Selasa, 05 April 2016

Kerja Keras adalah Modal Dasar Peradaban




Alasan ke-51: Karena hanya dengan bekerja keras kita dapat mendahului yang lain
Tengoklah kisah si maestro Bill Gates and Paul Allen. Pada saat itu sekolah Lakeside baru saja membeli satu unit komputer. Ini tentu kejadian yang biasa yang juga terjadi di sekolah manapun.   Bedanya adalah, hanya dalam waktu seminggu, Bill Gates, Paul Allen dan beberapa siswa lainnya (sebagian besar nantinya menjadi programmer pertama Microsoft) sudah menghabiskan semua jam pelajaran komputer untuk satu tahun dengan mengeksplorasi komputer sekolah tersebut. Tidak lama kemudian mereka mendirikan perusahaan perangkat lunak. Mereka mempunyai mimpi tersedianya sebuah komputer di setiap meja tulis dan di setiap rumah tangga. Hasilnya kita bisa buktikan saat ini, dimana PC telah menjadi benda sehari-hari biasa. Hasil lainnya, Bill Gates menjadi orang terkaya di dunia.
Dalam salah satu situs[1] disebutkan “Bill strongly believes in hard work. He believes that if you are intelligent and know how to apply your intelligence, you can achieve anything. From childhood Bill was ambitious, intelligent and competitive”. Inilah yang membantu pencapaian posisinya.  Karena tak puas dengan metoda sekolah biasa, ia banyak kursus di luar  dan belajar bersama teman-teman membentuk Programmers Group tahun 1968. Melalui media inilah ia bisa melaju lebih cepat dibandingkan rekan-rekan  sebayanya. Namun, kuncinya tetap pada kerja  keras. “Bill Gates worked really hard in the early days, so now he deserves his fortune” [2].
Tekad yang diucapkan tokoh Said dalam novel Negeri Lima Menara relevan pula.Aku akan berjuang di atas rata-rat yang dilakukan orang lain. Yang membedakan orang sukses dan tidak adalah usaha. Perbedaan antara juara satu lari 100 meter dunia hanya 0,01 detik. Jarak juara renang dengan saingannya mungkin hanya satu ruas jari. Jadi, untuk menjadi juara dan sukses, kita hanya butuh usaha sedikit lebih baik dari orang kebanyakan [3]”. Semangat yang menjadi pembakar mereka adalah ungkapan dalam bahasa Arab man jadda wajada (= siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil).
Alasan ke-52: Karena kerja keras dan kesuksesan tidak mengenal usia
Sebagai teladan, kita bisa contoh kegigihan Kolonel Sanders. Ialah pendiri waralaba ayam goreng terkenal KFC (Kentucky Fried Chicken) yang memulai usahanya di usia 66 tahun [4]. Saat itu, pensiunan angkatan darat Amerika ini tidak memiliki uang sepeser pun kecuali dari tunjangan hari tuanya. Namun dia memiliki keahlian dalam memasak. Ia menawarkan resep masakannya ke lebih dari 1.000 restoran di negaranya tanpa lelah. Pada akhirnya jalan telah terbuka baginya.
Contoh lain adalah Raymond Kroc yang memulai usaha Fastfood McDonald di usia 52 tahun [5]. Di tahun 1954, ia hanya seorang salesman mesin susu kocok. Ketika melihat kios hamburger di San Bernardino, California, ia membayangkan bahwa fast food akan menjadi sebuah industri baru yang besar. Raymond Kroc lalu mendirikan McDonald’s Corporation, dan membuktikan dirinya sebagai seorang pelopor industri yang tidak kalah kemampuannya dengan Henry Ford. Dia merevolusikan industri restoran dengan memberlakukan disiplin atas produksi hamburger, kentang goreng, dan susu kocok. Dengan mengembangkan sistem operasi dan pelayanan yang efisien, dia memastikan bahwa kentang goreng yang dibeli pelanggan di kawasan Puncak Bogor akan sama persis dengan yang dibeli di New York.
Ray Kroc telah menciptakan salah satu merek yang paling kuat sepanjang masa. Fenomena ini mewakili fenomena baru industri makanan cepat saji sehingga menghasilkan satu gaya hidup. Oleh sosiolog George Ritzer hal ini disebut fenomena McDonaldization. Istilah ini populer dari bukunya “The McDonaldization of Society” terbit tahun 1993 yang merupakan sebuah telaah sosiologi konsumen. Pendiri restoran ini dinilai telah menjadi pelopor karakter makanan cepat saji di dunia dengan menerapkan rasionalitas dan menajemen saintifik.
Jika Max Weber menggunakan birokrasi sebagai model untuk representasi perubahan dalam masyarakat, Ritzer melihat fast-food restaurant sebagai representatif perubahan masyarakat kontemporer. George Ritzer menganalogikan McDonalisasi untuk menggambarkan proses rasionalisasi pada masyarakat dari sosiologi konsumen dengan ciri cepat dan efisien, semua bisa dikalkulasi, predictable, dan uniformity.
Pertumbuhan perusahaan yang spektakuler datang dari pemberlakuan standar yang keras di seluruh sistem. McDonal telah mengubah lansekap budaya bangsa dan menempa sebuah industri yang termasuk di kalangan ekspor Amerika yang terbesar. Keberhasilan McDonald ditiru secara luas bahkan oleh manajer dan eksekutif bidang apapun yang berusaha mencapai efisiensi maksimal. Prinsip dasar pelayanan yang dijalankan adalah dengan memecah-mecah pekerjaan menjadi bagian-bagian, dan kemudian terus-menerus merakitnya kembali dan menyempurnakan banyak langkah sampai sistem berjalan tanpa kendala. Sebagaimana kata Kroc: “Kesempurnaan sulit sekali dicapai, namun kesempurnaanlah yang saya inginkan dalam McDonald’s”. Untuk itu, ia merasa perlu memiliki laboratorium penelitian dan pengembangan untuk mengembangkan mekanisme memasak, membekukan, menyimpan, dan menyajikan secara efisien.
