Alasan ke-51: Karena hanya dengan bekerja keras kita dapat mendahului
yang lain
Tengoklah
kisah si maestro Bill Gates and Paul Allen. Pada saat itu sekolah Lakeside baru saja membeli satu unit komputer. Ini
tentu kejadian yang biasa yang juga terjadi di sekolah manapun. Bedanya
adalah, hanya dalam waktu seminggu, Bill Gates, Paul Allen dan beberapa siswa
lainnya (sebagian besar nantinya menjadi programmer
pertama Microsoft) sudah menghabiskan semua jam pelajaran komputer untuk satu
tahun dengan mengeksplorasi komputer sekolah tersebut. Tidak lama kemudian mereka
mendirikan perusahaan perangkat lunak. Mereka mempunyai mimpi tersedianya
sebuah komputer di setiap meja tulis dan di setiap rumah tangga. Hasilnya kita
bisa buktikan saat ini, dimana PC telah menjadi benda sehari-hari biasa. Hasil lainnya,
Bill Gates menjadi orang terkaya di dunia.
Dalam salah satu situs[1]
disebutkan “Bill strongly believes in
hard work. He believes that if you are intelligent and know how to apply your
intelligence, you can achieve anything. From childhood Bill was ambitious,
intelligent and competitive”. Inilah yang membantu pencapaian posisinya. Karena tak puas dengan metoda sekolah biasa,
ia banyak kursus di luar dan belajar
bersama teman-teman membentuk Programmers Group tahun 1968. Melalui media
inilah ia bisa melaju lebih cepat dibandingkan rekan-rekan sebayanya. Namun, kuncinya tetap pada
kerja keras. “Bill Gates worked really hard in the early days, so now he deserves
his fortune” [2].
Tekad yang diucapkan tokoh Said
dalam novel Negeri Lima Menara relevan
pula. “Aku akan berjuang di atas rata-rat yang dilakukan orang lain. Yang
membedakan orang sukses dan tidak adalah usaha. Perbedaan antara juara satu
lari 100 meter dunia hanya 0,01 detik. Jarak juara renang dengan saingannya
mungkin hanya satu ruas jari. Jadi, untuk menjadi juara dan sukses, kita hanya
butuh usaha sedikit lebih baik dari orang kebanyakan [3]”.
Semangat yang menjadi pembakar mereka adalah ungkapan dalam bahasa Arab man jadda wajada (= siapa yang bersungguh-sungguh
akan berhasil).
Alasan ke-52: Karena kerja
keras dan kesuksesan tidak mengenal usia
Sebagai teladan, kita bisa contoh kegigihan
Kolonel Sanders. Ialah pendiri waralaba ayam goreng terkenal KFC (Kentucky Fried Chicken) yang memulai
usahanya di usia 66 tahun [4]. Saat
itu, pensiunan angkatan darat Amerika ini tidak memiliki uang sepeser pun
kecuali dari tunjangan hari tuanya. Namun dia memiliki keahlian dalam memasak. Ia menawarkan resep masakannya ke lebih dari 1.000
restoran di negaranya tanpa lelah. Pada akhirnya jalan telah
terbuka baginya.
Contoh lain adalah Raymond Kroc yang memulai usaha
Fastfood McDonald di usia 52 tahun [5]. Di
tahun 1954, ia hanya seorang salesman mesin susu kocok. Ketika melihat kios
hamburger di San Bernardino, California, ia membayangkan bahwa fast food akan menjadi sebuah industri
baru yang besar. Raymond Kroc lalu mendirikan McDonald’s Corporation, dan membuktikan
dirinya sebagai seorang pelopor industri yang tidak kalah kemampuannya dengan
Henry Ford. Dia merevolusikan industri restoran dengan memberlakukan disiplin
atas produksi hamburger, kentang goreng, dan susu kocok. Dengan mengembangkan
sistem operasi dan pelayanan yang efisien, dia memastikan bahwa kentang goreng
yang dibeli pelanggan di kawasan Puncak Bogor akan sama persis dengan yang
dibeli di New York.
Ray Kroc telah menciptakan salah satu merek yang
paling kuat sepanjang masa. Fenomena ini mewakili fenomena baru industri makanan
cepat saji sehingga menghasilkan satu gaya hidup. Oleh sosiolog George Ritzer
hal ini disebut fenomena McDonaldization.
Istilah ini populer dari bukunya “The McDonaldization of Society”
terbit tahun 1993 yang merupakan sebuah telaah sosiologi konsumen. Pendiri
restoran ini dinilai telah menjadi pelopor karakter makanan cepat saji di dunia
dengan menerapkan rasionalitas dan menajemen saintifik.
Jika Max Weber
menggunakan birokrasi sebagai model untuk representasi perubahan dalam
masyarakat, Ritzer melihat fast-food restaurant sebagai representatif
perubahan masyarakat kontemporer. George Ritzer menganalogikan McDonalisasi
untuk menggambarkan proses rasionalisasi pada masyarakat dari sosiologi
konsumen dengan ciri cepat dan efisien, semua bisa dikalkulasi, predictable, dan uniformity.
Pertumbuhan perusahaan yang spektakuler datang
dari pemberlakuan standar yang keras di seluruh sistem. McDonal telah mengubah
lansekap budaya bangsa dan menempa sebuah industri yang termasuk di kalangan
ekspor Amerika yang terbesar. Keberhasilan McDonald ditiru secara luas bahkan oleh
manajer dan eksekutif bidang apapun yang berusaha mencapai efisiensi maksimal.
Prinsip dasar pelayanan yang dijalankan adalah dengan memecah-mecah pekerjaan
menjadi bagian-bagian, dan kemudian terus-menerus merakitnya kembali dan
menyempurnakan banyak langkah sampai sistem berjalan tanpa kendala. Sebagaimana
kata Kroc: “Kesempurnaan sulit sekali
dicapai, namun kesempurnaanlah yang saya inginkan dalam McDonald’s”. Untuk
itu, ia merasa perlu memiliki laboratorium penelitian dan pengembangan untuk
mengembangkan mekanisme memasak, membekukan, menyimpan, dan menyajikan secara
efisien.
