Salah satu pelajaran
pertama bentuk ibadah yang diberikan Nabi Adam kepada anak-anaknya adalah
mempersembahkan kurban. Dan untuk itu ia harus berusaha keras memberikan kurban
yang terbaik. Qabil memilih sebagai petani dan Habil sebagai peternak.
Akhirnya, karena kurban Habil dinilai lebih baik maka kurbannya diterima, dan
ia dikawinkan dengan Iqlima yang diperebutkan. Korban Habil
diterima karena ia memberi domba yang paling gemuk, bagus dan paling kuat;
tidak demikian dengan Qabil.
Alasan ke-15: Karena ibadat adalah inti ajaran Islam.
Pada hakekatnya, setiap
kerja yang diridhoi oleh Allah dan disertai dengan niat baik adalah ibadat.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa
berkerja untuk anak isterinya melalui jalan yang halal, maka bagi mereka pahala
seperti orang yang berjihad di jalan Allah” [i].
Selain itu, hadits lain berbunyi: “Mencari
kerja yang halal itu adalah fardhu selepas fardhu” [ii].
Ibadat adalah perbuatan,
baik perbuatan mulut (perkataan) ataupun perbuatan anggota badan lain. Jadi,
ibadah tidaklah sesempit hanya shalat, puasa, zakat dan haji. Ibadah mencakup
seluruh aktivitas fisik, akal fikiran dan jiwa; sehingga termasuk mencari
rezeki, mencari ilmu, mendidik dan membesarkan anak, mencari nafkah untuk
keluarga, bahkan menyingkirkan duri dari jalanan. Semua gerak yang kita
jalankan dalam 24 jam adalah ibadah, mestilah bernilai ibadah. Jangan kita
dikacaukan dengan urusan dunia atau akhirat, karena semua adalah ibadah yang
memiliki relevansi terhadap dunia sekaligus terhadap akhirat.
Alasan ke-16:Karena beriman pun
bermakna melakukan.
Abul A’la Maududi telah
menggariskan dengan jelas: iman sejati tidak cukup dengan lisan. Seandainya
kita dalam kedinginan, lalu kita bergumam ’selimut-selimut’, pengaruh dingin
tidak akan berkurang meski kita mengulang-ulang kata-kata tersebut beribu kali
setiap malam dan memegang tasbih. Namun jika kita menyiapkan selimut dan
menutupkannya ke tubuh, rasa dingin itu akan
berhenti [iii].
Demikian pula dengan ulama besar Imam Bukhari yang memperoleh hadits
dari seribu ditambah delapan puluh (1080) guru, yang semuanya adalah ahli
hadits; berpendirian bahwa iman itu
adalah ucapan dan sekaligus perbuatan.
Beriman
tidaklah cukup hanya percaya, melafazkan satu sampai beberapa kata dan kalimat,
lalu memantap-mantapkan hati dengan keyakinan itu. Ingat bahwa ada 77 cabang iman, dimana sebagian dari cabang-cabang
tersebut secara jelas merupakan aktivitas fisik yang nyata. Dalam 77 cabang itu
termasuk misalnya menuntut ilmu pengetahuan, mengajarkan ilmu kepada orang
lain, bersuci, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa, menepati janji,
menyampaikan amanat, amar ma’ruf nahi munkar, ta’at kepada orang tua, menyambung
silaturrahim, memenuhi hak-hak anak istri, menjawab salam, menengok orang
sakit, menyalatkan mayat orang Islam, memuliakan tetangga, memuliakan tamu,
belas kasih kepada anak-anak dan memuliakan orang tua, serta merukunkan orang
yang berselisih. Terlihat, bahwa beriman mestilah dijalankan dengan sangat
aktif. Tidak akan mampu dipenuhi ke 77 cabang iman ini jika orang hanya berdiam
diri di mushala dan mesjid.
Lebih dari lima puluh
tempat dalam al-Qur’an menyebut bahwa keimanan selalu dikaitkan dengan amal
saleh yang secara literal berarti kerja-kerja positif. Amal saleh vertikal
berupa ibadah-ibadah ritual, sementara amal saleh horizontal adalah
ibadah-ibadah sosial, politik, ekonomi, dan seterusnya yang berhubungan dengan
manusia.