Alasan ke-53: Karena inti kehidupan adalah gerak, dan inti ibadah juga gerak.
Dunia hidup karena gerak oleh seluruh isinya. Bukan sekedar gerak, tapi gerak yang berkeringat, yang bersusah payah. Ali Shari’ati, seorang doktor sosiologi dan filsafat alumni Perancis yang aktif dalam pergerakan revolusi Iran tahun 70-an, menyingkap pertanyaan kenapa hijrah itu begitu penting.  Mengapa tahun Islam dimulai dari saat nabi hijrah, bukan dari tahun kelahiran nabi ? Ternyata hijrah (pindah, migrasi) tidak hanya merupakan fenomena geografis dan politik, tapi secara sosiologis hijrah itu merupakan fenomena fundamental dalam kemajuan peradaban. Setiap kemajuan peradaban, dari Summeria sampai dengan Amerika, selalu diawali dengan peristiwa hijrah. Dan, tak satu pun suku-suku yang menetap (tidak berhijrah) bisa mencapai kemajuan dalam peradabannya. Tidak hanya itu, siapa yang rajin berhijrah, berpergian, bertualang, dan semacamnya; maka ia diakui dan dihargai. Lihat Inggris yang lalu bahasanya menjadi bahasa dunia.
Banyak tulisan yang menyebut, kita, dan masyarakat Timur umumnya, dari akar kulturnya kurang senang dengan kerja keras. Salah satunya, hal ini tergambar dari bahasa kita. Dalam satu tulisannya, ahli bahasa Samsudin Berlian [i] menyebutkan bahwa jika di negeri sana mereka menggunakan ”runs” untuk sesuatu yang bekerja, kita hanya menggunakan kata ”berjalan”. ”She runs for election”: digunakan untuk menggambarkan seorang kandidat presiden  harus berkerja keras agar menang dalam Pemilu. Run digunakan untuk sesuatu yang aktif, berfungsi, berdampak, dan efektif. The system is running bermakna sistem bersangkutan telah memberikan hasil. Ini semua menuntut kerja keras, karena runs (=berlari) jelaslah  suatu aktivitas yang lebih sungguh-sungguh, berkeringat, dan ngos-ngosan.
Uniknya, di Indonesia  run tersebut diterjemahkan menjadi ”berjalan” saja, bukan ”berlari”. The machine is running kita terjemahkan menjadi ”mesin berjalan”. To run the business kita terjemahkan menjadi menjalankan usaha. Justeru, kata “lari” bermakna buruk dalam khasanah bahasa kita. Jika untuk usaha kita analogkan dengan “menjalankan uang”, sedangkan “melarikan uang” bermakna sangat negatif. Menurut penulisnya, ini lebih kurang berarti bahwa untuk hidup kita orang Indonesia tidak usah bekerja terlalu keras.
Selaras dengan ini, kita sering temukan bahwa kata work digunakan cukup luas untuk berbagai situasi. Seorang mahasiswa misalnya menyebut ”I must to work” saat ia mau ke kampus.
Keterpesonaan kita pada kultur Barat, yang memang lebih dalam berbagai hal, telah banyak diungkap. Surat Sutan Sjahrir kepada isterinya yang ditulis di Banda Neira 31 Desember 1936 bisa kita simak. “Barat” bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis. Itulah sifat Faust, sifat yang kusukai, dan aku yakin bahwa hanya Barat – yaitu dalam pengertian ini – yang bisa melepaskan Timur dari perbudakannya.
Barat dalam artian ini lebih kurang adalah kapitalisme dalam wujud spiritnya. Max Weber menyebut spirit itu adalah bekerja keras (hard work), berhemat (thriftiness) dan menunda kenikmatan (deferment of gratification). Waktu adalah uang, bekerjalah dengan giat, berhematlah, tepati waktu, berbuatlah adil, dan mencari uang adalah tujuan yang syah dalam dirinya. Adalah syah pula mengumpulkan keuntungan secara rasional dan sistematis. Semangat ini datang dari calvinisme. Jadi, mohon dibedakan bahwa semangat kapitalisme memang diakui datang dari Calvinisme, namun bukan struktur kapitalisme. Calvinisme bertanggung jawab hanya untuk kapitalisme awal, untuk seterusnya kapitalisme jalan sendiri. Ada yang menyebut, sesungguhnya kapitalisme merupakan konsekwensi tak terduga dari Etika Protestan. Menurut Weber sistem gagasan Protestan melahirkan akibat yang unik di Barat, yaitu merasionalisasi sektor ekonomi dan institusi lain. Namun, sistem agama di luar Barat justeru menciptakan kendala struktural bagi rasionalisasi.
Asketisme duniawi calvinisme tidak menolak dunia. Paham ini memerintahkan bekerja keras untuk menemukan keselamatan, setidaknya tanda-tandanya. Mereka “meninggalkan dunia” dengan menguasai dunia. Bekerja bukan tujuan, tapi tugas etis. Kerja yang tanpa henti, terus menerus, dan sistematis dalam panggilan hidup duniawi adalah sarana tertinggi untuk mencapai asketisisme. Ini berbeda dengan ”asketisisme dunia lain” yang meninggalkan dunia sekuler dengan menahan nafsu. 