Alasan ke-53: Karena
inti kehidupan adalah gerak, dan inti ibadah juga gerak.
Dunia hidup karena gerak oleh seluruh isinya. Bukan sekedar gerak, tapi gerak
yang berkeringat, yang bersusah payah. Ali Shari’ati, seorang doktor sosiologi
dan filsafat alumni Perancis yang aktif dalam pergerakan revolusi Iran tahun
70-an, menyingkap pertanyaan kenapa hijrah itu begitu penting. Mengapa tahun Islam dimulai dari saat nabi
hijrah, bukan dari tahun kelahiran nabi ? Ternyata hijrah (pindah, migrasi)
tidak hanya merupakan fenomena geografis dan politik, tapi secara sosiologis
hijrah itu merupakan fenomena fundamental dalam kemajuan peradaban. Setiap
kemajuan peradaban, dari Summeria sampai dengan Amerika, selalu diawali dengan
peristiwa hijrah. Dan, tak satu pun suku-suku yang menetap (tidak berhijrah)
bisa mencapai kemajuan dalam peradabannya. Tidak hanya itu, siapa yang rajin
berhijrah, berpergian, bertualang, dan semacamnya; maka ia diakui dan dihargai.
Lihat Inggris yang lalu bahasanya menjadi bahasa dunia.
Banyak tulisan yang menyebut, kita, dan masyarakat Timur umumnya, dari akar
kulturnya kurang senang dengan kerja keras. Salah satunya, hal ini tergambar dari bahasa kita. Dalam satu tulisannya,
ahli bahasa Samsudin Berlian [i]
menyebutkan bahwa jika di negeri sana mereka menggunakan ”runs” untuk sesuatu yang bekerja, kita hanya menggunakan kata
”berjalan”. ”She runs for election”:
digunakan untuk menggambarkan seorang kandidat presiden harus berkerja keras agar menang dalam Pemilu.
Run digunakan untuk sesuatu yang
aktif, berfungsi, berdampak, dan efektif. The
system is running bermakna sistem bersangkutan telah memberikan hasil. Ini
semua menuntut kerja keras, karena runs
(=berlari) jelaslah suatu aktivitas yang
lebih sungguh-sungguh, berkeringat, dan ngos-ngosan.
Uniknya, di Indonesia run tersebut diterjemahkan menjadi
”berjalan” saja, bukan ”berlari”. The
machine is running kita terjemahkan menjadi ”mesin berjalan”. To run the business kita terjemahkan
menjadi menjalankan usaha. Justeru, kata “lari” bermakna buruk dalam khasanah
bahasa kita. Jika untuk usaha kita analogkan dengan “menjalankan uang”,
sedangkan “melarikan uang” bermakna sangat negatif. Menurut penulisnya, ini lebih
kurang berarti bahwa untuk hidup kita orang Indonesia tidak usah bekerja terlalu
keras.
Selaras dengan ini, kita sering temukan bahwa kata work digunakan cukup luas untuk berbagai situasi. Seorang mahasiswa
misalnya menyebut ”I must to work”
saat ia mau ke kampus.
Keterpesonaan kita pada kultur Barat, yang memang lebih dalam berbagai hal,
telah banyak diungkap. Surat Sutan Sjahrir kepada isterinya yang ditulis di
Banda Neira 31 Desember 1936 bisa kita simak. “Barat” bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang
mendesak maju, kehidupan dinamis. Itulah sifat Faust, sifat yang kusukai, dan
aku yakin bahwa hanya Barat – yaitu dalam pengertian ini – yang bisa melepaskan
Timur dari perbudakannya.
Barat
dalam artian ini lebih kurang adalah kapitalisme dalam wujud spiritnya. Max
Weber menyebut spirit itu adalah bekerja keras (hard work), berhemat (thriftiness)
dan menunda kenikmatan (deferment of
gratification). Waktu adalah uang, bekerjalah dengan giat, berhematlah,
tepati waktu, berbuatlah adil, dan mencari uang adalah tujuan yang syah dalam
dirinya. Adalah syah pula mengumpulkan keuntungan secara rasional dan
sistematis. Semangat ini datang dari calvinisme. Jadi, mohon dibedakan bahwa semangat
kapitalisme memang diakui datang dari Calvinisme, namun bukan struktur
kapitalisme. Calvinisme bertanggung jawab hanya untuk kapitalisme awal, untuk seterusnya
kapitalisme jalan sendiri. Ada yang menyebut, sesungguhnya kapitalisme
merupakan konsekwensi tak terduga dari Etika Protestan. Menurut Weber sistem
gagasan Protestan melahirkan akibat yang unik di Barat, yaitu merasionalisasi
sektor ekonomi dan institusi lain. Namun, sistem agama di luar Barat justeru
menciptakan kendala struktural bagi rasionalisasi.
Asketisme duniawi calvinisme tidak menolak dunia. Paham
ini memerintahkan bekerja keras untuk menemukan keselamatan, setidaknya
tanda-tandanya. Mereka “meninggalkan dunia” dengan menguasai dunia. Bekerja
bukan tujuan, tapi tugas etis. Kerja yang tanpa henti, terus menerus, dan
sistematis dalam panggilan hidup duniawi adalah sarana tertinggi untuk mencapai
asketisisme. Ini berbeda dengan ”asketisisme dunia lain” yang meninggalkan
dunia sekuler dengan menahan nafsu.
Kita sendiri sesungguhnya bagaimana? Pada pertengahan tahun 1970-an, Koentjaraningrat pernah menulis secara populer tentang beberapa sikap mental bangsa Indonesia. Pertama, suka menerabas, yakni tindakan untuk mencapai tujuan sesegera mungkin tanpa berusaha setahap demi setahap. Sifat lain adalah tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, mengingkari janji. Satu dekade kemudian, Mochtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki juga melihat sifat manusia Indonesia yang jauh dari disiplin, tidak bertanggung jawab, serta tidak memiliki rasa penyesalan atau malu ketika berbuat salah. Bahkan, Lubis menambahinya dengan sifat-sifat munafik, otoriter, egoistik, hipokrit, materialistik, mendahulukan prestise daripada prestasi, hipokrit, dan oportunistik [ii].
