Dalam
Al-Quran disebutkan 251 kali kata “taqwa” [i]. Taqwa
adalah konsep sentral dan luhur dalam memahami Islam dan mempengaruhi jalan
kehidupan kita sehari hari. Taqwa
meliputi aspek moral, karakter, tingkah laku, dan ekonominya.
Taqwa dalam pengertian
bahasa adalah menjaga sesuatu dari yang menyakiti dan yang membahayakan. Yaitu
sebuah upaya untuk menjadikan kita selalu dalam keadaan terpelihara dari
sesuatu yang salah dan kotor [ii]. Secara
sederhana esensi taqwa dimaknai sebagai “takut”. Takut dari segala yang
menimbulkan dosa. Taqwa berarti upaya pembentengan diri dengan ketaatan yang
total kepada Allah dari segala bentuk hukuman–Nya. Taqwa menjadi benteng yang
akan melindungi dari segala sesuatu yang menyebabkan seseorang dapat terkena
hukuman, baik menyangkut sesuatu yang harus dilakukan atau sesuatu yang harus
ditinggalkan. Taqwa dilukiskan sebagai puncak prestasi hidup yaitu menjadi
manusia yang paling mulia (Al Hujuraat: 13). Menurut Sayyid Quthb, taqwa adalah
kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus menerus dan
hati-hati terhadap semua duri kehidupan [iii].
Akhlak
orang bertaqwa dalam konteks hablul minnallah adalah mereka yang beriman
kepada yang gaib (Al Baqarah: 3–4), mendirikan shalat, menafkahkan
rezeki, yakin akan adanya akhirat,
menahan amarahnya, suka memaafkan, dan jika salah segera bertaubat. Sementara,
dari sisi kehidupan ekonomi, cirinya adalah ekonomi yang baik. Jadi, orang yang
taqwa berakhlak mulia dan ekonominya pasti kuat. Ini sesuai dengan janji Allah.
”Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (berupa kekayaan,
kemakmuran) (Al-A’raf: 96). Dan, seluruh dimensi ibadah merupakan tangga
maju ketaqwaan. Alquran telah memuat mengenai kunci meraih sukses,
dimana salah satunya adalah taqwa [iv].
Kita
hapal betul dengan hadits ini: Berkerja
keraslah kamu untuk duniamu seolah olah kamu akan hidup selama lamanya,
berkerja keraslah untuk akhiratmu seolah olah kamu mati esok hari. Allah
lebih senang muslim yang kuat iman dan ekonominya dari muslim yang lemah.
Manusia dan masyarakat yang sukses adalah yang berakhlak mulia dan mendapat
rezeki kekayaan yang banyak dari Allah. Jadi, taqwa termasuk sebab turunnya rezeki. Taqwa menjadi kunci rezeki.
Barangsiapa bertaqwa dijanjikan akan diberi rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka [Ath Thalaq: 2-3].
Ya,
kita mesti yakin seyakin-yakinnya dengan kebenaran, kedahsyatan dan keajaiban
al-quran dan as-sunnah dalam menunjukkan jalan bisnis. Menurut buku “Berani
Kaya, Berani Taqwa” [v], al-quran dan
sunnah adalah "jalan tol" yang akan membikin anda kaya-raya. Untuk
anda yang ingin kaya-raya tanpa batas dengan gelimang berkah, rahmat dan
karunia Allah, al-quran dan sunnah adalah guide
paling nyata, jelas, setia dan benar dalam mengantarkan bisnis anda ke gerbang
kesuksesan tak terbatas (unstoppable
succsess), meraih kesuksesan besar, serta kebahagiaan tak terperikan, tidak
hanya di dunia ini tapi juga di akhirat nanti.
Sebagai buah dari taqwa, maka manusia taqwa akan
mendapatkan mahabbah Allah (At
Taubah: 4), Allah akan selalu bersama langkah dan fikirnya (An Nahl: 128),
mendapat manfaat dari apa yang dibaca di dalam al-quran (Al Baqarah: 2), lepas
dari gangguan syetan (Al A’raf: 35), diterima amal-amalnya (Al Maidah: 27),
serta mendapatkan kemudahan setelah kesulitan dan mendapat jalan keluar setelah
kesempitan (Ath Thalaq: 2 dan 4). Taqwa berimplikasi langsung pada kehidupan
sosial (muamalah). Pada masyarakat yang
anggotanya bertaqwa akan lahir keamanan dalam masyarakat, ketenteraman,
keadilan, dan tersebarnya kedamaian. Ciri orang bertaqwa adalah memenuhi rukun
iman dan Islam, menepati janji, jujur kepada Allah, dirinya dan manusia dan
menjaga amanah. Dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.
Manusia taqwa adalah sosok yang tidak pernah menyakiti dan tidak zhalim pada
sesama, berlaku adil di waktu marah dan ridha, bertaubat dan selalu
beristighfar kepada Allah.
Urusan ber-muamalah sangatlah serius. Kita
semestinya jauh lebih hati-hati dalam hubungan dengan manusia. Jika kita
berbuat salah pada seseorang lalu orang tersebut tidak mau memaafkan kita, apa
yang bisa kita dilakukan? Shalat dan puasa sebanyak-banyaknya pun tak bisa
menghapus luka hati yang telah kita timbulkan. Bukankah pernah terjadi
seseorang baru lepas dari siksa sedemikian lama dalam sakratul maut setelah
ibunya memaafkannya.
