Persiapan menuju kerja adalah juga kerja. Makanya di kalangan serdadu suka ada semboyan: ”tiada hari tanpa latihan”. Mahasiswa yang mau ke kampus mengatakan ”I must to work”. Sekolah, berlajar, adalah berkerja.
Dari buku ”Outliers” yang ditulis Malcolm Gladwell , seorang jurnalis New York Times, ia mencari faktor apa yang berkontribusi pada kesuksesan orang-orang ternama. Ia mempelajari banyak kehidupan termasuk para pemain ice hockey Kanada, Bill Gates si pendiri Microsoft dan orang-orang dengan kecerdasan mencengangkan seperti Christopher Langan dan J. Robert Oppenheimer. Gladwell menemukan satu formula keramat yaitu 10,000-Hour Rule (hukum 10 ribu jam). Itulah jumlah jam yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ahli di bidangnya. Seseorang harus melakukan sebanyak itu jika mau menjadi juara tenis, pegolf profesional, dan seterusnya.
Grup musik The Beatles manggung di Hamburg, Germany lebih dari 1200 kali dari tahun 1960 ke 1964. Total jamnya lebih dari 10.000 jam. Ini karena mereka tidak puas hanya diberi kesempatan satu jam setiap manggung di Liverpool. Demikian pula dengan Gates, yang semenjak tahun 1968 semenjak berusia 13 telah menghabiskan 10.000 jam untuk mengutak-atik program komputer.
Dari kasus jenius-jenius yang gagal dalam hidupnya, disimpulkan bahwa jenius saja tidak cukup. Banyak jenius yang bakatnya tidak berkembang dan hidupnya dapat disebut gagal. Perlu dukungan lingkungan dan kerja keras untuk sukses. Kesuksesan adalah hasil dari kesempatan, lingkungan, dan kerja keras.
Betul kata Thomas Alfa Edison, untuk berhasil orang hanya perlu 1 persen otak dan 99 persen kerja keras. Lupakan apa itu “jenius”. Bisa bukan persoalan pintar atau tolol, tapi apakah anda rajin, tekun; atau pemalas.
Temuan Gladwell ini sejalan yang dihasilkan dari studi K. Anders Ericsson dari Florida State University. Dari risetnya lebih dari 25 tahun untuk mempelajari apa saja yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi pakar di berbagai bidang, termasuk olahraga. Ada angka ajaib yang selalu muncul dalam penelitian Ericsson, yaitu 10.000 jam latihan yang sungguh-sungguh. Jika seseorang mau mendedikasikan waktunya selama 10.000 jam untuk keahlian apa pun, dia memiliki potensi untuk mencapai puncak .
Dari riset lain, perbedaan antara pegolf profesional dan amatir tak hanya terletak pada kepiawaian mengayun stik golf, tapi juga pada volume korteks otak abu-abu mereka . Para ilmuwan di University of Zurich, Swiss, menemukan bahwa pegolf profesional mempunyai volume korteks otak abu-abu (gray matter) yang lebih besar dibanding pemain amatir. Otak abu-abu itu adalah kumpulan badan sel neuron atau sel saraf yang diketahui memainkan peran penting dalam pengendalian otot. Pegolf yang bermain sejak usia muda dan terus berlatih selama bertahun-tahun akan bisa mengembangkan otak mereka sementara angka handicap mereka kian mengecil. Beberapa studi sebelumnya telah memperlihatkan bahwa jumlah jam latihan berhubungan langsung dengan handicap (angka yang menunjukkan kemampuan permainan) seorang pegolf.
Lutz Jancke dan timnya berhasil menemukan bukti bahwa latihan memiliki pengaruh besar terhadap otak manusia . Dalam laporan yang dipublikasikan di jurnal Plos One, mereka menemukan adanya perbedaan mencolok antara korteks abu-abu pemain golf yang berlatih selama 800-3.000 jam dan orang yang kurang berlatih atau sama sekali tak pernah bermain golf. Jancke dan timnya menganggap latihan ayunan golf yang berbeda secara rutin amat penting agar seorang pegolf mampu melakukan gerakan balistik yang sulit ketika memukul bola. Latihan juga amat menentukan performa mereka. Menurut beberapa pakar golf, perlu lebih dari 10.000 jam latihan untuk menjadi seorang pegolf profesional, kata Jancke. "Untuk mencapai handicap 10-15, diperlukan setidaknya 5.000-10.000 jam latihan. Ini setara dengan waktu yang diinvestasikan musisi profesional dan guru musik untuk berlatih." ******
Selasa, 16 November 2010
Rabu, 21 April 2010
Kata Pengantar
Muslim dan rakyat Indonesia adalah dua entitas yang mestinya berbeda. Namun, disini dan saat ini, mendapatkan keduanya dalam satu karakter. Kita bisa memandangnya sebagai satu unity. Entah ini datang karena nilai-nilai Islamnya, atau karena kondisi geografis, sosiologis dan kultural keindonesiaan kita; namun kita tahu persis dimana posisi kita. Beberapa indikator bisa mewakilinya, yaitu dari sisi ekonomi masih berstatus negara berkembang, dari segi moral korupsi tinggi, dari segi pemerintahan manajemen lemah, dan dari sisi teknologi menjadi konsumen. Agak sulit mencari prestasi apa yang dapat dibanggakan di level dunia.