Ini terjadi tampaknya karena nilai budaya kita yang berorientasi vertikal. Orang berkerja untuk ”atas”. Kepercayaan dan pengendalian di antara warganya rendah. Ini bentuk budaya yang berstruktur longgar (loose structure) yang tidak banyak memiliki norma dan mekanisme yang mengatur relasi sosial horizontal untuk saling mengontrol.
Namun, ahli lain tidaklah semurung itu. Alatas, guru besar sosiologi di
Universitas Nasional Singapura, dalam buku “Mitos Pribumi Malas” yang meneliti
orang Jawa, Melayu, dan Filipina dalam era kapitalisme kolonial abad ke-16
sampai ke-20; menyebut ini hanya mitos yang sengaja dihidupkan penjajah[iii]. Mitos bahwa kita
pemalas disebarkan oleh kaum penjajah di seluruh wilayah Eropa. Orang-orang pribumi dari ketiga daerah jajahan ini
digambarkan sebagai orang lamban, dungu, terbelakang, curang, berinteligensi
tidak lebih dari anak-anak umur 12-14 di Eropa. Citra ini dipaparkan dalam
tulisan para pengarang, administrator, dan pengunjung di antara kaum penjajah
secara terus-menerus, sehingga menjadi mitos di Eropa. Perilaku ini
sesungguhnya merupakan refleksi sikap angkuh dan anggapan diri kaum penjajah
sebagai ras yang superior di atas kaum pribumi. Selanjutnya, mitos itu
diperlukan untuk mengesahkan politik kerja paksa, jual paksa, dan tanam paksa
yang mereka terapkan terhadap kaum pribumi di tanahnya masing-masing.
Kaum penjajah tidak berusaha melihat kenyataan bahwa
para pribumi itu dengan sendirinya bekerja keras apabila mereka berada dalam
keadaan yang mereka rasakan adil dan penuh dengan kemanusiaan. Sikap acuh tak
acuh terhadap sistem paksa mereka adalah suatu cara memprotes dari pihak
masyarakat pribumi. Sayangnya lagi, citra negatif mengenai masyarakat pribumi
itu diperkuat pula oleh golongan elit lokal. Akhirnya, penguasa kolonial asing
dan penguasa pribumi bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat atas dasar anggapan
bahwa orang-orang pribumi itu malas dan tidak suka bekerja. Mitos ini termakan
pula sampai ke era setelah kemerdekaan.
Pada tahun 1971, UMNO menerbitkan brosur “Revolusi
Mental” untuk disebarkan kepada para anggotanya. Isi brosur tersebut
adalah agar mereka mengubah cara
berpikir dan sikapnya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Menurut brosur partai UMNO itu, masyarakat Melayu kurang berani berjuang demi
kebenaran, berwatak fatalistis, tidak berpikir rasional, lebih sering mengikuti
perasaan, tidak berdisiplin dan tidak menepati janji atau waktu, ingin lekas
kaya tanpa upaya yang memadai, dan seterusnya. Mitos Pribumi Malas ini
tampaknya masih hidup di Eropa, dan bahkan di kalangan masyarakat kita sendiri.
Demikian kata Alatas.
Perilaku ilmuwan Eropa seperti ini dikritik habis oleh
kalangan postkolonialis. Salah satu tokohnya adalah Edward Said seorang filsuf perintis
studi poskolonialisme keturunan Palestina
lahir tahun 1935. Dalam "Orietalisme", Said,
dengan meminjam pendekatan Foucault, membongkar cara
pandang dunia Barat
atas dunia Timur
selama ini yang selalu dalam upaya penguasaan dan penindasan. Barat selalu
memandang Timur bermutu lebih rendah, sehingga perlu dijadikan sama dengan
Barat yang "lebih maju”. Ini pula yang menjadi basis spirit kalangan
developmentalisme.
Menurut kalangan postkolonial, Timur yang dikenal
dunia direpresentasikan atau dihadirkan oleh Barat belaka. Lewat tulisan, novel
atau karya sastra, kajian disiplin akademik, dan lain-lain; Timur menjadi objek
pembacaan, objek pemahaman, objek kajian, objek perjalanan dan objek penulisan
dari para penulis Barat. Karena Timur adalah hasil representasi, maka
konstruksi ke-Timur-an itu sendiri bukanlah “the
real Orient”. Timur adalah entitas yang direpresentasikan dalam sudut
pandang, perspektif, kesadaran dan bias ideologi pengamat atau pembaca Barat. Sikap pengetahuan ini diproduksi, disebarkan dan
dipelihara melalui sekolah, buku, perpustakaan, produk-produk budaya, dan
pemerintah. Begitu pengetahuan tentang Timur diproduksi oleh kalangan Orientalis,
ia langsung diafirmasi, diperkuat dan menjadi faktual oleh administrasi
kolonial.
Menurut Said, orientalisme adalah doktrin politik yang
diarahkan kepada Timur. Timur dihadirkan (direpresentasikan) dalam
sifat-sifatnya yang despotik, sensual, pasif, terbelakang, mentalitas
menyimpang, dan sebagainya. Pandangan semacam ini sudah terinstitusionalisasi
sejak abad ke-18 sebagai satu kebenaran. Konsekuensinya, para pengamat Eropa
cenderung rasis, imperialis dan etnosentrik terhadap Timur.
[i] Berlian, Samsudin.
”Bahasa Kampanye” Kompas 10 Juli 2009 hal. 15.
[ii] Dari hasil penelitian mengenai masyarakat Indonesia mutakhir, di antaranya dari Hans-Dieter Ever (2000), Robert Hefner (1999, 2002), Niels Mulder (1999, 2000), Donald K Emerson (2000), Hans Antlaf (2000), Henk Schulte (2002), dan James Siegel (2001), ternyata budaya yang berstruktur longgar dan hubungan sosial yang paternalistik di negeri ini masih menonjol. (Dalam: Budi Radjab. Ketika Budaya Ikut Bersalah. Kompas 7 februari 2009).
