mestinya
memperoleh perhatian setidaknya sekali sehari. Jika yang lain cukup dengan
ceramah one way communication, untuk
mereka tentu tak cukup.
Suatu
kali, saya menonton pertandingan tinju amatir internasional di Bogor. Saya
mengamati ada beberapa orang di satu sudut. Tampaknya mereka pengurus penting
di kejuaraan ini. Dari pertandingan ke
pertandingan, orang-orang ini bereaksi biasa. Kadang ikut bertepuk tangan,
kadang terlihat keluhan kecewa. Namun, mereka baru betul-betul memberikan
perhatian ketika ada satu petinju, entah dari negara mana, menjadi
bulan-bulanan lawannya. Sejak bel pertama ia betul-betul tampak tak berkutik. Pecundang.
Namun, ketika ia dinyatakan kalah KO, berhamburan lah orang-orang ini ke
arahnya. Ada yang memberikan handuk, minuman, dan membisikkan sesuatu entah
apa. Dari bahasa tubuh yang tampak, yang jelas, mereka begitu perduli.
Ya,
perhatian lebih harus diberikan kepada yang lebih membutuhkan pula. Untuk yang
kalah telak, siapa lagi yang akan memberi perhatian. Penonton jelas tidak.
Semestinya, saudara-saudara kita yang tersesat memperoleh perhatian seperti
ini.
Alasan ke-84: Bekerja
dapat menjadi mas kawin.
Begitu bernilainya kerja, sehingga dapat menjadi mas
kawin. Nabi Musa tidak punya apa-apa ketika menikahi puteri Nabi Syuaib. Karena itu mas
kawinnya adalah kesediaan Musa untuk tinggal bersama mereka serta menggembalakan
domba serta bercocok tanam untuk keluarga Nabi Syuaib selama delapan tahun. Bahkan
kemudian ia menggenapkannya menjadi 10 tahun.
Dalam Islam disebutkan
bahwa mas kawin sebaiknya memang yang mudah dan tidak memberatkan. Mas kawin
mengandung makna penghargaan kepada wanita.
Mas kawin adalah harta atau pekerjaan yang diberikan oleh
seorang laki-laki kepada seorang perempuan sebagai pengganti dalam sebuah
pernikahan menurut kerelaan dan kesepakatan. Dalam bahasa Arab, mas kawin
sering disebut dengan istilah mahar,
shadaq, faridhah dan ajr. Mahar
secara bahasa berarti pandai, mahir, karena dengan menikah dan membayar mas
kawin, pada hakikatnya laki-laki tersebut sudah pandai dan mahir dalam urusan
rumah tangga dan kehidupan.
Sementara, shadaq
berarti jujur. Dengan membayar mas kawin
mengisyaratkan kejujuran dan kesungguhan si laki-laki untuk menikahi seorang
wanita. Mas kawin disebut juga dengan faridhah
yang berarti kewajiban. Yakni kewajiban seorang laki-laki yang hendak menikahi
seorang wanita. Istilah lain adalah ajran
yang berarti upah. Secara simbolis, mas kawin adalah upah atau ongkos untuk
dapat menggauli isterinya secara halal.
Alasan ke-85: Karena bekerja menjadi petani dan pedagang yang jujur sangat
dipuji nabi.
Berdagang, membeli sesuatu dan lalu menjualkannya, atau
dalam sastra Melayu sering dibilang menjadi ”saudagar”; janganlah diremehkan. Abu Said meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah
berkata, Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukan dalam golongan
para nabi, shiddiqien dan syuhada [i]. Namun, di kesempatan lain nabi memperingatkan bahwa
pasar adalah tempat dimana kita harus berhati-hati. Menjadi pedagang memang
tidaklah mudah, apapalagi menjadi pedagang jujur. Rasulullah tahu benar hal ini
karena ia adalah seorang pedagang.
Abdullah bin Umar adalah pedagang yang sukses, demikian
pula Abu Bakar, Umar dan Utsman yang kekayaannya diperolehnya dari berdagang.
Mereka menginfakkan sepertiga, separuh, bahkan seluruh harta untuk Islam.
Abdurrahman bin Auf adalah sahabat nabi yang disebutkan satu dari 10 sahabat
yang dijamin masuk surga. Ia seorang pedagang yang sukses, dan saat berhijrah
ia meninggalkan semua harta yang telah ia usahakan sekian lama. Namun saat
telah di Madinah pun beliau kembali menjadi seorang yang kaya raya. Saat
meninggal, wasiat beliau adalah agar setiap peserta perang Badar yang masih
hidup mendapat empat ratus dinar.