Demikian pula dengan muslim secara umum. Posisi ekonomi, power politik, dan level peradabannya menyedihkan. Kondisi ini bahkan diakui pula oleh kalangan ilmuwan muslim sendiri. Kemiskinan, kesenjangan ekonomi, serta konflik dan tindakan kekerasan akrab di wilayah muslim. Kondisi ini diperburuk dengan sikap negara-negara Islam yang cenderung berjarak, egois, mementingkan diri sendiri. Ini menjadikan negara muslim rapuh menghadapi globalisasi dan hanya menjadi kelompok pinggiran.
Dalam buku ini saya bertolak dari kita, yang muslim dan juga yang Indonesia. Kemunduran muslim dan keterpurukan kita sudah jamak kita dengar. Kita jadi begini, kupikir mungkin karena ada yang keliru dengan pemahaman kita.
Sosiolog Max Weber menilai bahwa Islam tidak menghasilkan kapitalisme. Tidak ada asketis dalam Islam, dan kapitalisme telah digugurkan dari kandungan Islam. Cerita miring tentang muslim juga kita dengar misalnya dari Clifford Geertz, BB Harring, James L Peacock, Rosemary Firth dan Clive Kessler. Harring bahkan menyebut Islam sebagai pengganggu kultural (cultural intruder).
Namun pendapat Weber dinilai tidak ilmiah. Kritik ini tidak hanya datang dari kalangan Muslim, bahkan dari kalangan sosiolog sendiri. Paparan Weber mengenai etika Islam tidaklah benar dan analisanya dangkal. Salah satu sosiolog yang mengkritik Weber adalah Bryan S. Turner. Weber dinilai memperlakukan dan menafsirkan Islam secara faktual sangat lemah tidak seperti ia menganalisa calvinisme pada etika Protestan. Kritik lain datang dari Huff dan Schluchter yang menilai pencarian Weber tentang Islam belumlah tuntas.
Nurcholis Masjid pun sejalan dengan kritik ini. Kelemahan Weber adalah karena ia mengumpulkan bahan-bahannya itu hanya dari disiplin sosiologi Prancis, padahal pada orang-orang Prancis itu sosiologi Islam belum terwujud, karena hanya hasil karya pribadi-pribadi para pejabat kolonial untuk urusan pribumi, peneliti sosial amatir, dan kaum Orientalis; bukan dari kalangan sosiologi. Itupun terbatas kepada kawasan Afrika Utara saja. Hal ini pun didukung Marshall G.S. Hodgson, seorang ahli sejarah dunia dan peradaban Islam dalam bukunya “The Venture of Islam”.
Jauh setelah karya Weber tersebut, muncul beberapa tulisan yang menyebut adanya “etika Protestan” di kalangan Muslim. Misalnya dari pengamatan di kalangan Muslim Turki . Mereka menemukan sekelompok pengusaha sukses Muslim di satu kawasan. Tulisan ini menyebutnya dengan kebangkitan karena "Calvinist Islam."
Indonesia? Baik kita lihat satu hal: korupsi. Dalam satu buku tertulis “… di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika. Korupsi paling rendah di Eropa bagian Utara dan persemakmuran Inggris yang Protestan, sementara negara-negara penganut Konghucu di tengah-tengah. Disini penulisnya mencoba mengkaitkan korupsi dengan agama yang dianut masyarakatnya.
Satu indikator yang sering diacu untuk masalah korupsi adalah IPK (Indeks Persepsi Korupsi). Skala peringkat IPK mulai dari 1 sampai 10. Semakin besar skor IPK suatu negara, semakin bersih negara tersebut dari tindak pidana korupsi. Transparency International mengumumkan bahwa IPK Indonesia untuk tahun 2005 adalah 2.2 dan menempati urutan 133 dari 146 negara. Tahun berikutnya (2006) menjadi 2,4 dan menempati urutan 130 dari 163 negara. Berikutnya lagi, IPK Indonesia naik dari 2,3 di tahun 2007 (urutan 143 dari 180 negara) menjadi 2,6 di tahun 2008 (peringkat 126 dari 180 negara). Tampak bahwa meski kondisinya membaik tapi masih layak disebut sebagai “negara terkorup di dunia.
Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004, nilai NHDR Indonesia berada pada peringkat 111 dari 175 negara. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index = HDI) meningkat dari 64,3 persen tahun 1999, menjadi 66,0 persen taun 2002. Berdasarkan Human Development Report dari UNDP, HDI Indonesia tahun 2007/2008 menempati peringkat 107, dua peringkat di bawah Vietnam. Secara lebih detail, untuk nilai HDI Indonesia di posisi 107, untuk harapan hidup nomor 100, untuk melek huruf lebih bagus yaitu nomor 56, dan pendapatan perkapita nomor 113.
