Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya, di antara perbuatan dosa, ada
yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shalat, sedeqah ataupun haji, namun
hanya dapat ditebus dengan kesungguhan dalam mencari nafkah penghidupan” [i].
Jelaslah, betapa
tingginya kedudukan berkerja dalam Islam, sehingga hanya dengan berkerja keras
(sunguh-sungguh) suatu dosa bisa dihapuskan oleh Allah SWT. Dalam sebuah hadits
Rasul SAW bersabda “Barang siapa pada
malam hari merasakan kelelahan karena berkerja pada siang hari, maka pada malam
itu ia diampuni Allah” [ii].
Selanjutnya: "Barangsiapa yang
diwaktu sorenya merasakan kelelahan karena berkerja, berkarya dengan tangannya,
maka di waktu sore itu pulalah ia terampuni dosanya" [iii].
Alasan ke-29: Karena pekerja keras akan
bertemu Allah dengan wajah berseri-seri
Di dalam satu riwayat disebutkan, bahwa orang yang memiliki profesi halal
dan baik, akan bertemu dengan Allah SWT dengan wajah berseri-seri bagaikan
bulan purnama. Rasulullah bersabda: "Barangsiapa
mencari kehidupan dunia yang halal dan baik, maka ia akan menjumpai Allah SWT
dengan muka berseri-seri bagaikan rembulan purnama" [iv]. Dalam
sebuah hadits riwayat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: ''Siapa mencari dunia secara halal, membanting tulang demi keluarga dan
cinta tetangga, maka pada hari kiamat Allah akan membangkitkannya dengan wajah
berbinar layak rembulan bulan purnama'' [v].
Alasan ke-30: Karena berkerja akan
memudahkan terkabulnya do’a
Do’a akan dikabulkan Allah SWT jika makanan, pakaian, dan rumah yang kita
tempati diperoleh dari jalan yang halal dan baik. Bagaimana cara mendapatkan
itu semua? Tentu saja dengan berkerja yang halal pula.
Untuk dapat harta yang halal tidak bisa malas-malasan atau hanya berkerja
sekedarnya. Orang bilang: ”saat ini,
mencari harta yang haram saja sulit, apalagi yang halal”. Mahatma Gandhi
menandai dengan serius hal ini. Ada tujuh dosa sosial, katanya, satu di
antaranya adalah ”kaya tanpa berkerja”.
Alasan ke-31: Karena berkerja
mendatangkan pahala
Pada suatu hari selepas shalat Jum’at, Khalifah Umar
bertanya kepada sekumpulan jemaah yang bersantai di mesjid: ”Mengapa kamu masih berada di sini? Mereka menjawab: Kami adalah orang yang bertawakal kepada Allah”. Mendengar jawaban
itu, Umar mengusir mereka keluar dari mesjid, sambil berkata: ”Jangan kamu berhenti berkerja untuk mencari
rezeki, sedangkan Dia mengetahui langit belum pernah menurunkan hujan emas atau
hujan perak”. Ini sesuai dengan firman Allah: ”Apabila kamu selesai mengerjakan shalat, bertebaranlah kamu di muka
bumi dan carilah karunia Allah (AI Jumuah: 9).
Alasan ke-32: Karena tawakkal hanya
boleh setelah berusaha sekerasnya
Jangan salah memahami makna tawakkal. Tawakkal sering
disalahartikan sebagai menyerah pasrah tanpa mau berusaha mengubah nasib.
Sebagaimana kata Umar, bahwa "langit tidak menurunkan hujan emas atau
perak." Artinya, tawakkal bukan bermakna kita meninggalkan ikhtiar dan usaha.
Suatu kali seorang pemuda bertamu ke hadapan Rasulullah.
Ketika ia ditanya bagaimana untanya ditambatkan, ia menjawab bahwa ia tidak
mengikatkan talinya karena ia bertawakkal. Sebaliknya, Rasullullah langsung
menyuruhnya untuk mengikatkan dulu tali unta secara baik baru bertawakkal.
Alasan ke-33: Karena taubat tak cukup
di lidah saja
Sebagaimana dalam Surat
Al Baqarah ayat 60: ”Kecuali mereka yang
telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka
terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya”. Taubat baru diterima jika
kita sudah benar-benar meninggalkan kesalahan sebelumnya, dan melakukan hal
positif sebaliknya. Mengadakan perbaikan berarti melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang baik dan berusaha meninggalkan pekerjaan yang jelek. Ada action yang anda harus lakukan, atau
tidak lagi anda lakukan; tidak cukup dengan lisan saja meski seribu kali.