Setidaknya
lima alasan berikut bisa membuktikan betapa seriusnya perihal muamalah [vi].
Pertama, proporsi antara ayat-ayat
sosial (muamalah) dengan ayat ibadah (mahdhah) dalam al-quran dan hadits adalah
100 berbanding 1. Sebagai misal, dalam surat Al Mukminun ayat 1-9 ciri orang
yang mukmin adalah shalatnya khusuk, menghindarkan diri dari perbuatan yang tak
bermanfaat, menjaga amanat dan janjinya, dan menjaga kehormatan dari maksiat.
Kedua, dengan prinsip muamalah
membolehkan penangguhan atau memendekkan ibadah individual bila waktunya
bersamaan dengan urusan ibadah bersama.
Ketiga,
ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih dari ibadah
yang bersifat perseorangan. Nilai shalat berjamaah 27 kali lipat dibanding
shalat sendiri.
Keempat, berkaitan dengan
kifarat. Ibadah mahdhah yang tidak sempurna atau batal karena melanggar
pantangan tertentu tebusannya berupa sesuatu yang berhubungan dengan masalah
sosial. Berhubungan suami isteri di waktu puasa boleh diganti dengan
memerdekakan budak, tidak sanggup berpuasa boleh diganti dengan membayar fidyah, dan tidak berihram boleh ganti dengan
potong unta dan dagingnya dibagi-bagikan. Terakhir, kelima, amal baik di bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih
besar daripada ibadah sunnah. “Maukah
kamu aku beritahu derajat apa yang lebih utama daripada salat, puasa, dan
sadaqah? Sahabat menjawab: tentu. Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar” [vii].
Dalam
hadits Bukhari dan Muslim[viii]
terdapat beberapa hadits yang berkenaan dengan ini. Dari Abu Hurairah: “Orang yang berusaha untuk membantu para janda dan orang miskin
diibaratkan sebagai orang yang berperang di jalan Allah, orang yang bangun
shalat sepanjang malam dan seperti orang yang berpuasa tanpa berhenti” [ix]. Betapa
pentingnya hubungan kekeluargaan dan silaturrahmi [x],
dan mendamaikan perselisihan [xi],
sehingga tidak akan masuk syurga orang
yang memutuskan hubungan silaturrahmi [xii].
Lebih jauh dari Ibnu Umar:
”Seorang
muslim itu adalah saudara bagi muslim lain. ... barang siapa yang mampu
memenuhi hajat saudaranya, maka Allah pun akan berkenan memenuhi hajatnya.
Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan kepada seorang muslim, maka Allah
akan melapangkan salah satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat
nanti. Barang siapa yang menutup aib seseorang muslim, maka Allah akan menutup
aibnya pada hari kiamat nanti” [xiii].
Masih
relevan dengan ini, hadits dari Abdullah bin Amru disebutkan bahwa sifat yang
paling baik dalam Islam adalah memberikan makan serta salam [xiv], serta
seseorang yang menyelamatkan kaum muslim dengan lidah dan tangannya [xv], terlebih
lagi membantu orang untuk memiliki perkerjaan [xvi].
[i]
Taqwa: ciri2 orang bertaqwa adalah berkahlaq mulia, qolbu bersih dan kuat
ekonominya. http://latifabdul.multiply.com/....
[ii] Makna dan Esensi Taqwa. 7 April 2008. http://ikadi.org/artikel/
…
[iii] Muhammad Arifin Ilham. Tiga Ciri
Khas Hamba Allah yang Bertaqwa. 29 November 2005. http://www.hudzaifah.org/Article286.phtml
[iv]
Berdasarkan al-quran tersebut, Valentino Dinsi menulis sebuah buku mengenai rahasia meraih sukses dalam hidup berdasarkan
landasan agama Islam. Ia menyebut ada “8 Rahasia Mencapai Kebahagiaan Dunia
Akhirat (Buku "8 Secrets by valentino Dinsi"), yaitu: desire atau kekuatan niat, ask atau kekuatan do'a, vizualitation atau kekuatan dzikir, believe atau kekuatan iman dan taqwa, gratitude atau kekuatan bersyukur, charity atau kekuatan sedekah, meditation atau kekuatan tahajud, serta total
action dan total surrender atau kekuatan
mujahadah dan tawakal.
[v]
Anif Sirsaeba. Berani Kaya, Berani Takwa. Penerbit Republika. 65 halaman.
[vi]
Lima perhatian agama terhadap masalah sosial ala Jalaludin Rahmat [Abudin Nata.
2003. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal. 39-42.)
[vii] Hadits diriwayatkan HR Abu Dawud, Turmuzi, dan Ibnu Hibban.
[viii]
Al-Bayan. 2007. Shahih Bukhari Muslim. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim. Editor: Hendra S dan Tim Redaksi JABAL. Penerbit
JABAL, Bandung. Hal 535.
[ix] Al-Bayan. 2007. hal 528, hadits no. 1719.
[x] Al-Bayan.
2007. hal 462, hadits no. 1506, 1507 dan 1508.
[xi] Al-Bayan.
2007. hal 467, hadits no. 1527.
[xii] Al-Bayan.
2007. hal 462, hadits no. 1507.
[xiii] Al-Bayan.
2007. hal 465, hadits no. 1519.
[xiv] Al-Bayan.
2007. hal 32, hadits no. 24.
[xv] Al-Bayan.
2007. hal 32, hadits no. 25.
[xvi] Al-Bayan.
2007. hal 37, hadits no. 50.