[iii] Selo Soemardjan. Mencegah Timbulnya Mitos Baru. http://majalah.tempointeraktif.com/......
diambil dari buku Syed Hussein
Alatas. 1988. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu Dan
Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial (1st edition). Penerbit: LP3ES, Jakarta. 358 hal.
Alasan ke-54: Karena para Ilmuwan Islam telah mencontohkan
kepada kita sebagai peletak dasar-dasar ilmu modern
Kaisar
Hirohito sehabis meledaknya bom hiroshima dan Nagasaki, bertanya kepada
pembantunya bukan berapa tentara yang masih hidup, tetapi berapa guru yang
masih hidup. Kita lalu bisa menyaksikan bagaimana kemajuan fantastis yang
dicapai Jepang dalam tempo teramat pendek. Betapa mereka sangat menghargai guru dan ilmu pengetahuan. Kualitas suatu bangsa dilihat dari kemampuannya menerapkan ilmu
pengetahuan mereka, atau pendayagunaan ilmu itu, dalam mengelola alam hingga
lebih bermanfaat dan bernilai guna. Inilah
indikator utama peradaban.
Sementara
saat ini sebagian kita masih cenderung memaknai ilmu sebatas ilmu agama, para
ilmuwan muslim sejak dulu telah mendobrak kekakuan ini dengan kerja nyata. Tidak
ada larangan untuk mempelajari ilmu apa pun, kecuali ilmu sihir. Kepada siapa
berguru pun tidak dibatasi. Rasulullah pernah meminta seorang sahabat untuk
mempelajari bahasa orang Yahudi (Ibrani/Hebrew), dan tentu saja gurunya orang
Yahudi [9]. Semua ilmu datang dari Allah. Agar menjadi rahmatan
lil alamin muslim harus menguasai seluruh ilmu.
Islam
bahkan dengan tegas menyebut bahwa mereka yang mati di jalan menuju ilmu, bisa
dikategorikan mati syahid. Mereka yang berilmu akan ditinggikan beberapa
derajat bersama orang-orang yang beriman (Al Mujadilah: 11). Untuk perintah “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina“, tentu saja maksudnya bukan ilmu agama, tapi ilmu lain semisal
keterampilan, sosial masyarakat, bagaimana menata negara, dan ilmu tentang
kesehatan dan obat-obatan.
Bagaimana muslim memaknai
ilmu, perintah berilmu, dan mengembangkan ilmu telah dibuktikan generasi muslim
sebelum kita. Perintah ini telah
melahirkan pakar-pakar ilmu pengetahuan dari kalangan muslim. Ilmu-ilmu tersebut telah menjadi dasar pengetahuan
ilmu-ilmu baru.
Dr. Fuat
Sezgin, dari Institut Sejarah Sains Arab-Islam, Universitas Johann Wolfgang,
Goethe, Frankfurt, Jerman; mengatakan bahwa kehebatan ilmuwan Islam ratusan
abad silam adalah kehebatan yang tidak ternilai. Orang-orang Eropa belajar
berbagai cabang pengetahuan dari para pakar Islam tersebut.
Di bidang kedokteran, ada Muhammad bin Zakaria atau dikenal dengan Al-Razi
ilmuwan kelahiran Iran penemu teknik jahit luka dan orang pertama yang
berhasil membedakan antara penyakit cacar dengan campak. Muridnya di antaranya
yang sangat terkenal adalah Ibnu Sina.
Di bidang pendidikan ada
Al-Amidi yang penemu Huruf Braille. Dunia boleh jadi hanya mengenal Louis Braille (1809-1852)
[10] sebagai satu-satunya penemu sistem penulisan bagi
kalangan tuna netra. Padahal, 600 tahun sebelum Braille, profesor Ali Ibnu Ahmed Ibnu Yusuf Ibnu Al-Khizr Al-Amidi
telah merintis penciptaaan sistem penulisan bagi orang buta itu. Sejak terlahir
ia sudah dalam kondisi buta. Keterbatasan ini tak menyurutkan semangatnya untuk
belajar dan terus menggali ilmu, sehingga ilmuwan asal Suriah itu pun
termasyhur sebagai ahli hukum dan pakar bahasa asing. Keberhasilan Al-Amidi
nampaknya musnah dalam huru-hara yang melanda wilayah Irak tahun 1401 M, ketika
Kota Baghdad dihancurkan pasukan penyerang.
Di bidang matematika, khususnya algoritma, ditinjau dari
asal-usul katanya, kata ”algorism” adalah sebutan untuk cara orang yang
menghitung dengan angka Arab, dimana orangnya disebut ”algorist’. Setelah ditelusuri, para ahli sejarah matematika menemukan
asal kata tersebut yang berasal dari nama penulis buku Arab terkenal, yaitu Abu
Abdullah Muhammad Ibnu Musa Al-Khuwarizmi (770-840 M). Ahli matematika dari
Uzbekistan ini di literatur barat lebih terkenal dengan sebutan Algorism. Al-Khuwarizmi
juga penemu dari beberapa cabang ilmu matematika yang dikenal sebagai astronomi
dan geografi. Teori aljabar juga adalah penemuan dan buah pikiran Al-Khuwarizmi.
Nama aljabar diambil dari bukunya yang terkenal dengan judul Al Jabr Wa Al
Muqabilah. Ia mengembangkan tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi
sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi.
Dia menggunakan pendekatan sistematis dan logis dengan
memadukan pengetahuan dari Yunani dengan Hindu ditambah idenya sendiri dalam
mengembangkan matematika. Khuwarizmi mengadopsi penggunaan angka nol dalam ilmu
aritmetik dan sistem desimal. Selain itu, ia juga memberi sumbangan dalam
pembuatan peta dunia.