Golongan orang yang masuk surga tanpa hisab adalah ulama,
orang kaya yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, mujahadah yang mati syahid
dan haji mabrur. Dikisahkan, ketika dipersilahkan masuk ke surga lebih dahulu,
haji mabrur menolak dengan alasan harus ulama dahulu karena ia mengetahui
hukum-hukum haji dari gurunya yang seorang ulama. Begitu pula mujahid, ia tidak
akan mengetahui keutamaan jihad kalau tidak ada ulama yang mengajarkannya.
Tetapi ketika ulama dipersilahkan, ia malah mempersilahkan orang kaya karena ia
menganggap jika tidak karena bantuannya misalnya bangunan-bangunan islami yang
dibiayai oleh orang kaya, si ulama tidak mungkin dapat berdakwah.
Alasan ke-86: Ibadah ritual dan kesalehan hidup tidaklah berbeda
Tidaklah perlu
membedakan atau mendikotomikan antara kesalehan dalam ibadah ritual dengan
kesalehan dalam bekerja mencari nafkah. Keduanya tidak terpisahkan ibarat dua
sisi mata uang. Tidak satu lebih mulia dari yang lain, pula tidak satu lebih hina
dari yang lain.
Tampaknya, inilah
point yang diperjuangkan organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini berdiri 18
November 1912 atas prakarsa Muhammad Darwisy atau yang kita kinal dengan KH
Ahmad Dahlan. Saat ini, Muhammadiyah mengelola lebih dari 12 ribu sekolah, 167
perguruan tinggi, 345 rumah sakit, ratusan panti asuhan, ratusan balai
pengobatan, serta Bank Perkreditan Rakyat. Untuk menciptakan khayru ummah, ia berupaya memajukan
ummat dalam bidang agama sekaligus pendidikan, ekonomi, dan politik. Visinya
adalah bagaimana Islam hadir dalam kehidupan nyata, yang hanya dapat dicapai
melalui kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Mereka mendeklarasikan manifesto
amaliah.
Himbauan Ketua
Forum Komunikasi dan Informasi Pesantren Berbasis Agribisnis berikut layak kita
catat [17]:
“Saya mengajak pondok-pondok agar juga
memikirkan dunia. Al-quran mengajarkan menata dunia dulu baru akhirat”. Dengan
sikap seperti ini, KH Abdul Ghofur sebagai pemimpin pondok telah berhasil
memasarkan mengkudu sampai ke Jepang, memiliki pabrik pupuk fosfat, dolomit,
dan NPK, serta juga memperoleh penghargaan Kalpataru dan UKM terbaik tahun 2007
versi Bisnis Indonesia Award.
Alasan ke-87: Karena kaya
merupakan jalan untuk beribadah lebih banyak
Dari Abi
Abdillah Tsauban bin Bujdad, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Dinar
yang paling utama yang dibelanjakan seseorang adalah dinar yang ia
belanjakan untuk keluarganya, dinar yang ia belanjakan untuk kendaraannya di
jalan Allah, dan dinar yang ia infakkan untuk rekan-rekannya (yang tengah
berjuang) di jalan Allah[18]”.
Tambahan lain: ”Dinar yang engkau
infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk (mememerdekakan)
hamba sahaya, dinar yang engkau infakkan kepada orang miskin, dan dinar yang
engkau infakkan untuk keluarga, yang paling utama di antara semua itu adalah
dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu [19]”.
Dengan
banyak harta terbuka lebar pintu untuk berbuat baik. Bagaimana mungkin kita
dapat berinfak dengan harta jika kita tidak memilikinya. Berkenaan dengan
jihad, dalam ayat-ayat Al Quran selalu disandingkan antara kewajiban berjihad
dengan jiwa dan dengan dengan harta. Namun, ada kalanya harta lebih didahulukan
(misalnya pada surat Ash Shaf: 11), dan adakalanya jiwa didahulukan (At Taubah:
111).
Harta bersifat netral. Miskin atau kaya karena harta,
dua-duanya dapat membuat orang masuk neraka atau surga. Dan Kami coba kalian dengan keburukan dan kebaikan, (semuanya) sebagai
ujian (Al Anbiya: 35). Jangan salahkan harta, salahkanlah sikap anda dalam
memandangnya. Islam menganggap harta sebagai anugerah dari Allah. Nabi
Muhammad saat menikah dengan Siti Khadijah telah cukup kaya untuk meminangnya.