Kita sendiri sesungguhnya bagaimana? Pada pertengahan tahun 1970-an, Koentjaraningrat pernah menulis secara populer tentang beberapa sikap mental bangsa Indonesia. Pertama, suka menerabas, yakni tindakan untuk mencapai tujuan sesegera mungkin tanpa berusaha setahap demi setahap. Sifat lain adalah tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, mengingkari janji. Satu dekade kemudian, Mochtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki juga melihat sifat manusia Indonesia yang jauh dari disiplin, tidak bertanggung jawab, serta tidak memiliki rasa penyesalan atau malu ketika berbuat salah. Bahkan, Lubis menambahinya dengan sifat-sifat munafik, otoriter, egoistik, hipokrit, materialistik, mendahulukan prestise daripada prestasi, hipokrit, dan oportunistik [ii]. 
Ini terjadi tampaknya karena nilai budaya kita yang berorientasi vertikal. Orang berkerja untuk ”atas”. Kepercayaan dan pengendalian di antara warganya rendah. Ini bentuk budaya yang berstruktur longgar (loose structure) yang tidak banyak memiliki norma dan mekanisme yang mengatur relasi sosial horizontal untuk  saling mengontrol.
Namun, ahli lain tidaklah semurung itu. Alatas, guru besar sosiologi di Universitas Nasional Singapura, dalam buku “Mitos Pribumi Malas” yang meneliti orang Jawa, Melayu, dan Filipina dalam era kapitalisme kolonial abad ke-16 sampai ke-20; menyebut ini hanya mitos yang sengaja dihidupkan penjajah[iii]. Mitos bahwa kita pemalas disebarkan oleh kaum penjajah di seluruh wilayah Eropa. Orang-orang pribumi dari ketiga daerah jajahan ini digambarkan sebagai orang lamban, dungu, terbelakang, curang, berinteligensi tidak lebih dari anak-anak umur 12-14 di Eropa. Citra ini dipaparkan dalam tulisan para pengarang, administrator, dan pengunjung di antara kaum penjajah secara terus-menerus, sehingga menjadi mitos di Eropa. Perilaku ini sesungguhnya merupakan refleksi sikap angkuh dan anggapan diri kaum penjajah sebagai ras yang superior di atas kaum pribumi. Selanjutnya, mitos itu diperlukan untuk mengesahkan politik kerja paksa, jual paksa, dan tanam paksa yang mereka terapkan terhadap kaum pribumi di tanahnya masing-masing.
Kaum penjajah tidak berusaha melihat kenyataan bahwa para pribumi itu dengan sendirinya bekerja keras apabila mereka berada dalam keadaan yang mereka rasakan adil dan penuh dengan kemanusiaan. Sikap acuh tak acuh terhadap sistem paksa mereka adalah suatu cara memprotes dari pihak masyarakat pribumi. Sayangnya lagi, citra negatif mengenai masyarakat pribumi itu diperkuat pula oleh golongan elit lokal. Akhirnya, penguasa kolonial asing dan penguasa pribumi bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat atas dasar anggapan bahwa orang-orang pribumi itu malas dan tidak suka bekerja. Mitos ini termakan pula sampai ke era setelah kemerdekaan.
Pada tahun 1971, UMNO menerbitkan brosur “Revolusi Mental” untuk disebarkan kepada para anggotanya. Isi brosur tersebut adalah  agar mereka mengubah cara berpikir dan sikapnya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Menurut brosur partai UMNO itu, masyarakat Melayu kurang berani berjuang demi kebenaran, berwatak fatalistis, tidak berpikir rasional, lebih sering mengikuti perasaan, tidak berdisiplin dan tidak menepati janji atau waktu, ingin lekas kaya tanpa upaya yang memadai, dan seterusnya. Mitos Pribumi Malas ini tampaknya masih hidup di Eropa, dan bahkan di kalangan masyarakat kita sendiri. Demikian kata Alatas.
Perilaku ilmuwan Eropa seperti ini dikritik habis oleh kalangan postkolonialis. Salah satu tokohnya adalah Edward Said seorang filsuf perintis studi poskolonialisme keturunan Palestina lahir tahun 1935. Dalam "Orietalisme", Said, dengan meminjam pendekatan Foucault, membongkar cara pandang dunia Barat atas dunia Timur selama ini yang selalu dalam upaya penguasaan dan penindasan. Barat selalu memandang Timur bermutu lebih rendah, sehingga perlu dijadikan sama dengan Barat yang "lebih maju”. Ini pula yang menjadi basis spirit kalangan developmentalisme.
Menurut kalangan postkolonial, Timur yang dikenal dunia direpresentasikan atau dihadirkan oleh Barat belaka. Lewat tulisan, novel atau karya sastra, kajian disiplin akademik, dan lain-lain; Timur menjadi objek pembacaan, objek pemahaman, objek kajian, objek perjalanan dan objek penulisan dari para penulis Barat. Karena Timur adalah hasil representasi, maka konstruksi ke-Timur-an itu sendiri bukanlah “the real Orient”. Timur adalah entitas yang direpresentasikan dalam sudut pandang, perspektif, kesadaran dan bias ideologi pengamat atau pembaca Barat. Sikap pengetahuan ini diproduksi, disebarkan dan dipelihara melalui sekolah, buku, perpustakaan, produk-produk budaya, dan pemerintah. Begitu pengetahuan tentang Timur diproduksi oleh kalangan Orientalis, ia langsung diafirmasi, diperkuat dan menjadi faktual oleh administrasi kolonial.
Menurut Said, orientalisme adalah doktrin politik yang diarahkan kepada Timur. Timur dihadirkan (direpresentasikan) dalam sifat-sifatnya yang despotik, sensual, pasif, terbelakang, mentalitas menyimpang, dan sebagainya. Pandangan semacam ini sudah terinstitusionalisasi sejak abad ke-18 sebagai satu kebenaran. Konsekuensinya, para pengamat Eropa cenderung rasis, imperialis dan etnosentrik terhadap Timur.