Alasan ke-34: Dengan berkerja kita
berpeluang dicintai Allah SWT
Dalam sebuah riwayat
digambarkan: Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mukmin yang giat berkerja
[vi]. Cinta
Allah baru tergapai hanya jika kita telah melaksanakan seluruh amanat dan
ajaran al-quran dan sunnah Rasul, disertai luapan kalbu yang dipenuhi rasa
cinta. Siapa yang mencintai Allah, maka Allah pun akan mencintainya. Imam Ibnu
Qayyim menyebut ada 10 tahapan menuju cinta Allah, yakni membaca al-quran
dengan merenungi dan memahami maknanya, mendekatkan diri dengan mengerjakan
ibadah yang sunnah setelah mengerjakan ibadah wajib, terus-menerus mengingat
Allah dengan hati serta lisan dan amalan, lebih mendahulukan kecintaan pada
Allah daripada pada diri sendiri, mengenal dan merenungi kebesaran nama dan
sifat Allah, memperhatikan nikmat dan karunia Allah yang telah diterima,
menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah,
menyendiri dengan Allah pada sepertiga malam terakhir, duduk bersama
orang-orang yang mencintai Allah dan para shidiqin,
serta menjauhi segala sebab yang dapat menghalangi antara dirinya dan Allah
SWT.
Semua ini tidak mudah.
Kita harus berusaha keras mengalahkan hati kita sendiri, mengontrol lisan, dan
mengarahkan seluruh perilaku untuk menjalankan ke-10 syarat ini secara
konsisten dari waktu ke waktu.
Alasan ke-35: Dengan berkerja kita
dapat terhindar dari azab neraka
Pada suatu
kali, Sa’ad bin Muadz Al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru
kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa'ad yang melepuh, kulitnya
gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya
kenapa tanganmu? Saad menjawab, karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini
untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku. Kemudian Rasulullah
SAW mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata: ”inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka ” [vii].
Alasan ke-36: Karena muslim harus melaksanakan
fungsi kekhalifahannya dengan sebaik-baiknya
Manusia
adalah khalifah Allah di bumi. Di sisi lain kita ingat bahwa Islam diturunkan
untuk kemaslahatan seluruh alam. Tugas kemasalahatan ini tentu ada di pundak
muslim itu sendiri. Bagaimana mungkin tugas ini bisa ditunaikan jika muslim
tidak menguasai ilmu pengetahuan, tidak berkerjasama dalam jaringan, tidak
bermodal, dan tidak menjadi memimpin di dunia. Semua ini mesti diraih dengan
berkerja keras, apalagi di abad ke-21 ini ketika bangsa-bangsa lain sudah jauh
melaju di depan.
Alasan ke-37: Dunia adalah ladang
untuk akhirat
Dunia yang harus dihindari adalah dunia
yang bermewah-mewahan (hedonic life),
sebagaimana Kaum ‘Ad di era nabi Hud. Saat ini tampaknya ada kekeliruan dimana
ada ketakutan terhadap harta sehingga orang-orang takut kaya. Karena takut
kaya, maka berkerja hanya secukupnya.
Suatu hari Rasulullah bertemu seorang
sahabat yang kondisinya sangat memprihatinkan. Ketika ditanya, ia menjawab bahwa
ini terjadi mungkin karena do’anya. Do’anya adalah: “Ya Allah berilah saya kesengsaraan dunia dan jadikan kesengsaraan
dunia ini sebagai petunjuk bahwa saya akan mendapat kebahagiaan akhirat”.
Mendengar jawaban itu Rasulullah bersabda dengan menunjukkan do’a yang lebih
baik sebagaimana pada surat Al-Baqarah ayat 201: “Ya Allah berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka”. Orang-orang beriman menjadikan dunia
sebagai ladang untuk akhirat. Mereka berupaya meraih dunia dengan berpedoman
pada nilai-nilai Illahi.
Beberapa bacaan menyebut bahwa salah satu penyebab lemahnya etos kerja muslim adalah karena kekeliruan memandang apa itu dunia dan apa itu akhirat. Keduanya seolah dipisahkan dengan hitam putih. Kekeliruan ini ikut menyebabkan kekeliruan pada turunannya, yaitu sikap terhadap harta, dan sikap terhadap kerja.