Dari sisi yang lain, menurut David McCelland, agar satu bangsa makmur perlu setidaknya 2 persen warganya yang jadi wirausaha. Indonesia tahun 2007 misalnya hanya memiliki 0,18 persen warganya yang memiliki kemampuan dan berkesempatan sebagai wirausaha. Artinya, jumlah ini tidak sampai sepersepuluh dari yang semestinya. Bandingkan dengan AS yang memiliki 11,5 persen dan Singapura 7,2 persen.
Untuk gambaran orang Indonesia, bisa kita lihat pendapat Muchtar Lubis. Dari pidato kebudayaan pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki Jakarta yang lalu dibukukan dalam “Manusia Indonesia” ia menyebutkan bahwa beberapa ciri-ciri orang Indonesia yaitu munafik, tidak bertanggung jawab, feodal, percaya pada takhyul, dan lemah wataknya . Dalam hal kerja, disebutkan bahwa manusia Indonesia tidak hemat atau boros, kurang suka bekerja keras kecuali terpaksa, dan cenderung bermalas-malas akibat alam kita yang murah hati. Sisi positifnya adalah suka saling tolong, berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, dapat tertawa dalam penderitaan, senang dalam ikatan kekeluargaan serta penyabar, cepat belajar, punya otak encer, serta mudah dilatih keterampilan.
Antropolog Koentjaraningrat menyebut orang Indonesia memiliki mental suka menerabas. Budayawan lain menyatakan hal-hal serupa yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya loyo, budaya instan, dan banyak lagi. Sukarno pun pernah mengingatkan ini dengan istilah yang lain, yaitu “jangan menjadi bangsa tempe”. Terakhir, ditambahkan Aa Gym yang mengatakan bangsa kita senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Dalam buku "Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi Kultur"oleh Drs. P. Hariyono dapat dibaca bahwa dalam hal hakekat karya dan etos kerja, orang Jawa hampir tidak ada motivasi kuat untuk bekerja, mereka bekerja hanya untuk menyambung hidup dan lebih senang mengosongkan hidup untuk dunia akherat kelak.
Etos kerja manusia Indonesia modern memang perlu ”dicurigai”. Seorang menteri yang membawahi bidang sumber daya manusia pernah menyataan bahwa masih ada pemimpin dan aparatur negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja; sehingga lemah dalam disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja rendah . Salah satu suku yang dipandang memiliki etos kerja tinggi adalah etnis Bali. Orang Bali sangat meyakini pemahaman bahwa perbuatan dan kerja itu adalah karma. Mereka tidak mengutamakan hasil, karena kerja yang baik adalah karma yang baik. Secara normatif, orang Bali itu tak ada yang pemalas . Ini pendapat para ahli, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, dan inipun masih terus diperdebatkan.
Penulis belum menemukan satu karya yang baik dan ilmiah tentang bagaimana sesungguhnya manusia Indonesia memandang kerja. Beberapa buku banyak yang hanya melihat keburukan-keburukan belaka.
Apakah benar demikian? Di sisi sebaliknya, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Candi Borobudur pastilah terbangun karena adanya etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil, rasional, kerja keras, dan lain-lain. Demikian pula dengan berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologis maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai.
Bagaimana sesungguhnya etos kerja muslim dan orang Indonesia? Bahwa kita memang agak rendah etos kerjanya diakui oleh banyak kalangan, secara terang-terangan atau tidak. Sebagian menjadikan fakta ini sebagai cambuk, namun sebagian berkelit dengan menunjuk alasan lain di luarnya. Kalangan Barat telah lama beranggapan bahwa kita bangsa Timur pemalas. Namun hal ini ditentang oleh Alatas . Menurutnya, tidak benar kita pemalas. Penduduk primbumi sengaja tampak malas, karena kondisi yang tidak menguntungkan. Ini hanya mitos yang sengaja diciptakan dan disebarkan penjajah di seluruh wilayah Eropa. Sayangnya, citra negatif ini termakan pula oleh elit lokal. Namun, sampai sekarang mitos ini tampaknya masih hidup pula di kalangan kita sendiri.
Intinya, saya yakin ini berkaitan dengan seputar ”kerja”. Ada kekeliruan kita memandang kerja, makna kerja, dan etos kerja. Atas dasar itu, saya mencoba mempelajari bagaimana sesungguhnya hakekat berkerja dalam Islam. Lebih detail saya mencoba mencari jawab apa makna berkeja dalam Islam, apa jenis perkerjaan yang boleh, apa ganjaran dan kenikmatan bagi orang yang berkerja, bagaimana seharusnya muslim memandang kerja, bagaimana nabi dan para sahabat dalam menjalankan hidupnya, dan lain-lain. Berkaitan dengan ini saya juga coba pahami apa sesungguhnya dunia, apa makna harta, dan seterusnya. Ternyata begitu banyak hal menarik seputar ini. Dan saya belum pernah ketemu buku yang memuat segala hal tentang kerja ini dengan memuaskan.