[i] Berlian, Samsudin. ”Bahasa Kampanye” Kompas 10 Juli 2009 hal. 15.
[ii] Dari hasil penelitian mengenai masyarakat Indonesia mutakhir, di antaranya dari Hans-Dieter Ever (2000), Robert Hefner (1999, 2002), Niels Mulder (1999, 2000), Donald K Emerson (2000), Hans Antlaf (2000), Henk Schulte (2002), dan James Siegel (2001), ternyata budaya yang berstruktur longgar dan hubungan sosial yang paternalistik di negeri ini masih menonjol. (Dalam: Budi Radjab. Ketika Budaya Ikut Bersalah. Kompas 7 februari 2009). 
[iii] Selo Soemardjan. Mencegah Timbulnya Mitos Baru. http://majalah.tempointeraktif.com/...... diambil dari buku Syed Hussein Alatas. 1988. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu Dan Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial (1st edition). Penerbit: LP3ES, Jakarta. 358 hal.
Alasan ke-54: Karena para Ilmuwan Islam telah mencontohkan kepada kita sebagai peletak dasar-dasar ilmu modern
Kaisar Hirohito sehabis meledaknya bom hiroshima dan Nagasaki, bertanya kepada pembantunya bukan berapa tentara yang masih hidup, tetapi berapa guru yang masih hidup. Kita lalu bisa menyaksikan bagaimana kemajuan fantastis yang dicapai Jepang dalam tempo teramat pendek. Betapa mereka sangat menghargai guru dan ilmu pengetahuan. Kualitas suatu bangsa dilihat dari kemampuannya menerapkan ilmu pengetahuan mereka, atau pendayagunaan ilmu itu, dalam mengelola alam hingga lebih bermanfaat dan bernilai guna. Inilah indikator utama peradaban.
Sementara saat ini sebagian kita masih cenderung memaknai ilmu sebatas ilmu agama, para ilmuwan muslim sejak dulu telah mendobrak kekakuan ini dengan kerja nyata. Tidak ada larangan untuk mempelajari ilmu apa pun, kecuali ilmu sihir. Kepada siapa berguru pun tidak dibatasi. Rasulullah pernah meminta seorang sahabat untuk mempelajari bahasa orang Yahudi (Ibrani/Hebrew), dan tentu saja gurunya orang Yahudi [9]. Semua ilmu datang dari Allah. Agar menjadi rahmatan lil alamin muslim harus menguasai seluruh ilmu.
Islam bahkan dengan tegas menyebut bahwa mereka yang mati di jalan menuju ilmu, bisa dikategorikan mati syahid. Mereka yang berilmu akan ditinggikan beberapa derajat bersama orang-orang yang beriman (Al Mujadilah: 11). Untuk perintah “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina“, tentu saja maksudnya bukan ilmu agama, tapi ilmu lain semisal keterampilan, sosial masyarakat, bagaimana menata negara, dan ilmu tentang kesehatan dan obat-obatan.
Bagaimana muslim memaknai ilmu, perintah berilmu, dan mengembangkan ilmu telah dibuktikan generasi muslim sebelum kita. Perintah ini  telah melahirkan pakar-pakar ilmu pengetahuan dari kalangan muslim. Ilmu-ilmu tersebut telah menjadi dasar pengetahuan ilmu-ilmu baru.
Dr. Fuat Sezgin, dari Institut Sejarah Sains Arab-Islam, Universitas Johann Wolfgang, Goethe, Frankfurt, Jerman; mengatakan bahwa kehebatan ilmuwan Islam ratusan abad silam adalah kehebatan yang tidak ternilai. Orang-orang Eropa belajar berbagai cabang pengetahuan dari para pakar Islam tersebut.
Di bidang kedokteran, ada Muhammad bin Zakaria  atau dikenal dengan  Al-Razi  ilmuwan kelahiran Iran penemu teknik jahit luka dan orang pertama yang berhasil membedakan antara penyakit cacar dengan campak. Muridnya di antaranya yang sangat terkenal adalah Ibnu Sina.
Di bidang pendidikan ada Al-Amidi yang penemu Huruf Braille. Dunia boleh jadi hanya mengenal Louis Braille (1809-1852) [10] sebagai satu-satunya penemu sistem penulisan bagi kalangan tuna netra. Padahal, 600 tahun sebelum Braille, profesor Ali Ibnu Ahmed Ibnu Yusuf Ibnu Al-Khizr Al-Amidi telah merintis penciptaaan sistem penulisan bagi orang buta itu. Sejak terlahir ia sudah dalam kondisi buta. Keterbatasan ini tak menyurutkan semangatnya untuk belajar dan terus menggali ilmu, sehingga ilmuwan asal Suriah itu pun termasyhur sebagai ahli hukum dan pakar bahasa asing. Keberhasilan Al-Amidi nampaknya musnah dalam huru-hara yang melanda wilayah Irak tahun 1401 M, ketika Kota Baghdad dihancurkan pasukan penyerang.
Di bidang matematika, khususnya algoritma, ditinjau dari asal-usul katanya, kata ”algorism” adalah sebutan untuk cara orang yang menghitung dengan angka Arab, dimana orangnya disebut ”algorist’. Setelah ditelusuri, para ahli sejarah matematika menemukan asal kata tersebut yang berasal dari nama penulis buku Arab terkenal, yaitu Abu Abdullah Muhammad Ibnu Musa Al-Khuwarizmi (770-840 M). Ahli matematika dari Uzbekistan ini di literatur barat lebih terkenal dengan sebutan Algorism. Al-Khuwarizmi juga penemu dari beberapa cabang ilmu matematika yang dikenal sebagai astronomi dan geografi. Teori aljabar juga adalah penemuan dan buah pikiran Al-Khuwarizmi. Nama aljabar diambil dari bukunya yang terkenal dengan judul Al Jabr Wa Al Muqabilah. Ia mengembangkan tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi.
