Sabtu, 23 Januari 2016

Alasan ke-8: Karena bekerja keras adalah kerja yang “lebih”

Kita butuh sikap mental untuk menjadi ”manusia bebas”. Lao Tzu, Father of Taoism berucap: ”... Jika engkau hanya mengerjakan segala sesuatu sebatas apa yang diharapkan darimu, maka engkau tak ubahnya seorang budak. Namun jika engkau mengerjakannya lebih dari yang diharapkan, barulah engkau menjadi manusia bebas.” Jika kita hanya bekerja dan menjalankan tugas kewajiban sebatas yang diharapkan, distandarkan, diminta, maka sesungguhnya kita masih dibatasi dan dikurung oleh batasan-batasan eksternal. Bekerja hanya sebatas memenuhi target dan standar. Secara hakiki, ia dibatasi dan dikendalikan oleh pihak eksternal. Ia hanya menjadi ”budak”. Ia akan menjadi manusia bebas jika mau memberi dan bekerja lebih dari apa yang diharapkan. Manusia bebas telah berani, bersedia, dan mampu menetapkan sendiri batasan-batasan kerja dan hidupnya. Dengan demikian, “karyawan bebas” adalah karyawan yang bekerja melebihi tugasnya tanpa diminta [i].
Sikap bertanggung jawab telah melontarkan nasib seorang tukang pipa (plumber) menjadi manajer. Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman sedang pusing karena pipa keran air di rumahnya bocor, ia takut anaknya yang masih kecil tergelincir dan jatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari, ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran si Bos. Esoknya, sang tukang justru menelepon si bos dan mengucapkan terima kasih. Si Bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima kasih sebab si Bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya sehari lagi. Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali menelepon si Bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun, ia juga kembali mengucapkan terima kasih karena telah  memakai jasanya.
Sang tukang sesungguhnya tidak tahu bahwa kliennya itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman. Karena sang bos demikian terkesan dengan sang tukang, ia akhirnya merekrut tukang itu (Christopher L. Jr) dan akhirnya menjabat GM Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz [ii]. Happy ending.
Christopher melakukan semua itu bukan sekadar tuntutan after sales service atas jasanya sebagai tukang pipa. Jauh lebih penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor, tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya. Christopher telah melihat lebih jauh dari tugasnya.
Kisah lain tentang Mr Lim yang sudah tua dan bekerja ”hanya” sebagai door checker (memeriksa engsel pintu kamar hotel) di sebuah hotel berbintang lima di Singapura. Puluhan tahun ia jalankan pekerjaan membosankan itu dengan sungguh- sungguh, tekun, dan sebaik-baiknya. Ketika ditanya apakah ia tak bosan dengan pekerjaan menjemukan itu, Mr Lim mengatakan, yang bertanya adalah orang yang tidak mengerti tugasnya. Bagi Mr Lim, tugas utamanya bukanlah memeriksa engsel pintu, tetapi memastikan keselamatan dan menjaga nyawa para tamu. Dijelaskan, mayoritas tamu hotelnya adalah manajer senior dan top manajemen. Jika terjadi kebakaran dan ada engsel pintu yang macet, nyawa seorang manajer senior taruhannya. Jika ia meninggal, sebagai decision maker, perusahaannya akan menderita. Jika perusahaannya menderita dan misalnya bangkrut, sekian ribu karyawannya akan menderita. Belum lagi keluarganya, termasuk anak istri manajer itu.
Christoper dan Mr Lim bukan kelas manusia biasa. Mereka jenis ”manusia besar atau manusia berlebih”. Mereka bukan good people, tapi great people. Sikap mental mereka jauh lebih tinggi dari jabatan dan pekerjaan formalnya. Mereka bukan manusia minimalis, yaitu pekerja yang hanya berdasar target kerja atau key performance indicator (KPI) tercapai.  Syarat untuk bisa seperti mereka, anda harus mampu melihat lebih jauh (beyond the job) dan ”memberi lebih” (giving more).



[i] Herry Tjahjono. Corporate Culture Therapist & President The XO Way. “Menjadi Manusia Bebas”. Kompas Sabtu, 3 Januari 2009.
[ii] Herry Tjahjono. Corporate Culture Therapist & President The XO Way, Jakarta. Melihat lebih jauh. Kompas 14 februari 2009.