Dalam buku ini, “kerja”, dalam arti gerak fisik, saya coba bidik dari berbagai sisi. Selain yang utama dari al-Quran dan al-Hadist, juga dari sisi biologis, sosiologis, filosofis, kultural, dan lain-lain. Bukan maksud saya untuk membanding-bandingkan dari perspektif yang berbeda-beda ini. Saya cuma ingin memperlihatkan bahwa kearifan tentang kerja dan kerja keras muncul dimana-mana. Dia ada di berbagai masyarakat, suku, berbagai agama, dari kalangan ilmuwan, sastrawan, dan orang biasa. Ia universal.
Pada intinya buku ini saya tulis dalam upaya menyeimbangkan wacana dan pemahaman kita selama ini yang menurut saya kurang perhatian pada hal-hal sekitar ibadah ghairu maghdah, muamallah, ekonomi, dan dunia. Setelah saya telusuri, dengan kemampuan yang sangat terbatas ini, ternyata begitu banyak yang kurang diungkap. Jikapun pernah disampaikan tampaknya belum terlalu dalam dan detail. Seorang ustadz menyebut bahwa antara ibadah maghdhah dan ghairu maghdhah perbandingannya 1 lawan 100. Yang saya tangkap, ini tentu bukan nilainya, tapi kesulitannya, tantangannya, dan tuntutan untuk perhatian kita.
Harapan saya pembaca jadi tahu bahwa kerja dan kerja keras memanglah sebuah keniscayaan, sesuatu yang alamiah, dan fitrah. Kita di dunia hanya sekali dan sesaat, namun akhirat tanpa batas. Maka itu, dunia ini tentu begitu berharga. Yang sesaat menentukan yang selamanya, tentu yang sesaat ini menjadi begitu penting. Saya mengundang pembaca untuk memperdalam dan memperluas materi tentang ini, karena apa yang saya susun ini jelas sangat sederhana, dan tentu juga banyak kekeliruannya. Saya menunggu mereka-mereka yang memiliki kemampuan untuk memperkaya bidang ini.
Tujuan Penulisan
Tujuan pokok saya adalah agar kerja dan berkerja tidak lagi dipandang sekedarnya. Kerja keras adalah inti ajaran dan perdaban muslim. Jangan malas berkerja keras karena takut kaya, karena begitu banyak yang bisa dilakukan jika anda kaya.
Pada akhirnya saya ingin agar muslim menjadi ummat yang rahmatan lil alamin. Ini tidak akan tercapai jika mengurus diri sendiri saja susah. Sampai saat ini kita selalu menjadi bangsa pengutang dan penerima bantuan. Semestinya kita tidak hanya sekedar terlepas dari cap miskin, tapi harus memberi dan membagi kekayaannya kepada orang lain. Kita tidak semestinya dikuasi, tapi harus memimpin dan menjadi obor. Kita mestinya bukan lagi bangsa yang dijajah, tapi harus menjadi pencerah peradaban. Dan setersunya.
Sebuah hadis mengisahkan bahwa nanti di hari kiamat, darah syuhada dan tinta ulama (orang-orang berilmu) akan ditimbang. Saat momen itu tiba, akan ada episode yang mencengangkan, yaitu tinta ulama lebih “berat” (lebih mulia) daripada darah syuhada . Alquran banyak memuliakan kalangan ulama dibandingkan mereka yang berpredikat mukmin sekalipun. Penulisan buku ini juga dilandasi oleh spririt ini.
Pendekatan Penulisan
Penulis sangat tahu diri sebagai orang yang sangat awam di bidang agama, bukan ustadz, da’ i ataupun pengkhotbah, bahkan belum pernah nyantri. Karena itu, saya tidak banyak menganalisa, mensintesa, apalagi menemukan makna baru dan menyimpulkan. Semata-mata saya hanya mengumpulkan, menuliskan ulang, dan lalu menata sesuai topik-topiknya.
Saya tidak banyak memberi penilaian, pendapat dan semacamnya. Saya lebih banyak memaparkan saja. Memaparkan fakta-fakta dan pendapat-pendapat orang lain. Pembaca akan menyimpulkan sendiri, dapat menganalisisnya sendiri, menilainya sendiri. Bahkan jika diragukan, akan dapat menelusuri sendiri kebenarannya. Sebagian besar bahan saya ambil dari internet dari ratusan blog, namun sebagian saya telusuri dari sumber aslinya, terutama untuk kutipan ayat suci dan hadist. Saya sadar betul, yang baik dan benar selalu datangnya dari Allah; sementara yang salah, keliru dan buruk pastilah dari saya sendiri.
Agar memudahkan pemahaman, materi ini saya kemas dalam 101 point. Tipe penulisan seperti ini selain lebih mudah menuliskannya, juga diharapkan memudahkan dibaca dan tidak membosankan. Narasi dikemas secara ringkas dan padat, dan mudah-mudahan tidak kelihatan sok tahu dan sok menggurui. Angka ”101” dipilih untuk memberi kesan bahwa sesungguhnya alasan-alasan untuk berkerja keras tidak terbatas. Bukankah kita sering berucap ”seribu satu alasan” untuk mengungkapkan mencari-cari alasan.
