Rabu, 16 Februari 2011

Alasan ke-45: Karena para wali pun mengajarkan tentang bercocok tanam dan berketerampilan

Wali Songo dikenal dengan metode dakwah kultural, bukan penaklukan. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan ikatan darah atau hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim adalah wali yang tertua, dimana Sunan Ampel adalah anaknya, sementara Sunan Giri adalah keponakannya.

Para wali berdakwah di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat dengan mengenalkan berbagai peradaban baru mulai dari kesehatan, bercocok tanam, berniaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan, hingga pemerintahan.

Dari sisi berekonomi, Maulana Malik Ibrahim saat pertama menginjakkan kaki di wilayah sekitar Gresik, aktivitas pertama yang dilakukannya adalah berdagang dengan cara membuka warung . Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu, ia juga mengobati masyarakat secara gratis dan mengajarkan bercocok tanam. Ia berupaya merangkul masyarakat bawah yang merupakan kasta-kasta yang disisihkan dalam Hindu saat itu.

Sunan Giri menjadikan pesantrennya tak hanya sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Sementara, Sunan Bonang dikenal sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat tandus. Selain itu, ia juga menggubah gamelan Jawa dengan memberi nuansa baru dengan menambahkan instrumen bonang. Lagu "Tombo Ati" yang sangat terkenal tersebut adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Mirip dengan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. Salah satu petuahnya adalah: ”berilah tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang telanjang”.

Sunan Muria suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Ia berbaur dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. Ia dikenal piawai dalam memecahkan masalah, sehingga ia pernah menjadi penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530).

Terakhir, Sunan Gunung Jati secara langsung memimpin pemerintahan, dalam posisinya sebagai putra raja. Dalam berdakwah, ia mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Para wali, meskipun masing-masing tidak hidup sezaman, tetapi dalam pemilihan wilayah dakwahnya mempertimbangkan faktor geostrategi sesuai kondisi zamannya. Mereka mengambil tempat kota bandar perdagangan atau pelabuhan. Dalam posisi ini mereka dapat pula disebut sebagai “penyebar Islam yang berdagang”. Mereka tidaklah menjauhi kehidupan masyarakat seperti halnya "bhiksu" dan bertapa di tempat sepi. Mereka sangat aktif dalam perekonomian, pekerjaan sosial yang riel, dan juga di pemerintahan dan berkesenian.
*****