Hari Subagya[20], seorang motivator ulung, pernah mengadakan survey kecil-kecilan,
menanyakan kesan beberapa orang tentang orang kaya. Ketika ditanyakan kepada tukang
ojek, tukang siomay, abang becak, serta para pedagang asongan; jawaban mereka
adalah orang kaya itu capek, pelit, egois, susah masuk surga, ribet, ngoyo,
tidak bisa main catur dipinggir jalan, rakus, serakah, dan koruptor. Sebaliknya, ketika pertanyaan sama ditanyakan
kepada para orang kaya, jawabannya sangat berbeda: orang kaya itu bisa berbuat
banyak, memiliki manfaat bagi sekitar, sehat, bersih dan nyaman, bahagia bisa
jalan-jalan, bebas, dermawan, bisa naik haji, bisa memperkerjakan orang banyak,
dan dihormati orang.
Menurut penulisnya, inti perosalannya adalah orang kaya memiliki pendapat positif terhadap
materi atau harta. Karena itulah mereka lebih mudah mencapainya. Sebaliknya,
mereka yang sudah terlanjur negatif terhadap materi, akan sangat sulit
mencapainya.
Jadi, untuk kaya kita perlu berfikir positif terhadap kaya
itu sendiri. Untuk memotivasi kita, Hari Subagya mengingatkan kita untuk selalu
bertanya: apakah baik bisa membayar uang
sekolah anak-anak? Uang kuliah anak-anak? Apakah baik bisa pergi haji? Apakah baik bisa membantu tetangga yang
sedang membutuhkan? Apakah baik bisa
menolong lebih banyak lagi manusia?
Akar masalahnya
mungkin karena banyak kita yang menyepelekan hablumminannas. Kita terlalu sibuk dengan relasi yang menurut kita
vertikal, dan merasa Allah begitu butuh kita. Jangan pandang sebelah mata
relasi dengan kerabat, kawan, tetangga, manusia. Dalam hadits-hadits tersebar anjuran betapa pentingnya
hubungan kekeluargaan dan silaturrahmi[21].
Dan mendamaikan perselisihan[22]. Tidak
akan masuk syurga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturrahmi)
[23].
Dari Ibnu Umar: Seorang muslim itu adalah
saudara bagi muslim lain. ... barang siapa yang mampu memenuhi hajat
saudaranya, maka Allah pun akan berkenan memenuhi hajatnya. Barang siapa yang
melapangkan satu kesusahan kepada seorang muslim, maka Allah akan melapangkan
salah satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat nanti. Barang
siapa yang menutup aib seseorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada
hari kiamat nanti [24].
Kata ustadz dimana saya berguru: hubungan dengan Allah dibangun atas begitu
luas pemakluman, namun hubungan dengan manusia begitu ketat. Nah, selama ini
kupikir kita agak terbalik memahaminya.
Alasan ke-88: Agar bisa berzakat kita harus berharta cukup
Untuk
beribadah maghdah kita harus berharta, terutama untuk berzakat. Ada sedikit kekeliruan tampaknya selama ini, dimana kewajiban
zakat sering dipahami hanya bila kita punya harta. Meskipun secara fiqih pemahaman tersebut benar, namun
semangatnya adalah carilah uang dan kumpulkanlah harta sehingga kita dapat
melaksanakan zakat. Anda harus berzakat, untuk itu anda harus punya harta ! Zakat
anda semakin besar jika anda kaya. Dan, Allah tahu pasti, anda bisa kaya.
Menunaikan
zakat dan mendirikan shalat selalu hadir bersamaan dalam banyak ayat di Al Quran.
Untuk shalat pun kita pun harus berharta. Kita perlu uang untuk membeli penutup
aurat yang bersih dan pantas.
Sedekah
juga memiliki kekuatan yang luar biasa. Dalam Alquran dijelaskan bahwa siapa
yang menyisihkan sebagian harta untuk dinafkahkan di jalan Allah, ia akan
dikaruniai kelapangan hidup dan rezeki lebih banyak. Itulah janji Allah, dan
Allah tidak akan pernah ingkar janji.
Alasan ke-89: Menjadi saleh dan taqwa tidak selalu harus dalam papa,
melarat, dan sengsara.