Sistematika Penulisan
Buku ini ditulis dalam bentuk bagian-bagian yang terdiri atas 101 point, yang masing-masing memuat mengapa berkerja keras penting. Alasan-alasan tersebut sebagian menunjuk secara langsung, dan sebagian tidak. Penulisan dalam bentuk point agar memudahkan pembaca dalam memahami. Selain itu, penulis sadar bahwa tidak banyak yang senang membaca buku dari halaman ke halaman, maka penulisan dalam point memudahkan untuk membaca dari mana pun.
Setelah bab pendahuluan, dilanjutkan dengan bab II berisi apa sebenarnya makna kerja keras. Meskipun agak ”memaksa”, bagian ini pun ditulis dalam bentuk point-point alasan. Bagian berikutnya merupakan bab yang penting dimana penulis ingin menyampaikan betapa berkerja adalah ibadah yang sangat utama. Selama ini tampaknya berkerja riel di dunia ini sering dinilai rendah dibandingkan ibdah-ibadah yang lain, bahkan sebagian ada yang cenderung menghindari.
Untuk menghindari keraguan, dalam bab IV saya paparkan bagaimana nabi, keluarga nabi, bahkan wali, penyebar agama yang masuk ke Indonesia, serta para pengkhotbah; semua berkerja. Mereka tidak menabukan kerja. Dan mereka juga mengajarkan berbagai keahlian dan keterampilan berekonomi kepada ummat selain ilmu agama.
Pada bab V disampaikan bahwa jika kita jujur, kerja keraslah yang telah menggerakkan dunia ini. Warga dunia memperoleh berbagai kemudahan karena peran mereka yang berkerja keras. Bab ini dilanjutkan dengan fakta bahwa sesungguhnya ”kerja” adalah sesuatu yang fitrah untuk semua makhluk di dalam dunia ini, bahkan untuk benda-benda yang kita sebut sebagai benda mati sekalipun.
Pada dua bab terakhir, bab VII dan VIII, disampaikan bahwa berkerja lebih bernilai dari sekedar harta, dan berkerja keras merupakan sesuatu yang yang indah, membahagiakan, dan menyenangkan. Dengan berkerja kita berharta, dan dari harta kita bisa berbuat kebajikan yang sangat banyak. Agama tidak melarang kita kaya, asalkan sumber dan penggunaannya sesuai tuntunan.
Dia akhir buku ini, saya ingin pembaca dapat pesan betapa bahwa muslim haruslah menguasai dunia. Islam dan muslim mestilah menjadi pemimpin dalam segala maknanya. Langkah awal untuk itu, muslim tidaklah takut atau setengah hati menjalankan dunia ini. Dunia yang sangat pendek ini, dibandingkan akhirat, menjadi sangat berarti. Waktu kita di dunia begitu terbatas, padahal waktu tersebut menjadi penentu bagaimana nasib kita di akhirat yang waktunya tak berujung.
******
Demikian pula dengan muslim secara umum. Posisi ekonomi, power politik, dan level peradabannya menyedihkan. Kondisi ini bahkan diakui pula oleh kalangan ilmuwan muslim sendiri. Kemiskinan, kesenjangan ekonomi, serta konflik dan tindakan kekerasan akrab di wilayah muslim. Kondisi ini diperburuk dengan sikap negara-negara Islam yang cenderung berjarak, egois, mementingkan diri sendiri. Ini menjadikan negara muslim rapuh menghadapi globalisasi dan hanya menjadi kelompok pinggiran.
Dalam buku ini saya bertolak dari kita, yang muslim dan juga yang Indonesia. Kemunduran muslim dan keterpurukan kita sudah jamak kita dengar. Kita jadi begini, kupikir mungkin karena ada yang keliru dengan pemahaman kita.
Sosiolog Max Weber menilai bahwa Islam tidak menghasilkan kapitalisme. Tidak ada asketis dalam Islam, dan kapitalisme telah digugurkan dari kandungan Islam. Cerita miring tentang muslim juga kita dengar misalnya dari Clifford Geertz, BB Harring, James L Peacock, Rosemary Firth dan Clive Kessler. Harring bahkan menyebut Islam sebagai pengganggu kultural (cultural intruder).
Namun pendapat Weber dinilai tidak ilmiah. Kritik ini tidak hanya datang dari kalangan Muslim, bahkan dari kalangan sosiolog sendiri. Paparan Weber mengenai etika Islam tidaklah benar dan analisanya dangkal. Salah satu sosiolog yang mengkritik Weber adalah Bryan S. Turner. Weber dinilai memperlakukan dan menafsirkan Islam secara faktual sangat lemah tidak seperti ia menganalisa calvinisme pada etika Protestan. Kritik lain datang dari Huff dan Schluchter yang menilai pencarian Weber tentang Islam belumlah tuntas.
Nurcholis Masjid pun sejalan dengan kritik ini. Kelemahan Weber adalah karena ia mengumpulkan bahan-bahannya itu hanya dari disiplin sosiologi Prancis, padahal pada orang-orang Prancis itu sosiologi Islam belum terwujud, karena hanya hasil karya pribadi-pribadi para pejabat kolonial untuk urusan pribumi, peneliti sosial amatir, dan kaum Orientalis; bukan dari kalangan sosiologi. Itupun terbatas kepada kawasan Afrika Utara saja. Hal ini pun didukung Marshall G.S. Hodgson, seorang ahli sejarah dunia dan peradaban Islam dalam bukunya “The Venture of Islam”.