Alasan ke-55: Karena ilmuwan muslim telah menunjukkan bahwa berkarya
nyata itulah amal yang sejati
Ilmuwan-ilmuwan muslim adalah polymath karena menguasai beberapa bidang ilmu sekaligus. Di
antaranya adalah Al Khuwarizmi yang menguasai matematika, astronomi, dan
geografi; Al Kindi mumpuni dalam bidang filsafat, matematika, kedokteran,
fisika, optik, astronomi dan metalurgi; lalu ada Ibnu Sina yang tidak hanya
paham tapi menjadi pendiri ilmu kedokteran, matematika, astronomi dan filsafat;
serta Ibnu Rushd yang juga menguasai filsafat, hukum, kedokteran, astronomi dan
teologi.
Kita mungkin banyak yang belum tahu bahwa peta dunia
pertama diciptakan seorang muslim. Dari penelusuran ditemukan bahwa peta dunia
terlengkap yang dibuat tahun 1513 disusun oleh seorang pelaut muslim benama Piri
Reis. Peta yang dibuat diatas sepotong kulit rusa berukuran 90×65 cm tersebut
benar-benar digambarkan lengkap dan cukup detail. Bahkan hasil perbandingan
dengan pemotretan dari angkasa luar yang dilakukan menggunakan satelit saat ini
memiliki bentuk yang sangat mirip. Ia menyatukan beberapa peta yang dibuat oleh
para pelancong dari berbagai negara, yaitu dari 34 sumber yang berbeda. Karya
tersebut berasal dari zaman Alexander sebanyak 20 peta, 8 peta dari karya ahli
geografi muslim, 4 peta dari Portugis dan 1 peta dari Columbus.
Mulanya para sejahrawan tidak percaya akan bukti
keberadaan peta tersebut. Di peta sebelumnya yang terlihat jelas hanyalah
kawasan Laut Timur Tengah, sementara kawasan lainnya seperti benua Afrika dan
Amerika tergambar sangat berbeda. Baru setelah gambar hasil pemotretan satelit
jaman modern ini dipadukan dengan peta kuno karya muslimin bangsa Turki
tersebut, sangat nyata kebenarannya bahwa gambar yang ditorehkan dalam kulit
tersebut memang sangat detail dan terperinci.
Dari
khasanah ilmu eknomi, buku Schumpeter[11] menjelaskan
sejarah perkembangan ekonomi yang terjadi di dunia. Hal yang menarik adalah
setelah akhir masa keemasan Graceo Roma di abad ke-8 Masehi, sangat sedikit
sekali ditemukan pemikiran dan teori ekonomi yang signifikan dihasilkan. Masa
ini berjalan hingga abad ke-13 yang ditandai dengan masa St. Aquinas (1225-1274
M). Selama kurang lebih lima abad tersebut, tidak begitu banyak teori dan karya
ekonomi yang dihasilkan oleh para pemikir di dunia Barat. Schumpeter
menyebutnya sebagai Great Gap (jurang
besar ).
Bila
diteliti lebih dalam, ternyata kurun tersebut adalah masa kegelapan dunia barat
(dark age)
terhadap dunia keilmuan dan sains, ketika gereja membatasi ilmuwan berkarya. Bersamaan
dengan itu, ternyata abad kegelapan yang dialami oleh dunia Barat justru
berbanding terbalik dengan perkembangan keilmuan pada dunia Islam. Pada masa
tersebut adalah masa keemasan umat Islam, dimana banyak para ilmuwan muslim
berhasil memberikan karya-karya ilmiah yang signifikan, salah satunya dalam
perkembangan dunia ilmu ekonomi.
Beberapa
ilmuwan muslim bidang ekonomi dengan karya fenomenal di antaranya adalah Ibnu
Taimiyyah, Ibnu Rushd, Ibnu Khaldun, dan Al Ghazali. Ibnu Taimiyyah menelorkan teori
yang dikenal dengan price volatility
atau naik turunnya harga di pasar yang lalu menjadi dasar hukum permintaan dan
penawaran (supply and demand).
Ibnu Rushd
[12] disebut
menghasilkan sebuah teori dengan memperkenalkan fungsi keempat dari uang yaitu
sebagai alat simpanan daya beli dari konsumen, yang menekankan bahwa uang dapat
digunakan kapan saja oleh konsumen untuk membeli keperluan hidupnya.
Sebelumnya, Aristoteles menyebut fungsi uang hanya tiga, yaitu: sebagai alat
tukar, alat untuk mengukur nilai, dan sebagai cadangan untuk konsumsi di masa
depan. Lebih jauh, Ibnu Rushd juga membantah Aristoteles tentang teori nilai
uang, dimana nilainya tidak boleh berubah-ubah.
Ahli
lainnya adalah Ibnu Khaldun yang menghasilkan teori pengembangan dan
pembangunan sosial dan ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan. Umer Chapra
(2000), menyatakan bahwa Ibnu Khaldun berhasil memberikan pencerahan pada dunia
ekonomi, dimana peran negara sangatlah penting dalam pembangunan sosial. Ibnu
Khaldun menekankan bahwa syariah
tidak akan tegak jika tidak melalui peran negara atau penguasa, sementara negara
tidak akan berjalan baik tanpa adanya implementasi hukum syariah. Negara
atau pemerintahan tidak akan berjalan baik tanpa adanya khalifah.
Keberlangsungan hidup khalifah atau manusia tidak akan berjalan tanpa adanya
kapital atau harta (al maal). Harta
didapatkan dari pembangunan yang signifikan (imarat),
dimana pembangunan tidak akan berjalan tanpa adanya keadilan, dan keadilan
adalah salah satu kriteria dalam penghisaban manusia oleh Allah SWT nantinya.
Maka, menurut Ibnu Khaldun, penerapan syariah pada negara tidak akan tegak
tanpa didasari oleh keadilan di bidang sosial dan ekonomi.