Dia menggunakan pendekatan sistematis dan logis dengan memadukan pengetahuan dari Yunani dengan Hindu ditambah idenya sendiri dalam mengembangkan matematika. Khuwarizmi mengadopsi penggunaan angka nol dalam ilmu aritmetik dan sistem desimal. Selain itu, ia juga memberi sumbangan dalam pembuatan peta dunia.

Alasan ke-55: Karena ilmuwan muslim telah menunjukkan bahwa berkarya nyata itulah amal yang sejati
Ilmuwan-ilmuwan muslim adalah polymath karena menguasai beberapa bidang ilmu sekaligus. Di antaranya adalah Al Khuwarizmi yang menguasai matematika, astronomi, dan geografi; Al Kindi mumpuni dalam bidang filsafat, matematika, kedokteran, fisika, optik, astronomi dan metalurgi; lalu ada Ibnu Sina yang tidak hanya paham tapi menjadi pendiri ilmu kedokteran, matematika, astronomi dan filsafat; serta Ibnu Rushd yang juga menguasai filsafat, hukum, kedokteran, astronomi dan teologi.
Kita mungkin banyak yang belum tahu bahwa peta dunia pertama diciptakan seorang muslim. Dari penelusuran ditemukan bahwa peta dunia terlengkap yang dibuat tahun 1513 disusun oleh seorang pelaut muslim benama Piri Reis. Peta yang dibuat diatas sepotong kulit rusa berukuran 90×65 cm tersebut benar-benar digambarkan lengkap dan cukup detail. Bahkan hasil perbandingan dengan pemotretan dari angkasa luar yang dilakukan menggunakan satelit saat ini memiliki bentuk yang sangat mirip. Ia menyatukan beberapa peta yang dibuat oleh para pelancong dari berbagai negara, yaitu dari 34 sumber yang berbeda. Karya tersebut berasal dari zaman Alexander sebanyak 20 peta, 8 peta dari karya ahli geografi muslim, 4 peta dari Portugis dan 1 peta dari Columbus.
Mulanya para sejahrawan tidak percaya akan bukti keberadaan peta tersebut. Di peta sebelumnya yang terlihat jelas hanyalah kawasan Laut Timur Tengah, sementara kawasan lainnya seperti benua Afrika dan Amerika tergambar sangat berbeda. Baru setelah gambar hasil pemotretan satelit jaman modern ini dipadukan dengan peta kuno karya muslimin bangsa Turki tersebut, sangat nyata kebenarannya bahwa gambar yang ditorehkan dalam kulit tersebut memang sangat detail dan terperinci.
Dari khasanah ilmu eknomi, buku Schumpeter[11] menjelaskan sejarah perkembangan ekonomi yang terjadi di dunia. Hal yang menarik adalah setelah akhir masa keemasan Graceo Roma di abad ke-8 Masehi, sangat sedikit sekali ditemukan pemikiran dan teori ekonomi yang signifikan dihasilkan. Masa ini berjalan hingga abad ke-13 yang ditandai dengan masa St. Aquinas (1225-1274 M). Selama kurang lebih lima abad tersebut, tidak begitu banyak teori dan karya ekonomi yang dihasilkan oleh para pemikir di dunia Barat. Schumpeter menyebutnya sebagai Great Gap (jurang besar ).
Bila diteliti lebih dalam, ternyata kurun tersebut adalah masa kegelapan dunia barat (dark age) terhadap dunia keilmuan dan sains, ketika gereja membatasi ilmuwan berkarya. Bersamaan dengan itu, ternyata abad kegelapan yang dialami oleh dunia Barat justru berbanding terbalik dengan perkembangan keilmuan pada dunia Islam. Pada masa tersebut adalah masa keemasan umat Islam, dimana banyak para ilmuwan muslim berhasil memberikan karya-karya ilmiah yang signifikan, salah satunya dalam perkembangan dunia ilmu ekonomi.
Beberapa ilmuwan muslim bidang ekonomi dengan karya fenomenal di antaranya adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnu Rushd, Ibnu Khaldun, dan Al Ghazali. Ibnu Taimiyyah menelorkan teori yang dikenal dengan price volatility atau naik turunnya harga di pasar yang lalu menjadi dasar hukum permintaan dan penawaran (supply and demand).
Ibnu Rushd [12] disebut menghasilkan sebuah teori dengan memperkenalkan fungsi keempat dari uang yaitu sebagai alat simpanan daya beli dari konsumen, yang menekankan bahwa uang dapat digunakan kapan saja oleh konsumen untuk membeli keperluan hidupnya. Sebelumnya, Aristoteles menyebut fungsi uang hanya tiga, yaitu: sebagai alat tukar, alat untuk mengukur nilai, dan sebagai cadangan untuk konsumsi di masa depan. Lebih jauh, Ibnu Rushd juga membantah Aristoteles tentang teori nilai uang, dimana nilainya tidak boleh berubah-ubah.
Ahli lainnya adalah Ibnu Khaldun yang menghasilkan teori pengembangan dan pembangunan sosial dan ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan. Umer Chapra (2000), menyatakan bahwa Ibnu Khaldun berhasil memberikan pencerahan pada dunia ekonomi, dimana peran negara sangatlah penting dalam pembangunan sosial. Ibnu Khaldun menekankan bahwa syariah tidak akan tegak jika tidak melalui peran negara atau penguasa, sementara negara tidak akan berjalan baik tanpa adanya implementasi hukum syariah. Negara atau pemerintahan tidak akan berjalan baik tanpa adanya khalifah. Keberlangsungan hidup khalifah atau manusia tidak akan berjalan tanpa adanya kapital atau harta (al maal). Harta didapatkan dari pembangunan yang signifikan (imarat), dimana pembangunan tidak akan berjalan tanpa adanya keadilan, dan keadilan adalah salah satu kriteria dalam penghisaban manusia oleh Allah SWT nantinya. Maka, menurut Ibnu Khaldun, penerapan syariah pada negara tidak akan tegak tanpa didasari oleh keadilan di bidang sosial dan ekonomi.