Jauh setelah karya Weber tersebut, muncul beberapa tulisan yang menyebut adanya “etika Protestan” di kalangan Muslim. Misalnya dari pengamatan di kalangan Muslim Turki . Mereka menemukan sekelompok pengusaha sukses Muslim di satu kawasan. Tulisan ini menyebutnya dengan kebangkitan karena "Calvinist Islam."
Indonesia? Baik kita lihat satu hal: korupsi. Dalam satu buku tertulis “… di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika. Korupsi paling rendah di Eropa bagian Utara dan persemakmuran Inggris yang Protestan, sementara negara-negara penganut Konghucu di tengah-tengah. Disini penulisnya mencoba mengkaitkan korupsi dengan agama yang dianut masyarakatnya.
Satu indikator yang sering diacu untuk masalah korupsi adalah IPK (Indeks Persepsi Korupsi). Skala peringkat IPK mulai dari 1 sampai 10. Semakin besar skor IPK suatu negara, semakin bersih negara tersebut dari tindak pidana korupsi. Transparency International mengumumkan bahwa IPK Indonesia untuk tahun 2005 adalah 2.2 dan menempati urutan 133 dari 146 negara. Tahun berikutnya (2006) menjadi 2,4 dan menempati urutan 130 dari 163 negara. Berikutnya lagi, IPK Indonesia naik dari 2,3 di tahun 2007 (urutan 143 dari 180 negara) menjadi 2,6 di tahun 2008 (peringkat 126 dari 180 negara). Tampak bahwa meski kondisinya membaik tapi masih layak disebut sebagai “negara terkorup di dunia.
Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004, nilai NHDR Indonesia berada pada peringkat 111 dari 175 negara. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index = HDI) meningkat dari 64,3 persen tahun 1999, menjadi 66,0 persen taun 2002. Berdasarkan Human Development Report dari UNDP, HDI Indonesia tahun 2007/2008 menempati peringkat 107, dua peringkat di bawah Vietnam. Secara lebih detail, untuk nilai HDI Indonesia di posisi 107, untuk harapan hidup nomor 100, untuk melek huruf lebih bagus yaitu nomor 56, dan pendapatan perkapita nomor 113.
Dari sisi yang lain, menurut David McCelland, agar satu bangsa makmur perlu setidaknya 2 persen warganya yang jadi wirausaha. Indonesia tahun 2007 misalnya hanya memiliki 0,18 persen warganya yang memiliki kemampuan dan berkesempatan sebagai wirausaha. Artinya, jumlah ini tidak sampai sepersepuluh dari yang semestinya. Bandingkan dengan AS yang memiliki 11,5 persen dan Singapura 7,2 persen.
Untuk gambaran orang Indonesia, bisa kita lihat pendapat Muchtar Lubis. Dari pidato kebudayaan pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki Jakarta yang lalu dibukukan dalam “Manusia Indonesia” ia menyebutkan bahwa beberapa ciri-ciri orang Indonesia yaitu munafik, tidak bertanggung jawab, feodal, percaya pada takhyul, dan lemah wataknya . Dalam hal kerja, disebutkan bahwa manusia Indonesia tidak hemat atau boros, kurang suka bekerja keras kecuali terpaksa, dan cenderung bermalas-malas akibat alam kita yang murah hati. Sisi positifnya adalah suka saling tolong, berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, dapat tertawa dalam penderitaan, senang dalam ikatan kekeluargaan serta penyabar, cepat belajar, punya otak encer, serta mudah dilatih keterampilan.
Antropolog Koentjaraningrat menyebut orang Indonesia memiliki mental suka menerabas. Budayawan lain menyatakan hal-hal serupa yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya loyo, budaya instan, dan banyak lagi. Sukarno pun pernah mengingatkan ini dengan istilah yang lain, yaitu “jangan menjadi bangsa tempe”. Terakhir, ditambahkan Aa Gym yang mengatakan bangsa kita senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Dalam buku "Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi Kultur"oleh Drs. P. Hariyono dapat dibaca bahwa dalam hal hakekat karya dan etos kerja, orang Jawa hampir tidak ada motivasi kuat untuk bekerja, mereka bekerja hanya untuk menyambung hidup dan lebih senang mengosongkan hidup untuk dunia akherat kelak.
Etos kerja manusia Indonesia modern memang perlu ”dicurigai”. Seorang menteri yang membawahi bidang sumber daya manusia pernah menyataan bahwa masih ada pemimpin dan aparatur negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja; sehingga lemah dalam disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja rendah . Salah satu suku yang dipandang memiliki etos kerja tinggi adalah etnis Bali. Orang Bali sangat meyakini pemahaman bahwa perbuatan dan kerja itu adalah karma. Mereka tidak mengutamakan hasil, karena kerja yang baik adalah karma yang baik. Secara normatif, orang Bali itu tak ada yang pemalas . Ini pendapat para ahli, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, dan inipun masih terus diperdebatkan.