Ibnu
Khaldun juga merupakan tokoh utama dalam sosiologi. Di perpustakaan
universitas-universitas besar, bukunya ”Al-Muqaddimah” ditempatkan satu rak
dengan buku-buku pendiri sosiologi lain. Dalam beberapa hal, pemikirannya
sejajar misalnya dengan penjelasan sosiolog klasik Emile Durkheim. Ia
menteorikan bagaimana tahapan perkembangan peradaban masyarakat, politik, sifat
dan peran berbagai profesi, serta fungsi perdagangan dalam ekonomi masyarakat.
Tokoh
selanjutnya adalah Al Ghazali yang menyatakan bahwa kebutuhan hidup manusia
terdiri dari tiga, yakni kebutuhan primer (darruriyyah),
sekunder (hajiat),
dan kebutuhan mewah (takhsiniyyat).
Teori hirarki kebutuhan ini kemudian diadopsi William Nassau yang menyatakan
bahwa kebutuhan manusia itu terdiri dari kebutuhan dasar (necessity), sekunder (decency),
dan kebutuhan tersier (luxury).
Sementara, Ibnu Sina atau Avicenna
adalah seorang tokoh cendekiawan muslim yang besar di bidang kedokteran,
seorang ilmuwan yang magnum opus-nya berjudul Canon (al-Qanun fi
al-Tibb) menjadi buku teks kedokteran di universitas-universitas Eropa
selama lebih dari 5 abad. Beliau juga seorang geologis. Lahir di daerah
Bukhara, Asia Tengah, ia mampu menghafal Al-Qur’an pada usia 10 tahun, dan menjadi
dokter di usia 17 tahun. Ibnu Sina sesungguhnya seorang generalis (polymath), dan menyumbang pula untuk penemuan-penemuan
lainnya di bidang astronomi, fisika, matematika, kimia dan bahkan musik. Di
bidang geologi, temuan Ibnu Sina di bidang mineralogi mengilhami prinsip superposisi yang ditemukan Nicolaus Steno, fisikawan Denmark,
tahun 1669.
Ibnu Sina sering berkorespondensi dengan ilmuwan alam
terbesar muslim Al-Biruni. Abu Raihan Muhammad Al-Biruni lahir di daerah
Uzbekistan pada tahun 973 Masehi, menulis lebih dari 200 buku hasil pengamatan
dan percobaannya, yang setara dengan sebanyak 13 ribu lembar folio. Para ahli
sejarah menyebut masa keemasan ilmu pengetahuan saat itu sebagai “abad
Al-Biruni”. Di bidang geologi, karya terbesar Al Biruni adalah pada subyek mineralogi, berjudul Gems (Kitab-al-Jamahir).
Beliau mendeskripsikan lebih dari 100 mineral lengkap dengan varian, genesa,
karakteristik dan nilai ekonomisnya. Beliau pula yang menemukan cara menentukan
berat jenis secara akurat untuk 18 jenis mineral penting. Pada subyek geomorfologi, Al-Biruni meneliti
karakteristik Sungai Gangga dari sumbernya di pegunungan Himalaya hingga ke
Delta Gangga-Brahmaputra di tepi Samudera Hindia.
Di bidang paleontologi,
Al-Biruni melakukan pengamatan pada fosil-fosil yang ada di lapisan batuan di
India dan menyimpulkan bahwa fosil-fosil tersebut berasal dari laut. Masyarakat
Barat di kemudian hari lebih mengenal prinsip ini sebagai yang ditemukan oleh Leonardo da Vinci pada abad ke-16. Al
Biruni menghasilkan beragam karya orisinil lainnya di bidang geografi,
kartografi, botani, astronomi, fisika, matematika, kedokteran, sosiologi dan
ilmu sejarah. Sebagian ahli sejarah bahkan menempatkan Biruni sebagai ilmuwan
terbesar dunia sepanjang masa.
Buku karya Al Biruni ”India” (Kitab-al- Hind),
yang menjadi rujukan para peneliti India hingga 6 abad setelahnya, disusun
melalui risetnya yang pernah tinggal di India selama 20 tahun dan mengupas
secara rinci dan masif kondisi geografi, sosial, budaya, bahasa dan keagamaan
masyarakat India. Sifat antusiasnya yang sangat besar terhadap ilmu juga
tergambar dari ungkapannya bahwa “Allah
itu Maha Mengetahui dan tidak menyukai ketidaktahuan”.
Disamping ilmuswan tersebut masih ada lagi Salman Al-Farisi
pembuat strategi perang kanal, dan meriam pelontar, Miqdad bin Amru pelopor
pasukan kavaleri berkuda modern pertama, Al-Nadim pelopor pembuat ensiklopedi
kebudayaan, Ma’mun Ar Rasyid pendiri perpustakaan umum pertama di dunia yang
dikenal dengan Darul Hikmah di Baghdad, Nizam
Al-Mulk pelopor pendiri universitas modern pertama di dunia yang dikenal dengan
Nizamiyyah, Al-Ghazali pelopor pembuat
klasifikasi fungsi sosial pengetahuan, Al-Khindi ahli ensiklopedi yang mengarang
270 buku, Al-Farabi ahli musik dan filsafat Yunani, Ibnu Thufail dokter dan filosof
yang menulis novel filsafat paling awal Risalah Hayy Ibn Yaqzan, Ibnu Al-Muqaffa
pengarang kitab ensiklopedia tentang hewan, Abu Wafa’ mengembangan ilmu trigonometri
dan geometri bola serta penemu table sinus dan tangen dan variasi dalam gerakan
bulan, serta Umar Khayyam yang berhasil memecahkan persamaan pangkat tiga dan
empat melalui kerucut-kerucut yang merupakan ilmu aljabar tertinggi dalam
matematika modern. Lalu ada lagi Al-Battani ahli astronom yang berhasil
menghitung jarak bumi ke matahari, alat ukur gata gravitasi, alat ukur garis
lintang dan busur bumi pada globe dengan ketelitian sampai 3 desimal,
menerangkan bahwa bumi berputar pada porosnya, mengukur keliling bumi.
