Alasan ke-44: Karena Para Pioneer Penyebar Islam Ke Nusantara Adalah
Pedagang-Pedagang Ulung
Di sekolah
kita telah belajar bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam penyebaran
agama Islam ke Indonesia, baik pedagang dari luar maupun para pedagang
lokal. Para pedagang muslim datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di
daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang saat itu
beserta bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai.
Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu
datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah terjadi pembauran
antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat.
Terjadilah kegiatan saling
memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan
perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan. Di antara para
pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya
beragama Islam [1].
Kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.
Bandar
menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia. Karena itulah kita lihat letak geografis
kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di
pesisir-pesisir dan muara sungai, yaitu Kerajaan Perlak, Samudra Pasai,
Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore.
Sejarah
mencatat bahwa sejak awal Masehi, pedagang-pedagang dari India dan Cina sudah
memiliki hubungan dagang dengan penduduk Indonesia. Banyak ahli sejarah
cenderung percaya bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 berdasarkan
Berita Cina zaman Dinasti Tang. Berita itu mencatat bahwa pada abad ke-7,
terdapat permukiman pedagang muslim dari Arab di Desa Baros, daerah pantai
barat Sumatera Utara. Abad ke-13 Masehi lebih menunjuk pada perkembangan Islam
bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Pendapat ini
berdasarkan catatan perjalanan Marco Polo yang
menerangkan bahwa ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 dan berjumpa
dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam. Bukti yang turut memperkuat
pendapat ini ialah ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai, Sultan Malik
al-Saleh yang berangka tahun 1297 M.
Jika
diurutkan dari barat ke timur, Islam pertama kali masuk di Perlak, bagian utara
Sumatra. Lalu berlanjut ke Kerajaan Samudra Pasai. Di Jawa, Islam masuk melalui
pesisir utara Pulau Jawa.
Pelacakan
lebih jauh menemukan bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah, ternyata telah
terjadi verbastering dari nama Cina ke nama Jawa. Nama Bong Ping Nang
misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan
pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama
lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3 dan it = 1;
maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31
tahun.
Para sejarahwan
yang menyangsikan kontribusi Cina-muslim atas Islamisasi Jawa, umumnya
berangkat dari kenyataan bahwa aliran keagamaan yang dibawa dan dikembagkan
oleh Cina-muslim adalah mazhab Hanafi yang berciri rasionalistik. Sedangkan
penduduk muslim di Indonesia mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i. Alasan paling
mungkin untuk menjelaskan fenomena ini adalah telah terjadi perpindahan mazhab
beberapa muslim dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas
sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab Hanafi
yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih sesuai dengan
semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi
lokal.
Dalam format yang berbeda,
peran para pedagang lokal dalam mengembangkan Islam kita temukan pada organisasi
Serikat Dagang Islam (SDI) yang lalu menjadi Sarekat Islam (SI). Akibat kuatnya dominansi pedagang Tionghoa perantauan
yang salah satunya menguasai penjualan bahan-bahan batik, para pedagang batik
pribumi merasa terdesak atau dirugikan. Untuk menghadapi itu, tahun 1911 para
pedagang batik Solo dibawah pimpinan H.
Samanhudi mendirikan SDI. Tujuan berdirinya adalah untuk memajukan
perdagangan, melawan monopoli pedagang Tionghoa, dan memajukan agama Islam [4].
Organisasi ini berkembang pesat karena bersifat nasionalis dan religius serta
secara langsung memperbaiki network
ekonomi. Cikal bakal organisasi ini telah dirintis semenjak 1909 untuk
menghimpun para pedagang Islam agar dapat bersaing dengan para pedagang asing
seperti pedagang Tionghoa, India dan Arab. Organisasi ini kemudian lemah ketika
disusupi dan mulai terlibat dalam politik
Alasan ke-45: Karena Para Wali
Pun Mengajarkan Tentang Bercocok Tanam dan Berketerampilan
Wali Songo dikenal dengan metode dakwah kultural, bukan
penaklukan. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama
lain mempunyai keterkaitan ikatan darah atau hubungan guru-murid. Maulana
Malik Ibrahim adalah wali yang tertua, dimana Sunan Ampel adalah anaknya,
sementara Sunan Giri adalah keponakannya.
Para
wali berdakwah di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad
16. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat dengan mengenalkan
berbagai peradaban baru mulai dari kesehatan, bercocok tanam, berniaga,
kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan, hingga pemerintahan.
Dari
sisi berekonomi, Maulana Malik Ibrahim saat pertama menginjakkan kaki di
wilayah sekitar Gresik, aktivitas pertama yang dilakukannya adalah berdagang
dengan cara membuka warung [5].
Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu, ia juga
mengobati masyarakat secara gratis dan mengajarkan bercocok tanam. Ia berupaya merangkul masyarakat bawah yang meruapakan
kasta-kasta yang disisihkan dalam Hindu saat itu.
Sunan Giri menjadikan pesantrennya tak hanya sebagai
tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan
masyarakat. Sementara,
Sunan Bonang dikenal sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di
tempat-tempat tandus. Selain itu, ia juga
menggubah gamelan Jawa dengan memberi nuansa baru dengan menambahkan instrumen
bonang. Lagu "Tombo Ati" yang
sangat terkenal tersebut adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Mirip
dengan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang
bersahaja yang suka menolong. Di pondok
pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Salah satu petuahnya adalah: ”berilah
tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang
telanjang”.
Sunan Muria suka tinggal di daerah sangat terpencil dan
jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Ia berbaur dengan rakyat
jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang
dan melaut. Ia dikenal piawai dalam memecahkan masalah, sehingga ia pernah
menjadi penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530).
Terakhir, Sunan Gunung Jati secara langsung memimpin pemerintahan, dalam
posisinya sebagai putra raja. Dalam
berdakwah, ia mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan
yang menghubungkan antar wilayah.
Para
wali, meskipun masing-masing tidak hidup sezaman, tetapi dalam pemilihan
wilayah dakwahnya mempertimbangkan faktor geostrategi sesuai kondisi zamannya.
Mereka mengambil tempat kota bandar perdagangan atau pelabuhan. Dalam posisi
ini mereka dapat pula disebut sebagai “penyebar Islam yang berdagang”.
Mereka tidaklah menjauhi kehidupan masyarakat seperti halnya "bhiksu" dan bertapa
di tempat sepi. Mereka sangat aktif dalam perekonomian, pekerjaan sosial
yang riel, dan juga di pemerintahan dan berkesenian.
*****
[2] Januari
2009. Kontroversi
Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia. Diambil dari Al-Ramhurmuzi,
“‘Aja’ib al-Hind”. Ensklopedi Indonesia.
Cet IV. 1999. http://arievanick.blogspot.com/2009/01/kontroversi-sejarah-masuknya-islam-ke.html
[4] Sutomo. Mata
Pelajaran IPS: Zaman Pergerakan Nasional. http://media.diknas.go.id/media/document/5161.pdf
[5]
“Wali Songo”. http://tagtag.com/walisongo/?SID=r6e1v6tb9r5018vvru9p60fla7.
Juga ada di http://www.geocities.com/setyo79/setyo15.htm