Penulis belum menemukan satu karya yang baik dan ilmiah tentang bagaimana sesungguhnya manusia Indonesia memandang kerja. Beberapa buku banyak yang hanya melihat keburukan-keburukan belaka.
Apakah benar demikian? Di sisi sebaliknya, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Candi Borobudur pastilah terbangun karena adanya etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil, rasional, kerja keras, dan lain-lain. Demikian pula dengan berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologis maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai.
Bagaimana sesungguhnya etos kerja muslim dan orang Indonesia? Bahwa kita memang agak rendah etos kerjanya diakui oleh banyak kalangan, secara terang-terangan atau tidak. Sebagian menjadikan fakta ini sebagai cambuk, namun sebagian berkelit dengan menunjuk alasan lain di luarnya. Kalangan Barat telah lama beranggapan bahwa kita bangsa Timur pemalas. Namun hal ini ditentang oleh Alatas . Menurutnya, tidak benar kita pemalas. Penduduk primbumi sengaja tampak malas, karena kondisi yang tidak menguntungkan. Ini hanya mitos yang sengaja diciptakan dan disebarkan penjajah di seluruh wilayah Eropa. Sayangnya, citra negatif ini termakan pula oleh elit lokal. Namun, sampai sekarang mitos ini tampaknya masih hidup pula di kalangan kita sendiri.
Intinya, saya yakin ini berkaitan dengan seputar ”kerja”. Ada kekeliruan kita memandang kerja, makna kerja, dan etos kerja. Atas dasar itu, saya mencoba mempelajari bagaimana sesungguhnya hakekat berkerja dalam Islam. Lebih detail saya mencoba mencari jawab apa makna berkeja dalam Islam, apa jenis perkerjaan yang boleh, apa ganjaran dan kenikmatan bagi orang yang berkerja, bagaimana seharusnya muslim memandang kerja, bagaimana nabi dan para sahabat dalam menjalankan hidupnya, dan lain-lain. Berkaitan dengan ini saya juga coba pahami apa sesungguhnya dunia, apa makna harta, dan seterusnya. Ternyata begitu banyak hal menarik seputar ini. Dan saya belum pernah ketemu buku yang memuat segala hal tentang kerja ini dengan memuaskan.
Dalam buku ini, “kerja”, dalam arti gerak fisik, saya coba bidik dari berbagai sisi. Selain yang utama dari al-Quran dan al-Hadist, juga dari sisi biologis, sosiologis, filosofis, kultural, dan lain-lain. Bukan maksud saya untuk membanding-bandingkan dari perspektif yang berbeda-beda ini. Saya cuma ingin memperlihatkan bahwa kearifan tentang kerja dan kerja keras muncul dimana-mana. Dia ada di berbagai masyarakat, suku, berbagai agama, dari kalangan ilmuwan, sastrawan, dan orang biasa. Ia universal.
Pada intinya buku ini saya tulis dalam upaya menyeimbangkan wacana dan pemahaman kita selama ini yang menurut saya kurang perhatian pada hal-hal sekitar ibadah ghairu maghdah, muamallah, ekonomi, dan dunia. Setelah saya telusuri, dengan kemampuan yang sangat terbatas ini, ternyata begitu banyak yang kurang diungkap. Jikapun pernah disampaikan tampaknya belum terlalu dalam dan detail. Seorang ustadz menyebut bahwa antara ibadah maghdhah dan ghairu maghdhah perbandingannya 1 lawan 100. Yang saya tangkap, ini tentu bukan nilainya, tapi kesulitannya, tantangannya, dan tuntutan untuk perhatian kita.
Harapan saya pembaca jadi tahu bahwa kerja dan kerja keras memanglah sebuah keniscayaan, sesuatu yang alamiah, dan fitrah. Kita di dunia hanya sekali dan sesaat, namun akhirat tanpa batas. Maka itu, dunia ini tentu begitu berharga. Yang sesaat menentukan yang selamanya, tentu yang sesaat ini menjadi begitu penting. Saya mengundang pembaca untuk memperdalam dan memperluas materi tentang ini, karena apa yang saya susun ini jelas sangat sederhana, dan tentu juga banyak kekeliruannya. Saya menunggu mereka-mereka yang memiliki kemampuan untuk memperkaya bidang ini.
Tujuan Penulisan
Tujuan pokok saya adalah agar kerja dan berkerja tidak lagi dipandang sekedarnya. Kerja keras adalah inti ajaran dan perdaban muslim. Jangan malas berkerja keras karena takut kaya, karena begitu banyak yang bisa dilakukan jika anda kaya.
Pada akhirnya saya ingin agar muslim menjadi ummat yang rahmatan lil alamin. Ini tidak akan tercapai jika mengurus diri sendiri saja susah. Sampai saat ini kita selalu menjadi bangsa pengutang dan penerima bantuan. Semestinya kita tidak hanya sekedar terlepas dari cap miskin, tapi harus memberi dan membagi kekayaannya kepada orang lain. Kita tidak semestinya dikuasi, tapi harus memimpin dan menjadi obor. Kita mestinya bukan lagi bangsa yang dijajah, tapi harus menjadi pencerah peradaban. Dan setersunya.