Di bidang pertambangan ada Al-Razi yang berhasil
mendapatkan cara penyulingan minyak mentah, serta Banu Musa bersaudara
pengarang buku Al-Hiyal yang berisikan 100 macam mesin seperti pengisi tangki
air otomatis, kincir air dan sistem kanal bawah tanah, teknik pengolahan logam,
tambang, lampu tambang, teknik survei dan pembuatan tambang bawah tanah.
Di bidang musik ada Mawsili yang wafat tahun 850 M dan diakui sebagai ahli musik klasik dan dasar-dasar ilmu musik.
Di bidang musik ada Mawsili yang wafat tahun 850 M dan diakui sebagai ahli musik klasik dan dasar-dasar ilmu musik.
Alasan ke-56: Karena ilmuwan
muslim telah membukakan mata dan fikiran kita bahwa semua ilmu adalah ilmu
Allah
Penemuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern saat ini, sesungguhnya telah lama ditemukan kaum Muslim.
Demikian ujar guru besar Columbia University Prof. Dr. George Saliba, guru besar Universitas Arab dan Islam Universitas
Columbia dalam seminar di Government College University (GCU) [13]. Perkembangan ilmiah Islam merupakan hasil
interaksi sosial dan kondisi-kondisi politis di dalam masyarakat Islam. Filsafat
Islam telah mendorong ilmu pengetahuan dan telah mendukung perkembangan berbagai
disiplin-disiplin ilmu. Orientalis asal Skotlandia, William Montgomery Watt, mengatakan
bahwa Barat sangat berhutang budi pada Islam dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.
Islam tidak hanya melahirkan hal-hal yang bersifat teologi
saja, tapi lebih dari itu banyak melahirkan nilai-nilai pengetahuan dan
peradaban bagi manusia. “…Islam
is indeed much more than a system of theology, it is complete civilization”
[14]. Sementara,
Yusuf al-Qardhawi menyebut Islam sebagai suatu agama yang mempunyai
karakteristik universal, yang mencakup segala bentuk aktifitas manusia (Shumuliyatu al-Islam)
dengan tujuan akhir sebagai rahmatan
lil ‘alamin [15].
Islam telah membuktikan bahwa suatu peradaban akan dapat memberikan dampak yang
maslahat dan manfaat bila beriringan dengan nilai-nilai moral agama yaitu
nilai yang lahir dari keimanan.
Peradaban Islam sesungguhnya
penuh semangat eksperimen dan observasi. Ini adalah bidang pekerjaan yang hanya
bisa dijalankan bila manusianya punya motivasi tinggi, disiplin, tekun, dan
memiliki hasrat untuk menyumbang kepada kemajuan peradaban dunia. Sarjana-sarjana muslim lah yang merintis metode
eksperimen dan observasi yang kemudian diadopsi dan diteruskan Barat hingga
saat ini.
Sayangnya,
kurun yang gemilang ini hanya dimulai sejak masa turun al-Qur’an sampai abad ke-13
M. Yaitu periode sejak masa Nabi Muhammad dan disusul dengan periode Islam klasik yang
ditandai dengan kemajuan kegiatan kepustakaan Arab, pendirian tempat-tempat
belajar termasuk penerjemahan-penerjemahan bahasa Arab terhadap karya-karya
yang terkenal khususnya karya-karya Yunani, serta berbagai hasil pengajaran Islam dan kultur kosmopolitan. Abad-abad ini adalah
masa-masa yang gelap bagi Eropa, tapi merupakan abad-abad yang terang bagi
dunia peradaban Islam. Peradaban yang dibangun Islam berdiri di atas tiga nilai dasar [16],
yaitu nilai universal tentang tiadanya pemisahan antara unsur spiritual dan
non-spiritual, nilai iman sebagai pondasi membangun peradaban yang memberi
manfaat dan maslahat bagi ummat tanpa batas waktu dan tempat, serta nilai
eksperimen dan observasi sebagai implementasi dari konsep fikr dalam memahami
segala gejala alam.
Alasan ke-57: Karena amal
terwujud bila dipraktekkan, bukan dihafalkan belaka
Mereka semua,
para ilmuwan di atas, telah menunjukkan bahwa beriman adalah beramal nyata. Ini
sejalan dengan pelajaran KH Ahmad Dahlan kepada santrinya[17].
Di langgar Kidul, Kauman, Yogyakarta, 100 tahun silam, KH Ahmad Dahlan bersila
takzim. Belasan santri duduk melingkar menghadap sang kiai. Malam itu, seperti
juga pada pengajian sebelumnya.
Kiai Dahlan
lagi-lagi mengajarkan surat Al-Ma'un, yang antara lain berisi
perintah menyantuni yatim piatu dan fakir miskin. Merasa bosan
dengan pelajaran yang itu-itu saja, seorang santri memberanikan diri
bertanya, "Kiai, kenapa tidak ada penambahan pelajaran?" Yang ditanya
malah balik bertanya, "Apakah kamu sudah mengerti betul?" Dengan
suara mantap, sang santri menjawab, "Kita sudah hafal semua, Kiai".
perintah menyantuni yatim piatu dan fakir miskin. Merasa bosan
dengan pelajaran yang itu-itu saja, seorang santri memberanikan diri
bertanya, "Kiai, kenapa tidak ada penambahan pelajaran?" Yang ditanya
malah balik bertanya, "Apakah kamu sudah mengerti betul?" Dengan
suara mantap, sang santri menjawab, "Kita sudah hafal semua, Kiai".
Kiai
Dahlan pun balik bertanya, "Kalau sudah hafal, apakah sudah
kamu amalkan?" Santri itu berucap, "Bukankah surat Al-Maun
berulangkali kami baca untuk rangkaian Al-Fatihah di kala shalat."
Jawaban si santri tidak memuaskan sang kiai. "Bukan itu yang saya
maksud. Diamalkan artinya dipraktekkan, dikerjakan!" Kiai Dahlan
menegaskan.
kamu amalkan?" Santri itu berucap, "Bukankah surat Al-Maun
berulangkali kami baca untuk rangkaian Al-Fatihah di kala shalat."