Ibnu Khaldun juga merupakan tokoh utama dalam sosiologi. Di perpustakaan universitas-universitas besar, bukunya ”Al-Muqaddimah” ditempatkan satu rak dengan buku-buku pendiri sosiologi lain. Dalam beberapa hal, pemikirannya sejajar misalnya dengan penjelasan sosiolog klasik Emile Durkheim. Ia menteorikan bagaimana tahapan perkembangan peradaban masyarakat, politik, sifat dan peran berbagai profesi, serta fungsi perdagangan dalam ekonomi masyarakat.
Tokoh selanjutnya adalah Al Ghazali yang menyatakan bahwa kebutuhan hidup manusia terdiri dari tiga, yakni kebutuhan primer (darruriyyah), sekunder (hajiat), dan kebutuhan mewah (takhsiniyyat). Teori hirarki kebutuhan ini kemudian diadopsi William Nassau yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu terdiri dari kebutuhan dasar (necessity), sekunder (decency), dan kebutuhan tersier (luxury).
Sementara, Ibnu Sina atau Avicenna adalah seorang tokoh cendekiawan muslim yang besar di bidang kedokteran, seorang ilmuwan yang magnum opus-nya berjudul Canon (al-Qanun fi al-Tibb) menjadi buku teks kedokteran di universitas-universitas Eropa selama lebih dari 5 abad. Beliau juga seorang geologis. Lahir di daerah Bukhara, Asia Tengah, ia mampu menghafal Al-Qur’an pada usia 10 tahun, dan menjadi dokter di usia 17 tahun. Ibnu Sina sesungguhnya seorang generalis (polymath), dan menyumbang pula untuk penemuan-penemuan lainnya di bidang astronomi, fisika, matematika, kimia dan bahkan musik. Di bidang geologi, temuan Ibnu Sina di bidang mineralogi mengilhami prinsip superposisi yang ditemukan Nicolaus Steno, fisikawan Denmark, tahun 1669.
Ibnu Sina sering berkorespondensi dengan ilmuwan alam terbesar muslim Al-Biruni.  Abu Raihan Muhammad Al-Biruni lahir di daerah Uzbekistan pada tahun 973 Masehi, menulis lebih dari 200 buku hasil pengamatan dan percobaannya, yang setara dengan sebanyak 13 ribu lembar folio. Para ahli sejarah menyebut masa keemasan ilmu pengetahuan saat itu sebagai “abad Al-Biruni”. Di bidang geologi, karya terbesar Al Biruni adalah pada subyek mineralogi, berjudul Gems (Kitab-al-Jamahir). Beliau mendeskripsikan lebih dari 100 mineral lengkap dengan varian, genesa, karakteristik dan nilai ekonomisnya. Beliau pula yang menemukan cara menentukan berat jenis secara akurat untuk 18 jenis mineral penting. Pada subyek geomorfologi, Al-Biruni meneliti karakteristik Sungai Gangga dari sumbernya di pegunungan Himalaya hingga ke Delta Gangga-Brahmaputra di tepi Samudera Hindia.
Di bidang paleontologi, Al-Biruni melakukan pengamatan pada fosil-fosil yang ada di lapisan batuan di India dan menyimpulkan bahwa fosil-fosil tersebut berasal dari laut. Masyarakat Barat di kemudian hari lebih mengenal prinsip ini sebagai yang ditemukan oleh Leonardo da Vinci pada abad ke-16. Al Biruni menghasilkan beragam karya orisinil lainnya di bidang geografi, kartografi, botani, astronomi, fisika, matematika, kedokteran, sosiologi dan ilmu sejarah. Sebagian ahli sejarah bahkan menempatkan Biruni sebagai ilmuwan terbesar dunia sepanjang masa.
Buku karya Al Biruni ”India” (Kitab-al- Hind), yang menjadi rujukan para peneliti India hingga 6 abad setelahnya, disusun melalui risetnya yang pernah tinggal di India selama 20 tahun dan mengupas secara rinci dan masif kondisi geografi, sosial, budaya, bahasa dan keagamaan masyarakat India. Sifat antusiasnya yang sangat besar terhadap ilmu juga tergambar dari ungkapannya bahwa “Allah itu Maha Mengetahui dan tidak menyukai ketidaktahuan”.
Disamping ilmuswan tersebut masih ada lagi Salman Al-Farisi pembuat strategi perang kanal, dan meriam pelontar, Miqdad bin Amru pelopor pasukan kavaleri berkuda modern pertama, Al-Nadim pelopor pembuat ensiklopedi kebudayaan, Ma’mun Ar Rasyid pendiri perpustakaan umum pertama di dunia yang dikenal dengan Darul Hikmah di Baghdad,  Nizam Al-Mulk pelopor pendiri universitas modern pertama di dunia yang dikenal dengan Nizamiyyah,  Al-Ghazali pelopor pembuat klasifikasi fungsi sosial pengetahuan, Al-Khindi ahli ensiklopedi yang mengarang 270 buku, Al-Farabi ahli musik dan filsafat Yunani, Ibnu Thufail dokter dan filosof yang menulis novel filsafat paling awal Risalah Hayy Ibn Yaqzan, Ibnu Al-Muqaffa pengarang kitab ensiklopedia tentang hewan, Abu Wafa’ mengembangan ilmu trigonometri dan geometri bola serta penemu table sinus dan tangen dan variasi dalam gerakan bulan, serta Umar Khayyam yang berhasil memecahkan persamaan pangkat tiga dan empat melalui kerucut-kerucut yang merupakan ilmu aljabar tertinggi dalam matematika modern. Lalu ada lagi Al-Battani ahli astronom yang berhasil menghitung jarak bumi ke matahari, alat ukur gata gravitasi, alat ukur garis lintang dan busur bumi pada globe dengan ketelitian sampai 3 desimal, menerangkan bahwa bumi berputar pada porosnya, mengukur keliling bumi.