Tanpa
sadar kita sering digiring untuk merumuskan bahwa hanya orang miskin yang bisa
bertakwa dengan nyaman. Ini kukira pengaruh dari cerita-cerita rakyat, dimana
orang miskin selalu digambarkan baik hati, sabar, penolong, dan ideal.
Padahal, orang
kaya justeru lebih mungkin lagi bertakwa. Orang yang saleh bukanlah orang
memilih meninggalkan harta, melainkan yang lulus dalam ujian mengelola harta
itu. Seseorang dianggap lulus ujian dalam urusan harta manakala memperoleh
hartanya dengan cara halal, harta tidak menjadikannya sombong, harta menjadi
fasilitas untuk mendekatkan diri pada Allah, menjadi fasilitas untuk
silaturrahim, dan menjadi fasilitas untuk perjuangan.
Pada hari
kiamat, setiap orang akan diminta pertanggungjawaban terkait dengan hartanya,
dari manakah ia memperolehnya dan dengan cara apa. Doa akan makbul apabila
harta yan kita makan halal. Rasulullah saw bersabda: Sebaik-baik harta yang saleh adalah yang ada pada orang saleh.
Beliau juga memerintahkan kepada kita “Jauhkanlah
dirimu dari neraka walau dengan hanya sebuah kurma.”
Perihal ”miskin namun baik” terkait dengan konsep
asketisme. Istilah asketisme berasal dari bahasa Yunani ascesis yang
berarti latihan keras, disiplin diri, atau pengendalian diri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
asketisme diberi arti ”paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan
kerelaan berkorban” [25].
Dalam khazanah tasawuf, asketisme dikenal dengan istilah zuhud, yakni
meninggalkan kesenangan dan kemewahan duniawi. Asketisme (zuhud) dapat dimakani
sebagai tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya atau menahan diri
dari kesenangan dunia [26].
Hampir semua agama dan kebudayaan terdapat ide dan
praksis asketis. Dalam kebudayaan kuno terdapat latihan-latihan tertentu untuk
memasuki kehidupan pernikahan. Latihan-latihan
diberikan supaya orang yang dilatih tersebut dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan baru. Latihan-latihan tersebut diberi nama “askese”. Di dalam
kebudayaan dan agama India dan Persia, bentuk-bentuk asketisme telah lama diterima.
Bahkan di India, ide dan praksis askese telah lama dikenal dan sangat luas
diterapkan. Konsepsi dasar India tentang asketisme ialah keinginan melepaskan
diri dari samsara, suatu
lingkaran yang menguasai kehidupan manusia. Sistem askese adalah esensi dari
Brahmanisme dan Buddhisme, dua cabang agama India yang dalam banyak hal
berhubungan satu dengan yang lain. Asketisme model India tampaknya merupakan asketisme
ekstrem yang memandang tubuh sebagai jahat.
Ide dan praksis puasa, penyesalan diri, penyiksaan
diri, dan larangan seks yang terdapat dalam sebagian tradisi Yudaisme, tidak
dapat disebut sebagai askese, karena hal itu mereka lakukan bukan sebagai
latihan yang dilakukan secara sadar untuk mengendalikan tubuh dan jiwa,
melainkan sebagai peraturan yang dilakukan dengan keterpaksaan. Ide dan praksis
askese dalam kehidupan umat Israel timbul dalam perjumpaannya dengan agama
Timur dan kebudayaan Yunani. Tokoh yang memadukan Yudaisme dengan kebudayaan
Yunani ialah Philo dari Aleksandria. Philo memperkenalkan dualisme antara Tuhan
dan dunia yang dijembatani oleh Logos. Dualisme tubuh dan roh dijembatani
dengan hidup merenung, dan dengan itu roh akan dibebaskan dari tubuh dan naik
ke tingkat Illahi. Philo juga melaporkan tentang kaum Eseni yang menunjukkan
kehidupan askese, seperti tampak pada makanan dan pakaian Yohanes Pembaptis.
Kembali ke soal harta, begitu banyak
kebaikan yang bisa dicapai dengan harta. Infaq kepada kerabat merupakan laku
yang jauh lebih terpuji. Shadaqah kepada
orang misikin adalah satu shadaqah dan shadaqah kepada orang yang punya
hubungan rahim (kerabat) adalah dua shadaqah: shadaqah dan shilah
(menyambungkan) [27]. Untuk
mendatangi saudara dan kerabat dan bersedekah, kita perlu biaya, kita perlu
berharta.