Jawaban si santri tidak memuaskan sang kiai. "Bukan itu yang saya
maksud. Diamalkan artinya dipraktekkan, dikerjakan!" Kiai Dahlan
menegaskan.
Saat itu
pula Kiai Dahlan memerintahkan santrinya berkeliling kampung mencari orang
miskin. Kalau sudah ketemu, harus dibawa ke rumah
masing-masing. "Berilah dia sabun yang baik untuk mandi! Berilah
pakaian yang bersih. Berilah makanan dan minuman serta tempat tidur!"
perintahnya. Titah Kiai Dahlan tersebut mengisyaratkan bahwa
Islam bukan hanya ritual ibadah saja. Tapi Islam adalah melakukan, bertindak, dan berbuat; agar bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
masing-masing. "Berilah dia sabun yang baik untuk mandi! Berilah
pakaian yang bersih. Berilah makanan dan minuman serta tempat tidur!"
perintahnya. Titah Kiai Dahlan tersebut mengisyaratkan bahwa
Islam bukan hanya ritual ibadah saja. Tapi Islam adalah melakukan, bertindak, dan berbuat; agar bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Tidak ada
iman sejati tanpa tindakan nyata, demikian kata Abul A’la Maududi [18].
Ada dua tingkatan iman, yaitu iman pada tingkat pengakuan dan iman pada tingkat
kesetiaan dan aktualisasi. Yang pertama adalah Islam legal dan yang kedua
adalah Islam sejati [19]. Lebih
bagus kita kutip kalimat ini: ” ketika
kita melihat seseorang sejak pagi hingga petang membaca tuntunan Tuhan dalam
Al-quran namun tidak pernah mengerahkan dirinya untuk melaksanakannya, menyebut
asma Allah beribu kali, shalat tiada henti dan membaca al-quran dengan suara
yang indah, .... lalu kita memujinya ’betapa ta’at dan salehnya orang ini’ ,
kita telah tertipu karena kita tidak memahami makna ibadah dengan benar” [20].
Jauh
setelah karya Weber yang pesimis terhadap Islam, muncul beberapa tulisan yang
menyebut adanya “etika Protestan” di kalangan Muslim. Di kalangan Muslim Turki misalnya
[21], ditemukan sekelompok pengusaha sukses Muslim di satu
kawasan. Penulisnya menyebut fenomena ini dengan "Calvinist Islam."
*****
[3]
Novel “Negeri Lima Menara” Gramedia Pustaka Utama, 2009. hal 383. Novel ini
diangkat dari kisah nyata enam sekawan santri yang berhasil mencapai
cita-citanya. Ada yang berhasil sekolah di Mesir, Arab, AS, London, dan menjadi
guru sesuai keinginan mereka.
[4] Kisah Sukses Pendiri KFC. February 5, 2008. http://www.karir-up.com/2008/02/kisah-sukses-pendiri-kfc/
[6] Berlian, Samsudin.
”Bahasa Kampanye” Kompas 10 Juli 2009 hal. 15.
[7] Dari hasil penelitian mengenai masyarakat Indonesia mutakhir, di antaranya dari Hans-Dieter Ever (2000), Robert Hefner (1999, 2002), Niels Mulder (1999, 2000), Donald K Emerson (2000), Hans Antlaf (2000), Henk Schulte (2002), dan James Siegel (2001), ternyata budaya yang berstruktur longgar dan hubungan sosial yang paternalistik di negeri ini masih menonjol. (Dalam: Budi Radjab. Ketika Budaya Ikut Bersalah. Kompas 7 februari 2009).
[8] Selo Soemardjan. Mencegah Timbulnya Mitos Baru. http://majalah.tempointeraktif.com/......
diambil dari buku Syed Hussein
Alatas. 1988. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu Dan
Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial (1st edition). Penerbit: LP3ES, Jakarta. 358 hal.
[10]
Braille yang berkebangsaan Prancis dianggap sebagai penemu huruf Braille yang
pada usia 15 menciptakannya untuk memudahkan tentara membaca di tempat gelap.
Sistem tulisannya terdiri atas 63 karakter, dimana setiap karakter terdiri atas
enam titik timbul, yaitu dua titik mendatar dan tiga titik vertikal. Huruf
Braille terus disempurnakan, sehingga dapat digunakan untuk membaca nota musik
dan matematika bahkan Alquran, dan setiap selnya terdiri atas delapan titik.
[11] Judul: “History of
Economic Analysis”, terbit tahun 1954.
[12] Dalam buku Roger E.
Backhouse. 2002. The Penguin History of Economic.
[13] Muhammad Ali Utsman. Mayoritas Penemuan Modern Ditemukan
Ilmuwan Muslim. Penerbit: Diva Press
[14] HR. Gibb. 1962. Wither Islam.
New Jersey: Pricenton University
Press.
[15]
Yusuf al-Qardhawi. Al-Khasaisu al-Ammah li al-Islam. Terjemahan: Rofi’ Munawar.
Karakteristik Islam.
Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Cet ke-1, hal 117.
[16]
Nashir Fahmi. Pondasi Dasar Peradaban Islam: Sebuah Tinjauan Historis. 3 Desember
2005. http://www.suara-muhammadiyah.or.id/....
[17] Mohammad Nuryazidi. Mencari Akar
Kapitalisme dalam Islam Indonesia. Batam Pos,
Jumat, 03 November 2006. http://rajasidi.multiply.com/....
[18] Maududi, Abul A’la. 1985. Menjadi Muslim Sejati. Mitra Pustaka. (bagian
Pengantar di tulis oleh Khurram Murad). Hal. 18.
[19]
Maududi, Abul A’la. 1985. Hal. 23.
[20]
Maududi, Abul A’la. 1985. Hal. 27
[21] Dan Bilefsky. Protestant work ethic in Muslim Turkey: As
Central Anatolia booms, opinions differ on the role of Islam in business.
Herald Tribune. 15 agustus 2006. http://www.iht.com/articles/2006/08/11/business/wbturkey.php