Di bidang pertambangan ada Al-Razi yang berhasil mendapatkan cara penyulingan minyak mentah, serta Banu Musa bersaudara pengarang buku Al-Hiyal yang berisikan 100 macam mesin seperti pengisi tangki air otomatis, kincir air dan sistem kanal bawah tanah, teknik pengolahan logam, tambang, lampu tambang, teknik survei dan pembuatan tambang bawah tanah.
Di bidang musik ada Mawsili yang wafat tahun 850 M dan diakui sebagai ahli musik klasik dan dasar-dasar ilmu musik.
Alasan ke-56: Karena ilmuwan muslim telah membukakan mata dan fikiran kita bahwa semua ilmu adalah ilmu Allah
Penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern saat ini, sesungguhnya telah lama ditemukan kaum Muslim. Demikian ujar guru besar Columbia University Prof. Dr. George Saliba, guru besar Universitas Arab dan Islam Universitas Columbia dalam seminar di Government College University (GCU) [13].  Perkembangan ilmiah Islam merupakan hasil interaksi sosial dan kondisi-kondisi politis di dalam masyarakat Islam. Filsafat Islam telah mendorong ilmu pengetahuan dan telah mendukung perkembangan berbagai disiplin-disiplin ilmu. Orientalis asal Skotlandia, William Montgomery Watt, mengatakan bahwa Barat sangat berhutang budi pada Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Islam tidak hanya melahirkan hal-hal yang bersifat teologi saja, tapi lebih dari itu banyak melahirkan nilai-nilai pengetahuan dan peradaban bagi manusia. “…Islam is indeed much more than a system of theology, it is complete civilization[14]. Sementara, Yusuf al-Qardhawi menyebut Islam sebagai suatu agama yang mempunyai karakteristik universal, yang mencakup segala bentuk aktifitas manusia (Shumuliyatu al-Islam) dengan tujuan akhir sebagai rahmatan lil ‘alamin [15]. Islam telah membuktikan bahwa suatu peradaban akan dapat memberikan dampak yang maslahat dan manfaat bila beriringan dengan nilai-nilai moral agama yaitu nilai yang lahir dari keimanan.
Peradaban Islam sesungguhnya penuh semangat eksperimen dan observasi. Ini adalah bidang pekerjaan yang hanya bisa dijalankan bila manusianya punya motivasi tinggi, disiplin, tekun, dan memiliki hasrat untuk menyumbang kepada kemajuan peradaban dunia. Sarjana-sarjana muslim lah yang merintis metode eksperimen dan observasi yang kemudian diadopsi dan diteruskan Barat hingga saat ini.
Sayangnya, kurun yang gemilang ini hanya dimulai sejak masa turun al-Qur’an sampai abad ke-13 M. Yaitu periode sejak masa Nabi Muhammad dan disusul dengan periode Islam klasik yang ditandai dengan kemajuan kegiatan kepustakaan Arab, pendirian tempat-tempat belajar termasuk penerjemahan-penerjemahan bahasa Arab terhadap karya-karya yang terkenal khususnya karya-karya Yunani, serta berbagai hasil pengajaran Islam dan kultur kosmopolitan. Abad-abad ini adalah masa-masa yang gelap bagi Eropa, tapi merupakan abad-abad yang terang bagi dunia peradaban Islam. Peradaban yang dibangun Islam berdiri di atas tiga nilai dasar [16], yaitu nilai universal tentang tiadanya pemisahan antara unsur spiritual dan non-spiritual, nilai iman sebagai pondasi membangun peradaban yang memberi manfaat dan maslahat bagi ummat tanpa batas waktu dan tempat, serta nilai eksperimen dan observasi sebagai implementasi dari konsep fikr dalam memahami segala gejala alam.
Alasan ke-57: Karena amal terwujud bila dipraktekkan, bukan dihafalkan belaka
Mereka semua, para ilmuwan di atas, telah menunjukkan bahwa beriman adalah beramal nyata. Ini sejalan dengan pelajaran KH Ahmad Dahlan kepada santrinya[17]. Di langgar Kidul, Kauman, Yogyakarta, 100 tahun silam, KH Ahmad Dahlan bersila takzim. Belasan santri duduk melingkar menghadap sang kiai. Malam itu, seperti juga pada pengajian sebelumnya. 
Kiai Dahlan lagi-lagi mengajarkan surat Al-Ma'un, yang antara lain berisi
perintah menyantuni yatim piatu dan fakir miskin. Merasa bosan
dengan pelajaran yang itu-itu saja, seorang santri memberanikan diri
bertanya, "Kiai, kenapa tidak ada penambahan pelajaran?" Yang ditanya
malah balik bertanya, "Apakah kamu sudah mengerti betul?" Dengan
suara mantap, sang santri menjawab, "Kita sudah hafal semua, Kiai".
Kiai Dahlan pun balik bertanya, "Kalau sudah hafal, apakah sudah
kamu amalkan?" Santri itu berucap, "Bukankah surat Al-Maun
berulangkali kami baca untuk rangkaian Al-Fatihah di kala shalat."