Islam akan
sulit ditegakkan tanpa dukungan finansial (malliyah).
Orang kufur yang kuat karena kaya harus dihadapi dengan imbangannya. Jadi,
Islam tidak memusuhi harta juga tidak mengajarkan umat Islam memusuhi orang
kaya. Pintu surga terbuka lebih lebar bagi orang kaya. So, kenapa takut kaya?
Islam telah memperingatkan akan bahaya kemiskinan. Sabda
nabi: Kemiskinan hampir-hampir
mendekatkan orang kepada kekufuran. Nabi juga biasa berdoa: “Ya Allah, lindungilah dan tolonglah saya
untuk menghindari ketidakmampuan dan kemalasan, ketakutan dan ketamakan;
lindungilah dan tolonglah saya untuk menghindari kemiskinan, kekufuran dan
perilaku yang salah. Ya Allah, saya berharap kiranya Engkau memberi petunjuk
kepada saya ke jalan-Mu, memberikan rasa cinta kepada dan takut terhadap-Mu,
membuat saya puas dengan apa yang Engkau berikan kepada saya, dan berikanlah
kepada saya kecukupan.” Doa tersebut menunjukkan sikap positif terhadap
harta.
Alasan ke-90: Karena menikmati harta sewajarnya bukanlah dosa
Menikmati harta yang merupakan hasil jerih payah bekerja
dibolehkan, asal tidak berlebih-lebihan dan tidak menimbulkan keburukan. Nabi
bersabda: Tuhan senang dengan hamba-Nya
yang menunjukkan tanda-tanda atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya kepadanya
dalam kehidupannya. Nabi bersabda pula: Hartamu
adalah apa yang kamu pergunakan dan harta ahli warismu adalah yang tidak kamu
pergunakan. Tidak ada sedikit pun
diantara yang kamu punyai benar-benar jadi milikmu kecuali yang kamu makan dan
gunakan habis, yang kamu pakai dan kamu tanggalkan, dan yang kamu belanjakan untuk
kepentingan bersedekah, yang imbalan pahalanya kamu simpan untukmu [28].
Kalau pecinta
dunia mencari dunia untuk kepuasan dirinya, pecinta Allah mencari dunia untuk
mendapatkan kedekatan dengan Allah. Kita kejar dunia dengan bersimbah peluh,
mandi keringat, peras otak, susun strategi, bangun jaringan, dan seterusnya; tapi kepuasan muslim bukan ketika terkumpulnya
uang. Kebahagiaan sejati adalah ketika orang yang lapar bisa makan dengan
bekerja pada perusahaan kita, terangkatnya martabat pekerja tersebut di
masyarakat, dan karena mereka mampu
menghidupi keluarganya. Nikmati harta secukupnya dan sewajarnya, selebihnya
sedekahkan. Itulah si the best.
Alasan ke-91: Karena ilmu lebih utama dari harta
Selain harta, kerja juga menghasilkan ilmu. Ilmu adalah hasil
dari kerja belajar. Keutamaan ilmu misalnya dapat dilihat pada Surat Al Mujaadilah:
11, dimana orang yang berilmu ditinggikan
beberapa derajat. Khalifah Ali bin Abi Thalib
mengatakan bahwa ada sepuluh kelebihan ilmu dibanding harta, yaitu: ilmu adalah
warisan para nabi, menjaga orang yang mempunyainya sedangkan harta harus kita jaga,
banyak teman, jika diberikan ke orang lain malah bertambah, sering dipanggil dengan
sebutan baik, menerima syafaat di hari kiamat, ilmu
apabila disimpan tidak habis, tidak usah dijaga dari kejahatan, tidak membutuhkan
tempat, dan ilmu akan menyinari hati manusia menjadi terang dan tenteram. Dari Abu Hurairah RA: Sesungguhnya
Rasulullah telah bersabda, ”Barangsiapa yang menempuh suatu jalan bepergian
mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga”.