Sebuah hadis mengisahkan bahwa nanti di hari kiamat, darah syuhada dan tinta ulama (orang-orang berilmu) akan ditimbang. Saat momen itu tiba, akan ada episode yang mencengangkan, yaitu tinta ulama lebih “berat” (lebih mulia) daripada darah syuhada . Alquran banyak memuliakan kalangan ulama dibandingkan mereka yang berpredikat mukmin sekalipun. Penulisan buku ini juga dilandasi oleh spririt ini.
Pendekatan Penulisan
Penulis sangat tahu diri sebagai orang yang sangat awam di bidang agama, bukan ustadz, da’ i ataupun pengkhotbah, bahkan belum pernah nyantri. Karena itu, saya tidak banyak menganalisa, mensintesa, apalagi menemukan makna baru dan menyimpulkan. Semata-mata saya hanya mengumpulkan, menuliskan ulang, dan lalu menata sesuai topik-topiknya.
Saya tidak banyak memberi penilaian, pendapat dan semacamnya. Saya lebih banyak memaparkan saja. Memaparkan fakta-fakta dan pendapat-pendapat orang lain. Pembaca akan menyimpulkan sendiri, dapat menganalisisnya sendiri, menilainya sendiri. Bahkan jika diragukan, akan dapat menelusuri sendiri kebenarannya. Sebagian besar bahan saya ambil dari internet dari ratusan blog, namun sebagian saya telusuri dari sumber aslinya, terutama untuk kutipan ayat suci dan hadist. Saya sadar betul, yang baik dan benar selalu datangnya dari Allah; sementara yang salah, keliru dan buruk pastilah dari saya sendiri.
Agar memudahkan pemahaman, materi ini saya kemas dalam 101 point. Tipe penulisan seperti ini selain lebih mudah menuliskannya, juga diharapkan memudahkan dibaca dan tidak membosankan. Narasi dikemas secara ringkas dan padat, dan mudah-mudahan tidak kelihatan sok tahu dan sok menggurui. Angka ”101” dipilih untuk memberi kesan bahwa sesungguhnya alasan-alasan untuk berkerja keras tidak terbatas. Bukankah kita sering berucap ”seribu satu alasan” untuk mengungkapkan mencari-cari alasan.
Sistematika Penulisan
Buku ini ditulis dalam bentuk bagian-bagian yang terdiri atas 101 point, yang masing-masing memuat mengapa berkerja keras penting. Alasan-alasan tersebut sebagian menunjuk secara langsung, dan sebagian tidak. Penulisan dalam bentuk point agar memudahkan pembaca dalam memahami. Selain itu, penulis sadar bahwa tidak banyak yang senang membaca buku dari halaman ke halaman, maka penulisan dalam point memudahkan untuk membaca dari mana pun.
Setelah bab pendahuluan, dilanjutkan dengan bab II berisi apa sebenarnya makna kerja keras. Meskipun agak ”memaksa”, bagian ini pun ditulis dalam bentuk point-point alasan. Bagian berikutnya merupakan bab yang penting dimana penulis ingin menyampaikan betapa berkerja adalah ibadah yang sangat utama. Selama ini tampaknya berkerja riel di dunia ini sering dinilai rendah dibandingkan ibdah-ibadah yang lain, bahkan sebagian ada yang cenderung menghindari.
Untuk menghindari keraguan, dalam bab IV saya paparkan bagaimana nabi, keluarga nabi, bahkan wali, penyebar agama yang masuk ke Indonesia, serta para pengkhotbah; semua berkerja. Mereka tidak menabukan kerja. Dan mereka juga mengajarkan berbagai keahlian dan keterampilan berekonomi kepada ummat selain ilmu agama.
Pada bab V disampaikan bahwa jika kita jujur, kerja keraslah yang telah menggerakkan dunia ini. Warga dunia memperoleh berbagai kemudahan karena peran mereka yang berkerja keras. Bab ini dilanjutkan dengan fakta bahwa sesungguhnya ”kerja” adalah sesuatu yang fitrah untuk semua makhluk di dalam dunia ini, bahkan untuk benda-benda yang kita sebut sebagai benda mati sekalipun.
Pada dua bab terakhir, bab VII dan VIII, disampaikan bahwa berkerja lebih bernilai dari sekedar harta, dan berkerja keras merupakan sesuatu yang yang indah, membahagiakan, dan menyenangkan. Dengan berkerja kita berharta, dan dari harta kita bisa berbuat kebajikan yang sangat banyak. Agama tidak melarang kita kaya, asalkan sumber dan penggunaannya sesuai tuntunan.
Dia akhir buku ini, saya ingin pembaca dapat pesan betapa bahwa muslim haruslah menguasai dunia. Islam dan muslim mestilah menjadi pemimpin dalam segala maknanya. Langkah awal untuk itu, muslim tidaklah takut atau setengah hati menjalankan dunia ini. Dunia yang sangat pendek ini, dibandingkan akhirat, menjadi sangat berarti. Waktu kita di dunia begitu terbatas, padahal waktu tersebut menjadi penentu bagaimana nasib kita di akhirat yang waktunya tak berujung.
******
Langganan:
Postingan (Atom)