Jawaban si santri tidak memuaskan sang kiai. "Bukan itu yang saya
maksud. Diamalkan artinya dipraktekkan, dikerjakan!" Kiai Dahlan
menegaskan.
Saat itu pula Kiai Dahlan memerintahkan santrinya berkeliling kampung mencari orang miskin. Kalau sudah ketemu, harus dibawa ke rumah
masing-masing. "Berilah dia sabun yang baik untuk mandi! Berilah
pakaian yang bersih. Berilah makanan dan minuman serta tempat tidur!"
perintahnya. Titah Kiai Dahlan tersebut mengisyaratkan bahwa
Islam bukan hanya ritual ibadah saja. Tapi Islam adalah melakukan, bertindak, dan berbuat; agar  bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.  
Tidak ada iman sejati tanpa tindakan nyata, demikian kata Abul A’la Maududi [18]. Ada dua tingkatan iman, yaitu iman pada tingkat pengakuan dan iman pada tingkat kesetiaan dan aktualisasi. Yang pertama adalah Islam legal dan yang kedua adalah Islam sejati [19]. Lebih bagus kita kutip kalimat ini: ” ketika kita melihat seseorang sejak pagi hingga petang membaca tuntunan Tuhan dalam Al-quran namun tidak pernah mengerahkan dirinya untuk melaksanakannya, menyebut asma Allah beribu kali, shalat tiada henti dan membaca al-quran dengan suara yang indah, .... lalu kita memujinya ’betapa ta’at dan salehnya orang ini’ , kita telah tertipu karena kita tidak memahami makna ibadah dengan benar” [20].
Jauh setelah karya Weber yang pesimis terhadap Islam, muncul beberapa tulisan yang menyebut adanya “etika Protestan” di kalangan Muslim. Di kalangan Muslim Turki misalnya [21], ditemukan sekelompok pengusaha sukses Muslim di satu kawasan. Penulisnya menyebut fenomena ini dengan "Calvinist Islam."
*****


[3] Novel “Negeri Lima Menara” Gramedia Pustaka Utama, 2009. hal 383. Novel ini diangkat dari kisah nyata enam sekawan santri yang berhasil mencapai cita-citanya. Ada yang berhasil sekolah di Mesir, Arab, AS, London, dan menjadi guru sesuai keinginan mereka.
[4] Kisah Sukses Pendiri KFC. February 5, 2008. http://www.karir-up.com/2008/02/kisah-sukses-pendiri-kfc/
[5] Hendriadi 2008. ”Raymond Kroc: MCDonald  King of Fastfood”. http://hendriadi.blogdetik.com/ ……
[6] Berlian, Samsudin. ”Bahasa Kampanye” Kompas 10 Juli 2009 hal. 15.
[7] Dari hasil penelitian mengenai masyarakat Indonesia mutakhir, di antaranya dari Hans-Dieter Ever (2000), Robert Hefner (1999, 2002), Niels Mulder (1999, 2000), Donald K Emerson (2000), Hans Antlaf (2000), Henk Schulte (2002), dan James Siegel (2001), ternyata budaya yang berstruktur longgar dan hubungan sosial yang paternalistik di negeri ini masih menonjol. (Dalam: Budi Radjab. Ketika Budaya Ikut Bersalah. Kompas 7 februari 2009). 
[8] Selo Soemardjan. Mencegah Timbulnya Mitos Baru. http://majalah.tempointeraktif.com/...... diambil dari buku Syed Hussein Alatas. 1988. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu Dan Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial (1st edition). Penerbit: LP3ES, Jakarta. 358 hal.
[10] Braille yang berkebangsaan Prancis dianggap sebagai penemu huruf Braille yang pada usia 15 menciptakannya untuk memudahkan tentara membaca di tempat gelap. Sistem tulisannya terdiri atas 63 karakter, dimana setiap karakter terdiri atas enam titik timbul, yaitu dua titik mendatar dan tiga titik vertikal. Huruf Braille terus disempurnakan, sehingga dapat digunakan untuk membaca nota musik dan matematika bahkan Alquran, dan setiap selnya terdiri atas delapan titik.
[11] Judul: “History of Economic Analysis”, terbit tahun 1954.
[12] Dalam buku Roger E. Backhouse. 2002. The Penguin History of Economic.
[13] Muhammad Ali Utsman. Mayoritas Penemuan Modern Ditemukan Ilmuwan Muslim. Penerbit: Diva Press
[14] HR. Gibb. 1962. Wither Islam. New Jersey: Pricenton University Press.
[15] Yusuf al-Qardhawi. Al-Khasaisu al-Ammah li al-Islam. Terjemahan: Rofi’ Munawar. Karakteristik Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Cet ke-1, hal 117.
[16] Nashir Fahmi.  Pondasi Dasar Peradaban Islam: Sebuah Tinjauan Historis. 3 Desember 2005. http://www.suara-muhammadiyah.or.id/....
[17] Mohammad Nuryazidi. Mencari Akar Kapitalisme dalam Islam Indonesia.   Batam Pos, Jumat, 03 November 2006. http://rajasidi.multiply.com/....
[18] Maududi, Abul A’la. 1985. Menjadi Muslim Sejati. Mitra Pustaka. (bagian Pengantar di tulis oleh Khurram Murad). Hal. 18.
[19] Maududi, Abul A’la. 1985. Hal. 23.
[20] Maududi, Abul A’la. 1985. Hal. 27
[21] Dan Bilefsky. Protestant work ethic in Muslim Turkey: As Central Anatolia booms, opinions differ on the role of Islam in business. Herald Tribune. 15 agustus 2006. http://www.iht.com/articles/2006/08/11/business/wbturkey.php