Allah akan
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa
tingkat. Oleh karenanya Allah menyuruh manusia menggali ilmu pengetahuan,
membentuk majelis taklim, membaca ayat-ayat Allah baik ayat yang tertulis
maupun tidak. Dalam surat Al Alaq: 1, Iqra’
bismirobbikalladzii khalaq, diperintahkan kepada kita untuk membaca
ayat-ayat Allah. Mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik ilmu
agama atau pun bukan. Ilmu akan menambah keimanan kita. Semakin dalam kita menggali
ilmu semakin bertambah ketakjuban kita pada Allah. Dalam satu hadits saya
pernah baca, orang yang pergi berangkat untuk mencari ilmu nilainya setinggi
berjihad. Jika ia mati dalam menuntut ilmu, insyaallah ia pun sahid.
Al Quran adalah buku ilmu pengetahuan. Hal ini misalnya
terbukti dari teori ledakan besar. Para ilmuwan akhirnya sepakat bahwa seluruh
alam ini bermula dari suatu titik tunggal yang sangat kecil tetapi mempunyai
kepadatan tak terbatas. Titik ini lalu meledak dan melemparkan semua material
ke segala arah dan terciptalah sistem alam semesta.
Ini sebenarnya telah disebutkan dalam surat Al Anbiya: 30, Dan apakah orang-orang kafir itu tidak mengetahui bahwa langit dan bumi
itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya.
*****
[1]
Afzalurrahman. 2000. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Penerbit Yayasan Swarna
Bhumy. hal 288.
[2] Dr. hamid Ahmad Ath-Thahir.
2006. Kisah-kisah dalam Al-Quran untuk anak. Irsyad Baitus Salam, Bandung.
“Kisah Musa dan Qorun”.
[3] Lebih jauh tentang ini dapat
ditelusuri dalam buku Syuaibi berjudul ”Muhammad Seorang Milyuner?”.
[5] Afzalurrahman. 2000. Muhammad Sebagai Seorang
Pedagang (Muhammad as Trader). Penerbit Yayasan Swarna Bhumy, Jakarta.
[6] Hadits ke-902 diriwayatkan oleh Ibnu Abbas R.A.
[7] Gunawan Muhammad dalam “Oklamoha”. Catatan Pinggir Tempo, 20
Januari 2002.
[8] Hal ini telah saya
publikasikan dalam Syahyuti. 2006. Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah
menurut Hukum Adat di Indonesia. Majalah Forum Agro Ekonomi Vol. 24 No. 1 tahun
2006.
[9] Syahyuti. 2002. Pembentukan
Struktur Agraria: studi kasus pada masyarakat pinggiran hutan di Kec. Palolo,
Kab. Donggala, Sulteng. Tesis pada Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan di IPB
Bogor.
[10] Afzalurrahman. 2000. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Muhammad as Trader). Penerbit Yayasan
Swarna Bhumy,
Jakarta.
[11] Amartya Sen. 1981. Proverty and Famines: An Essay on
Entitlement and Deprivation.
[13] Ismoko Widjaya dan Beno Junianto. 2 Februari 2009. Ikut
Aliran Sesat karena Faktor Ekonomi. http://nasional.vivanews.com/...
[14] Kemiskinan Munculkan Aliran Sesat. Harian Umum Pelita, 4
Agustus 2009. http://www.hupelita.com/...
Juga dalam http://mimbarjumat.com/archives/104
[15] Abu Rokhmad. 16 September 2005. Aliran Sesat dan
Hegemoni Ortodoksi. http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/16/opi3.htm
[17] “Dari Paciran menembus Jepang:
Yayasan dan Ponpes Sunan Drajat”. Harian Kompas, 7 Oktober 2007.
[18] Hadits riwayat HR Imam Muslim.
[19] Hadits riwayat HR Imam Muslim.
[20] Hari Subagya. 26
Agustus 2009. Time to Change: Question
and Answer. Ebook
gratis, download dari: http://www.harisubagya.com/hadiah.html
[21] Al-Bayan. 2007. Shahih Bukhari
Muslim. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Editor:
Hendra S dan Tim Redaksi JABAL. Penerbit JABAL, Bandung Hal 462 hadist no 1506,
1507 dan 1508
[22] Al-Bayan. 2007. Hal 467, hadits
no 1527.
[23] Al-Bayan. 2007. Hal 462, hadits
no 1507.
[24] Al-Bayan. 2007. Hal 465 hadits
no 1519.
[25] Dalam buku Joeleonhart, 2008
hal 7.
[26] Prof. Dr. M Solihin, Mag. Fatwa MUI versus Asketisme Politik. Harian Umum Republika, 6 Februari 2009.
[27] Hadits riwayat HR Tirmidzi.
[28] Hadits rilayat Muslim dan Ahmad.